Paris, Perancis.
11:00 AM.
Kilatan lampu blitz memenuhi ruangan studio pemotretan. Seorang model cantik sedang menunjukkan pose terbaiknya di depan fotografer yang sesekali memberikan arahan.Diandra Pratista Mitchell atau yang lebih dikenal dengan Diandra Mitchell terlihat begitu piawai berpose di depan kamera.
Dengan wajah cantik, bentuk tubuh yang proposional, kaki jenjang, fotogenic, fashionable serta lihai berlengak-lengok di atas catwalk membuatnya dengan mudah masuk dalam jajaran supermodel dunia.
Tapi jalan lain telah dipilih Diandra. Bukannya melebarkan sayap di dunia modelling dengan menjadi supermodel, Diandra lebih memilih menjadi model tetap di sebuah rumah mode yang bahkan masih bisa dibilang baru dalam industri mode Paris yang menjadi satu dari empat pusat mode dunia.
"Ma belle, There's a call for you!" Seorang laki-laki lemah gemulai tiba-tiba muncul melambai-lambaikan ponsel di tangan.
Diandra yang melihatnya langsung beralih melihat fotografer yang tadi memotretnya dengan pandangan meminta maaf.
"Cinq minutes, s'il vous plait!" Diandra meminta waktu lima menit untuk menerima panggilan.
Matt menghela napas lelah, wajahnya menunjukkan sedikit kekesalan. Dengan pandangan menyesal Diandra memberikan senyuman hingga memperlihatkan kedua lesung pipitnya yang begitu manis.
Matt akhirnya mengangguk, tidak bisa menolak permintaan Diandra dan selalu saja luluh dengan senyuman bel ange nya itu.
"Bonjour," sapa Diandra sesaat setelah menerima panggilan.
"Ma chère soeur... please help me!" Suara yang begitu Diandra kenal langsung menyahutinya dari seberang sana.
Tanpa sadar Diandra tersenyum, mata biru indahnya bersinar mendengar suara kakaknya. Dia selalu suka saat Catherine memanggilnya dengan sebutan itu. Meski dia tahu itu digunakan Catherine untuk mempermulus permintaannya agar ia kabulkan. Tapi Diandra tak peduli toh tanpa itupun dia tidak akan pernah menolak permintaan Catherine.
Karena bagi Diandra, Catherine adalah segalanya. Begitu pula sebaliknya. Diandra selalu percaya akan satu hal, meski semua orang pergi meninggalkannya tapi Catherine tidak. Kakaknya itu tidak akan pernah meninggalkannya dan akan selalu bersamanya meski tak selalu berada di sampingnya.
Ingatan Diandra mengembara pada hari terpenting dalam hidup Catherine, hari pernikahannya. Waktu itu Catherine bersikeras untuk tetap tinggal di rumah dan membawa Dariel karena tak ingin berpisah dengannya.
Namun setelah mendapatkan pengertian dari mom dan daddy mereka jika sangat penting bagi Catherine untuk ikut dan pergi bersama Dariel yang sudah menjadi suaminya, pada akhirnya dia mau pergi tapi dengan syarat yang benar-benar tak terduga.
Catherine bersedia pergi jika diperbolehkan membawa serta Diandra ke rumah mertuanya. Jelas saja Diandra menolaknya meski dia mau, sangat-sangat mau bersama kakaknya dan tidak ingin berpisah dengannya.
Dan pada akhirnya, Catherine bersedia pergi tanpa dirinya. Meski semalaman Diandra harus menenangkan Catherine yang tak henti-hentinya menangis dalam sambungan telpon sebagai gantinya.
Sampai sekarang Diandra tidak pernah habis pikir tentang itu. Bagaimana bisa Catherine menangisi perpisahan mereka di saat seharusnya dia bersenang-senang dengan suaminya pada malam pertama pernikahannya? Bukankah lebih pantas jika Diandra yang menangis karena telah ditinggalkan?
Di sisi lain seorang wanita tengah berlari keluar dari rumahnya hingga mengakibatkan rambut pirangnya berkibar. Catherine Trevania Wilson terburu-buru menutup pintu rumah menuju mobilnya yang sudah terparkir tidak jauh di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Sides : The Necessity And Choice
ЧиклитJalan kehidupan telah membawa Diandra pada keharusan untuk menikah dengan kakak iparnya sendiri dan menjadi ibu dari gadis kecil yang tak lain adalah keponakannya, sesuai dengan permintaan kakak yang menjadi segalanya baginya sebelum ia terbaring ko...