Bandung, 29 Januari 2014.
Sore ini, restoran Pizza yang lumayan terkenal di Bandung sedang ramai-ramainya oleh pengunjung. Kebetulan, Iqbal dan Wiska pun sedang berada di restoran yang berada di kawasan Dago ini. Keduanya tetap merasa nyaman dengan keramaian di sana. Mereka sudah terbiasa dengan suasana seperti itu. Karena bagi mereka, yang terpenting adalah menyantap pizza favorit mereka, Meatzza.
Tadinya Iqbal mau mengantar langsung Wiska ke rumah temannya, namun berubah arah karena perutnya mendadak lapar. Alhasil, detik ini mereka sedang menikmati satu porsi Meatzza ukuran 10", porsinya cukup untuk enam orang. Iqbal baru memakan dua potong Meatzza, sementara Wiska masih satu potong.
Makan di restoran Pizza ini merupakan kebiasaan mereka—sebelum hubungan mereka putus enam bulan yang lalu. Dan, bagi mereka, ini benar-benar menyenangkan. Kembali bersama-sama rasanya sedang bernostalgia, berhasil menemukan serpihan kebahagiaan yang sudah lama hilang. Dari lubuk hati yang terdalam, mereka sangat merindukan momen-momen bersama seperti ini.
"Dagingnya masih enak. Rasa khas pizza-nya tetap sama," komentar Wiska setelah menelan kunyahan meatzza yang cukup tebal.
Iqbal mengerutkan keningnya. "Jadi, selama bersama Niko kamu nggak ke sini?" tanya Iqbal seraya mengambil satu potong pizza lagi. Satu pizza itu adalah kali ketiga dia mengambil potongan Meatzza. Sehingga di meja mereka tinggal dua potong pizza.
Wiska tersenyum geli. Iqbal masih seperti dulu, dia jadi rakus kalau di depannya ada pizza, ucap Wiska di hatinya sambil memperhatikan Iqbal.
"Hey, kamu dengar nggak pertanyaanku tadi?" tegur Iqbal.
Wiska segera mengangguk, lamunannya memudar. "Iya, aku dengar," sahutnya, "aku minta jangan bicarakan Niko kalau kita lagi bareng kayak gini." Wajah Wiska berubah murung. Dia masih memikirkan kejadian tadi bersama ibunya. Selain itu, mengingat nama Niko membuatnya harus kembali ke dunia yang sekarang ia jalani. Sedetik saja Wiska ingin lari dari dunianya dan berada di negeri dongeng bersama Iqbal.
Jika harus ia ungkapkan sejujurnya selama bersama Niko, Wiska menahan perasaan cintanya kepada Iqbal dan menahan perasaan sedihnya karena selalu dikekang ibunya. Walaupun Niko tidak tahu Wiska sedang berada di posisi yang sulit karena ibunya, tapi Wiska tak mau memberitahukan semua kegundahan yang ia alami padanya.
Selama ini, keluarga Niko selalu membantu usaha butik ibunya. Tapi, sejak mendengar berita dirinya akan dinikahkan dengan Niko setelah mereka lulus SMA, Wiska frustasi. Banyak hal yang ia korbankan karena keegoisan orang tuanya. Cinta, cita-cita, dan kebahagiaannya. Dia tidak mau dibelenggu lebih lama lagi oleh ibunya. Sudah saatnya dia memberontak.
"Aku minta maaf," kata Iqbal pelan. Kunyahannya semakin melambat.
"Tidak apa-apa. Aku yang harus minta maaf, kamu jadi tahu masalah keluargaku," sahut Wiska dengan sorot mata yang redup—penuh kesedihan.
Setelah meneguk cola-nya, Iqbal kembali berujar, "Itu hanya kebetulan. Dan... menurutku itu juga bukan masalah. Tapi, paling tidak aku tahu alasan kamu waktu itu, ketika kamu mendadak memutuskan hubungan kita. Bukankah selama ini kamu tidak mau memberi alasan kenapa kita putus?"
Wiska menatap Iqbal lekat-lekat. Dia mengerti kekesalan Iqbal karena keputusan bodohnya waktu itu. Ketika itu, Wiska tak punya pilihan untuk melepaskan Iqbal.
"Aku terpaksa melakukan itu," tuturnya lirih. "Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Aku... memang egois dan berusaha membuatmu tetap berada di belakangku. Tetap mengharapkanku kembali. Aku melakukan itu karena aku tidak mau melepaskanmu karena sejuta alasan. Bagaimanapun, aku tahu dengan sejuta alasan itu bisa membuatmu melepaskanku seutuhnya dari hatimu," lanjutnya dengan suara bergetar.
YOU ARE READING
KETIKA HATI BERKATA CINTA
Teen FictionSejak Loira tidak sengaja menangis di hadapan Iqbal, dunia Loira menjadi rumit. Dia terseret permasalahan cinta segitiga Iqbal, Wiska dan Niko. Belum lagi ketua ekskul koran sekolah menuntut berita tentang Wiska kepada Loira. Hal ini semakin membuat...