Pernah suatu hari Turpatih --sahabatku-- bercerita "Rumah tua itu angker Ja, pemiliknya tewas bunuh diri dengan menggantungkan kepalanya di atas ranting pohon yang bersebelahan dengan rumah tua. Ia bunuh diri karena cintanya ditolak kembang desa, tidak lama kemudian kembang desa itu meninggal setelah seminggu laki-laki itu mati. Gawat sekali kalau kau bisa melihatnya! Bisa-bisa kepala kau yang akan menggantikannya di kemudian hari. Semenjak kematian sang pemilik rumah tua itu, banyak orang yang merasa resah tinggal berdekatan dengan rumahnya, sampai sekarang rumah tua itu masih kosong. Tak ada orang yang berani dekat-dekat dengan rumahnya, apalagi memasuki ruangannya. Melewati pun semua orang takut, sampai tak ada satupun orang yang berani melewatinya pada waktu malam."
Aku tidak percaya dengan omongannya. Toh mata telanjangku ini hampir setiap hari melihat rumah tua itu. Bahkan rumah tua itu sangat asri, rindang, dan selalu bersih di selasar rumahnya meski sebagian bilik rumah itu dimakan rayap. "Mungkin dulunya sebelum cintanya ditolak, ia rajin hidup bersih. Pemilik rumah tua itu menyadari bahwa kebersihan sebagian dari iman" batinku.
Sepengetahuanku, tidak ada peristiwa ganjil selama aku melihatnya. Tapi satu hal yang membuat aku penasaran dengan rumah tua itu ialah selalu nampak tiga buah nampan yang besar-besar --nampan ini di kampungku biasa digunakan untuk memasak air sadap gula merah dari tangkal kawung yang baru didapat oleh penyadap-- yang tergantung di setiap sisi rumahnya. Setiap aku melihat nampan-nampan itu, aku merasakan aura yang tidak biasanya. Nampan itu seperti tangan gadis cantik yang putih bersih, jika kau teliti melihatnya nampan itu seperti melambaikan suatu tanda "kesini, Ja.. kesini, Ja.."
Anehnya dari tiga nampan besar itu selalu saja terpampang rapi tanpa satu nampan pun yang hilang. Aku dilema antara harus percaya ceritanya atau tidak. Tanpa di sadari di dekat rumah tua itu telah lama tumbuh pohon yang sangat besar, mungkin batangnya baru bisa dirangkul oleh lima orang tangan seusia Aku dan Tur.
Sebenarnya Turpatih pernah bercerita, "Kau tahu Ja? Rumah tua itu selalu saja terdapat benda yang dapat menarik perhatian orang jika lekat-lekat melihatnya, baik itu perabotan dapur: nampan besar, spatula, penyaring, hihid, atau peralatan lainnya. Tidak jarang jin yang menjelma menjadi apa saja agar bisa menarik perhatian. Jangan kau lihat semua itu, kalau kau melihatnya atau tidak sengaja terlihat, kau harus baca mantra! "Man jalma sahawae nu nenjo ulahing tempo-ulahing tempo. Sihdar-sihdar, jor-jor-jor sihkojor. Gura-giru kiceup penta. Prak Pret." mantra itu dengan ampuh mengusir makhluk gaib atau makhluk aneh lainnya Ja, siapapun yang membacanya meski lebih sari satu orang."
Aku tetap berusaha untuk tidak memercayai omongannya. Ah, Tur mengarang-ngarang ceritanya. Padahal minggu kemarin Nek Kanta --guru mengaji kami-- baru saja mengatakan, "Janganlah murid-murid ngaji Nenek berbicara yang mengada-ada, karena berbicara yang tidak sesuai dengan kenyataan itu pamali."***
Setiap malam minggu ketiga, di kampung selalu ramai dengan kerlap-kerlip cahaya yang beterbangan. Ribuan cahaya yang berpendar dalam kelam, itupun hanya sekali dalam sebulan.
Lagi-lagi sahabatku, Turpatih pernah bercerita "Yang paling aku takuti ketika malam minggu ketiga, Ja! Kau bahkan pernah melihatnya sendiri, cahaya-cahaya itu sebenarnya bukan kunang-kunang!"
Ah, entahlah. Ia rupanya tidak mendengarkan nasihat Nek Kanta kemarin malam, aku saja masih mengingatnya "Kalian harus percaya dengan adanya alam ghaib, dan janganlah kalian percaya dengan adanya hantu, karena di bumi tidak ada hantu melainkan jelmaan dari jin. Dan sekali-kali janganlah kalian takut dengan jin, melainkan takutlah kepada kematian bila kita tak mempersiapkan amal ibadah."
Kalian tahu? Tidak seperti biasanya kunang-kunang di kampungku selalu datang setelah maghrib. Tidak, tidak pada waktu itu. Mereka seperti di jadwal untuk bisa terbang bebas. Kunang-kunang itu selalu nampak ketika pas waktu menunjukkan 00:00. Ketika aku terbangun dari tidur dan hendak ke toilet, di luar jendela rumah terlihat ribuan kunang-kunang. Ya, mungkin kau membayangkan cahayanya itu bagai background bagi pasangan yang berbulan madu seperti yang pernah aku lihat sinetronnya di televisi milik bapak. Indah permai dilihatnya. Aku katakan memang begitu indah cahayanya, ditambah lagi bentuk bulan yang sempurna bulat dengan sinar awan malam abu pekat. Sepekat abu hatiku pada saat itu juga ketika menyaksikan kunang-kunang singgah depan rumah. Tidak salah lihat, aku menggaruk kembali mataku jikalau aku keliru meyakinkan sesuatu yang ganjil di luar sana. Aku benar-benar tidak salah lihat. Lihatlah di luar sana, kau pasti tidak salah lihat juga. Seseorang yang berhenti, --seperti turun dari karpet merah milik aladin-- perlahan mulai turun. Ia membelakangi hidungku, sepertinya jubah hitam itulah yang membuat seseorang itu terlihat besar. Nampaknya ia memegang sesuatu dari tangannya, macam... YA AMPUN!!! Puffttt.. aku membekam mulut sendiri. Seseorang itu perlahan membalikkan badan, masih terlihat gelap. Separuh badannya mulai kebelakang, dan sebelum menampakkan seluruh tubuhnya aku buru-buru lari ke tempat tidur. Aku tahan juga berak yang terus menggedor-gedor ingin keluar. Buru-buru menenggelamkan kepalaku dengan bantal yang,,, ah, sudah penuh dengan aroma bau tak tentu. Bau dahdir! Pula belum sempat dicuci sebulan ini. Menyebalkan.
Jangankan melihat seluruh tubuhnya, melihat batang hidungnya pun aku hayang utah. Wajah seseorang itu seperti batang lilin yang kepanasan, pada matanya sedikit demi sedikit keluar lintah penyedot darah. Euhh.. amit-amit. Di tangannya membawa sebuah latuk --semacam parang berujung bengkok-- berbekas darah segar.***
Aku mulai tertarik dengan cerita-cerita Tur mengenai rumor warga kampung. Setelah mempertimbangkan fakta-fakta yang ia ceritakan itu, aku semakin yakin padanya. Penasaran juga, semenjak malam tadi aku masih terbayangkan sosok berjubah hitam yang membawa latuk. Terlebih aku sering terbayang-bayang tentang nampan besar yang tergantung ditiap sisi rumah kosong itu. Telah aku katakan sebelumnya, nampan itu bagai lengan gadis cantik, mulus dan putih bersih melambaikan padaku. Tapi, katanya nampan itu sering dipakai jin penunggu di sana --tempat yang ada rumah tua dan pohon besar-- untuk memasak bayi yang baru lahir. Jadi, bila kau punya ibu yang tengah melahirkan, aku sarankan rumahmu tak ada celah sedikitpun. Tutup rumahmu rapat-rapat bila sedang di kampungku. Jika tidak, apa mau dikata adikmu itu akan mati sia-sia.
Kau tak usah takut, aku akan mencari informasi tentang rumor itu, tapi apa kata sahabat-sahabatku --selain Tur-- mereka bungkam tanpa sepatah kata pun yang terucap. Konon katanya, dia bisa mendengar omonganmu. Siapa saja yang menceritakan silsilah dan kejadian mengenai rumah tua dan pohon besar itu, dia yang sedang bercerita dan yang asik mendengarkannya telah memasuki alam yang berbeda. Benar-benar di alam yang tidak biasanya kau ada. Kau akan menemukan perkara yang tidak lazim. Atau bisa saja, kau dan aku telah berada di alam yang berbeda. Kau merasakannya kawan? Aku sarankan juga, karena kita telah mendengarkan cerita dari Tur, kau jangan mengakhiri tulisan-tulisanku ini. Kau,, kau,,, adalah temanku dimanapun sekarang kau berada. Bedanya, aku tinggal di sebuah kampung yang masih kental dengan animisme atau kepercayaan arwah karuhun. Bila kau mengunjungi rumahku, jangan kaget bila satu rumah dengan rumah lain jaraknya sangat berjauhan. Bayangkan saja, jarak satu rumah dengan rumah yang lain mungkin ada satu kilometer, jika kau mendesak perlu bantuan tetangga, kau harus teriak sekencang mungkin. Selain itu suasana kampungku bila sedang pagi, kau akan mendengarkan nyanyian burung yang hilir mudik di atap rumah. Ahoy, atap rumahku terbuat dari daun ijuk dengan dinding yang berbilik. Juga jalan yang masih setapak bertanah merah lengket bila sedang musim hujan. Kau juga akan disuguhi tangkal-tangkal salak yang berjejer disetiap pinggir jalan setapak. Jika musim buahnya, jangan sungkan, ambil saja salaknya, hehe. Dan yang paling menyebalkan bagiku ketika sore datang. Paling tidak suka ada suara-suara tonggeret atau suara-suara serangga lain. Bahkan bila sedang bulan khusus yang dipercayai rajanya bulan karuhun, seringkali tiap malam terdengar gonggongan anjing. Ramai sekali mereka bergonggong.***
Anak-anak kampung seperti aku tidak sekalipun ketinggalan zaman halnya anak-anak kota. Dikampungku juga ada yang namanya Play Station, meski ada 2 PS. Banyak anak-anak remaja di kampung sebelah yang jauh-jauh datang hanya untuk bermain PS ke kampungku, karena hanya ada di kampungku satu-satunya yang menyediakan sewa PS. Tentu saja aku sering bermain PS.
Lanjut rumor di kampungku, bila ada orang yang menceritakan rumor rumah tua dan pohon besar itu, maka orang itu telah memasuki permainan dua alam. Tak jauh berbeda dengan aturan main PS, hanya saja permainan rumah tua itu minimalnya dua orang saja.
Permainannya meliputi hal-hal dasar atau istilah di PS itu ada pada level easy. Kau akan mendengar suara tanpa wujud orangnya, itu dasarnya. Atau bisa saja kau ialah satu-satunya orang indigo hingga kau bisa mendengar mereka, tak hanya mendengar, kau juga mungkin bisa melihatnya.
Beginilah kepercayaan warga kampung, warga jaga-jaga untuk menjauh dari bala yang kapan saja bisa merenggut nyawa, dan sekalipun tak ada yang ingin keluar malam. Setelah tahu aturan ini banyak yang memilih diam saja ketimbang berurusan dengan mereka. Aturan ini kata dukun sakti di kampungku.
Lantas orang-orang kampung serempak untuk tidak keluar malam, malam apa saja, tapi yang paling ditakuti oleh warga kampung ialah ketika malam minggu ketiga. Konon katanya, Bang Muklis telah menjadi korban ketika menjadi petugas poskamling. Sampai sekarang jasadnya belum ditemukan, hilang begitu saja. Turpatih pernah bercerita "Hei Ja! Kau harus berhati-hati jika kau sedang di luar rumah ketika malam hari, pandangan mata jangan lengah. Aku yakin, dulu bang muklis pernah melihat mata jin itu! Kau tahu? bang muklis pernah melihat mata merahnya. Mata merah jin, Ja!"
Aku mengkerutkan kening "bukankah tidak ada yang mengetahui hilangnya bang muklis ketika sedang berjaga?" batinku.***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Ahead or Die
HorrorSetiap malam minggu ketiga, di kampung selalu ramai dengan kerlap-kerlip cahaya yang beterbangan. Ribuan cahaya yang berpendar dalam kelam, itupun hanya sekali dalam sebulan. Lagi-lagi sahabatku, Turpatih pernah bercerita "Yang paling aku takuti...