PROLOG

132 13 4
                                    

Derap kaki semakin terdengar mendekat. Kau mungkin mendengarnya persis seperti saat ini Tur sedang sendiri. Tur berusaha membayangkan ada Bapak atau Ibunya datang, atau setidaknya ada salah seorang temannya agar Tur tak setakut seperti ini. Jika kau melihat kondisinya, kau jangan tertawa. Bukan waktunya kau lepas terbahak menertawai Tur, jangan! Makhluk itu bisa menerkam bulat-bulat tubuh kau!!! Percayalah pada Tur. Entah keberapa kali Tur ngompol di celana. Dan jangan tanyakan lagi ekspresi wajah Tur, benar-benar pucat bagai mayat. Persetan dibuatnya. Langkah makhluk itu kasar layaknya perut yang belum di isi selama satu minggu. Makhluk itu butuh makanan banyak, tadi saja Tur melihat makhluk itu memakan lima anjing yang berkeliaran tengah malam. Ia melihat jelas tangan makhluk itu gesit melepaskan kepala anjing dari tubuh anjing dan meminum darahnya yang muncrat dari leher, kaki anjing kejang-kejang, gonggongannya tak ramai lagi, matanya perlahan menutup, lidahnya terjulur keluar. Kau tahu? Kepala anjing itu mengena pada tubuh Tur ketika makhluk itu melemparkannya dan sontak ia berteriak kalap karena lumeran darah membasahi bajunya. Refleks makhluk itu mencari sumber arah teriakan yang mengusik makan malamnya.

Dengan secepat tenaga, Tur merasakan langkah makhluk itu memburu membuatnya angkat tangan untuk melindungi diri dari serangan mautnya. Adrenalin Tur memuncak bak gunung berapi yang siap membuncahkan lava. Yakin berani taruh bila kau ingin selamat dari perkara seperti ini, kau harus menyiapkan sesajen. Di depan rumah itu, banyak sembahan makanan yang belum dipasak: kepala ayam hitam yang baru dipotong, kopi, rokok, bawang merah dan bawang putih, kemenyan, ubi-ubian, kembang tujuh rupa bertaburan melati di atasnya dengan alas nyiru. Tidak sampai disitu, kau juga harus melakukan ritual muja-memuja di bawah pohon besar sebelum kau melewati rumah itu. Konon pada pohon dan rumah tua itulah jin menetap. Kalau kau bengal pada aturannya, nyawa yang jadi taruhannya.
Tur terus berlari, ia tak boleh mengurangi kecepatannya barang se-senti pun, atau ia menjadi santapan malam makhluk itu malam ini juga. Anak seusia Tur yang baru kemarin naik kelas sebelas. Wis, Tur dengan tangan kosong memberanikan diri mengunjungi tempat yang menjadi rumor warga kampung. Rumah Mati dan Teman-temannya yang Berdarah.

Go Ahead or DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang