8. Belajar Cinta

33.8K 4.1K 577
                                    

Jangan tahu kita berhubungan satu malam

Jangan pake jaket warna-warni

Jangan terlalu bersih

Jangan lupa ... salat

Jamaah di masjid, nilai tambah

***

Kupikir, jika akan menikah—baik demi akta kelahiran jabang bayi dalam perutku, menyelamatkan leherku dari golok pusaka bapak, atau tanggung jawab sungguhan seperti yang dia bilang—kami tetap harus saling menyesuaikan diri. Tentu aku minta pendapat pada tiga serangkai sebelum mengambil keputusan. Mereka marah. Marah karena seharusnya sekarang aku udah menyeretnya ke Jogja sebelum perutku menggelembung, bukan saatnya nanya dia boleh ngantar jemput aku ke kantor atau enggak. Mereka bilang, mau kayak apapun dia, sekarang yang penting anakku punya bapak, kalau bisa kapanpun aku sempat, pasang tali kekang di lehernya saat dia lengah.

Kayaknya aku nggak perlu sampai masang tali kekang.

Dia bukan orang yang kelihatan pintar dalam berhubungan, cowok macam apa yang langsung nawarin nikah sungguhan waktu ada seorang perempuan yang baru sekali tidur bersama mengaku dihamilinya? Orak ono. Kalau ini Bima, dia pasti udah lari terbirit-birit, nggak pakai repot-repot nanya apa akan ketahuan dia benar bapaknya atau enggak setelah ke dokter kandungan. Bahkan ... siapa yang akan nyaranin ke dokter buat mastiin hamil beneran atau enggak? Ngelihat test pack disodorin gitu aja mereka pasti terkencing-kencing. Pria mana yang sudi sekonyong-konyong ditodong pertanggungjawaban tanpa perlawanan?

Artinya dia nggak seenggak peduli kesan yang ingin diperlihatkannya pada pertemuan pertama kali, sebelum kami gituan. Malah, menurutku kesan itu udah roboh seselesainya kami begituan.

Sementara itu, ketika kebanyakan cewek akan merasa terikat setelah berhubungan seksual, dengan sombongnya aku merasa aku enggak selembek itu. Aku ngerasa lebih kuat menghadapi putusku dengan Bima sehabis tahu bahwa ternyata aku bisa-bisa aja tidur sama lelaki lain tanpa perasaan dan membuatku lupa sama sekali bahwa setitik nila saja bisa bikin rusak susu sebelanga. Setitik sperma telat diangkat saja, bisa bikin seorang anak tak berdosa terpaksa dihadapkan dengan kejamnya dunia. Bisa saja anak ini jatah seorang ibu lain yang jauh lebih siap, kan?

Yudha bilang sendiri setelah ponselnya hilang dan tak lagi punya kontakku, dia nungguin aku yang menghubunginya duluan.

Dia bisa saja nekat datang ke kosku, tapi khawatir aku balikan sama mantan, bukan mengantisipasi akibat dari kebodohan kami melupakan pengaman.

Jelas. Aku nggak perlu tali kekang.

Mungkin aku hanya perlu mencari tahu apa yang bikin dia lebih antusias daripada aku. Buktinya sampai nawarin ngantar kerja segala.

Oh wow ... ngomong-ngomong, aku nggak percaya aku bisa menganalisa sepanjang itu. Kalau saja aku lebih berani menggunakan otakku di kantor, mungkin sekarang aku yang sedang menyiapkan SOP baru, bukan Mbak Nin. Mungkin bualan bapak bahwa aku sebenarnya pintar itu benar, aku terlalu senang bersikap seperti anak bawang di mana-mana, sebab itu menguntungkan. Aku nggak kebagian kerjaan berat dan kesalahanku selalu dimaklumi.

Kayaknya aku hanya ceroboh.

Yah ... anak di perutku ini buktinya.

"Pagi," Yudha tersenyum di depan pintu. "Nyenyak tidurnya?"

Enjoy The Little Thing [SUDAH TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang