Awalnya memang aku yang ajakin Mona hang out. Mau pamer kalo sekarang aku nggak sendiri lagi. Status itu kayaknya begitu penting sekarang, karena sering banget diledekin nggak punya gandengan, apalagi kalo Pak Zakaria mulai nyeletuk ‘truk aja punya gandengan’ banyolan yang basi banget—dan Pak Zakaria cuma berani bilang gitu kalo nggak ada Ibu Umi. Tapi, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya.
Aku mendengus melihat kantung belanja yang kutenteng dan beberapa lagi berada di tangan Mona. Untung diiming-imingi dua setel baju baru. Kalo nggak ogah! Pasti langsung capcus pulang.
“Nelayan?” tanya Mona mengulas senyum semanis gula.
“Terserah,” sahutku jutek. “Asal kamu yang bayar,” sambungku lagi.
Mona cekikikan, menggandeng lenganku—setengah menarik lebih tepatnya. Kali ini aku bakal pesan dua porsi. Mona harus tanggung jawab udah berani mengabaikan euforiaku dengan baju yang bergantungan di etalase.
“Jadi, kapan tepatnya kalian jadian?” tanya Mona sambil bolak-balikin buku menu. “Hari, jam, menit, detiknya.”
Buset amat memang ini cewek. Aku mendengus; menyebutkan pesananku kepada pramusaji sebelum kembali menyoroti Mona. “Memang harus sampe segitunya banget?”
“Iyalah. Biar sweet pas rayain satu tahun jadian. Dua tahun. Bertahun-tahun gitu.”
“Aku nggak se-norak kamu. Cukup inget tanggal aja.”
Mata belo milik Mona bergerak misterius. “Memang di mana dia nembak kamu? Di kafenya?”
Aku menggeleng, “di bioskop.” Kening Mona berkerut samar. “Pas lagi nonton film horor.”
Tawa Mona meledak. Aku mengabaikan, yang jelas bagiku itu antimainstream aja.
“Terus dia bilang I Love U pas hantunya muncul?”
I love you? Ough. Moodku merosot, Bang El nggak bilang gitu. Yang terakhir dia bilang sebelum aku angkat bokong dari jok mobilnya adalah ‘kita jalani aja’. Yup, memang klise banget.
Aku bertopang dagu, “pokoknya kesannya jadi sweet banget. Jangan tanya kronologinya, mulut kamu ember bocor soalnya.”
Mona mendengus, memaju-majukan bibirnya dengan gaya imut. Dan sayangnya aku sama sekali nggak punya ekspresi imut itu. Survey membuktikan dari beberapa orang yang kenal dan berani ngomong blak-blakan di depanku bilang mukaku ini judes. Padahal, mereka nggak tahu hatiku ini selembut salju? Nggak, itu bohong. Yang jelas, biar dikata judes aku nggak hobi ngomongin orang di belakang. Langsung jambak-jambakan lebih seru.
“Kamu udah tanya sama Bang El, sebelumnya dia ada salah minum obat atau gimana gitu?”
Bibirku menipis dengan lirikan maut, sedangkan Mona meringis mengacungkan jemarinya membentuk huruf V.
“Ya, aku Cuma nggak nyangka aja berhasil secepat ini. Eh, dulu-dulu berhasil juga sih, tapi paling tahan cuma sebulanan. Ya kan, Ni?” sambung Mona yang malah mengobrak-abrik memori suram.
“Yang dulu-dulu semuanya pada mental tempe,” sahutku bertepatan dengan seorang pramusaji menaruh minuman yang kami pesan di meja.
Aku menyeruput teh yang... hm. Kayaknya salah pilih menu, rasanya kecut. Tadinya mikir buat minum yang segar-segar.
“Kamu yang terlalu agresif, Ni. Aku kan udah bilang slow down, biar mereka yang kejar kamu lebih dulu.”
“Aku nggak mau mikir rumit dan langsung libatin hati. Semua itu memang harus diperjelas dari awal daripada ujungnya sakit hati. Kayak mereka yang ogah-ogahan pinjemin handphone. Pasti karena ada apa-apanya kan? Kita perempuan jangan bego. Nggak cocok putus abis itu cari lagi, aku nggak masalah kok. Masih muda ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
False Hope
Literatura Feminina(Tersedia di google playbook) "Karena cowok humoris itu nggak ada serius-serius nya. Udah itu aja." -Radhini Dewantari-