Before you read, don't hope too much.
It's just an insignificant side story, you can stop here if you think the end of the story in the book was satisfying enough.
Enjoy.
Kin
***
-Kalau bisa, aku ingin. Kalau boleh, aku akan.
Meletakkanmu di sudut paling terlihat dalam sanubariku-
Senna mengetik sebaris pesan, "Udah bisa masuk kamar?"
Pintu diketuk, sosok perempuan berpakaian serba longgar masuk dengan wajah mengernyit, mengipas-ngipas ujung hidung mancungnya, "Kalian ini kapan mau berhenti, sih?"
Tak ada jawaban dari keduanya.
Balasan pesan masuk, "Sudah."
Senna menyimpan kembali ponsel ke saku kemeja, menanggapi protes sang kakak ipar yang jelita, "Aku udah nggak seberat dulu kok, Mbak, cuman kalau kepingin aja."
"Kalau hanya kepingin aja, puasa coba, biar berhenti seterusnya," saran Sara sungguh-sungguh. "Nanti kalau udah seumuran mas-masmu dan tiap malam kerjaannya bangun karena batuk, baru nyesel."
"Iya, Mbak."
"Kalau udah tekad, mudah insyaallah. Kak Kahfi cuma butuh satu bulan untuk berhenti sepenuhnya," pamer wanita itu bangga. "Oh iya, Dek Senna tidur sini, kan?"
"Enggak, Mbak. Ada janji dengan kawan nanti sore."
"Kawan atau kawaaan," sambar Hanafi menggoda, tapi karena pembawaannya yang cengengesan, tak Senna ataupun Sara sudi menggubris. Apalagi, Sara termasuk wanita yang sangat hati-hati dalam bicara. Hanya senyum yang menghiasi wajahnya.
"Mas-mu bakal kecewa sekali. Sudah lama nggak ketemu, masa nggak tidur sini?"
"Jangan lah, Mbak. Nanti ngerepotin. Ibnu dan Ibas juga sedang banyak latihan ujian, kan? Tapi sebelum pulang nanti aku pasti sempatkan sehari menginap."
Setelah berikrar, tiba-tiba Senna tersentak karena ponsel di sakunya bergetar. "Mas pulang jam berapa?" kata pesan itu.
Tanpa membalas, disimpannya kembali benda itu ke tempatnya semula.
"Kenapa, kok nggak dibalas? Pacar?"
Senna tertawa, "Bukan."
"Gadis-gadis di Negeri Jiran nggak kalah cantik, kan, Dek?"
Kulum senyum Senna dirasa cukup untuk menanggapi. Diselipkannya rokok yang masih menyala di bibir dan diisapnya penuh penghayatan.
"Penasaran ... memangnya belum ada yang dekat?"
"Belum, Mbak."
"Sama sekali?"
"Sibuk sekali di sana."
"Oh ... yah ... sesibuk apapun, tetap harus dipikirkan, lho. Seorang pria pasti membutuhkan pendamping hidup kelak. Apa gunanya bekerja keras, kalau tak ada yang diajak menikmati. Iya, kan?"
"Benar itu," Hanafi menyambar. "Tapi kalau enggak, aku bisa kok Mas diajak menikmati hasil kerja kerasnya."
Lagi-lagi, baik Senna maupun Sara membiarkan saja Hanafi mengekeh sambil menyemburkan asap rokok dari bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blissful Sin [Senna-Rio]
Historia CortaLupakan Tuhan malam ini. Lupakan perasaan berdosa yang akan menguasai kita nanti. Aku dan kamu cuma manusia biasa yang dipermainkan takdir. Namun meminta supaya takdir terus mempermainkan kita. ** Ini separated chapter dari Senna a Moslem and a G...