Apa yang Terjadi?

112 3 2
                                    

Laki-laki itu menggigit bibir. Tidak percaya kalau wanita yang dikenalnya itu akan berbuat segila ini. Dia terus berlari, menerobos semak yang di penuhi oleh ilalang yang tumbuh sampai sepinggang orang dewasa. Membuat kulitnya berkali-kali tersayat ujung daun yang tajam. Laki-laki itu mengernyitkan dahi, menahan perih. Tapi biarlah. Tidak ada cara lain. Hanya ini jalan tercepat menuju puncak bukit. Tidak mungkin dia kembali dan berlari melewati tangga. Itu terlalu jauh. Akan memakan waktu 3 kali lebih lama dari jalan yang sekarang dia lewati. Dia tidak punya waktu sebanyak itu. Dia harus segera sampai di puncak bukit. Waktunya hanya sampai wanita itu selesai mengenang seluruh hidupnya. Kalau dia terlambat?

Dia berseru tertahan, gigi gerahamnya bergemeletuk. Dia memacu kakinya berlari lebih cepat. Membujuk tubuhnya untuk kuat menahan perih.

Tunggulah Nala, tunggu sebentar.

***

Angin senja bertiup pelan. Membelai lembut setiap benda yang dilewatinya. Dedaunan berguguran, ranting pohon bergoyang seirama dengan kekuatan angin yang kadang kuat, kadang juga lembut. Ini adalah penghujung musim kemarau. Waktu yang tepat untuk menikmati suasana sore. Lihatlah kesana. Matahari seperti berubah warna menjadi merah. Sempurna mewarnai langit biru dengan siluet cahaya merah yang memenuhi angkasa raya.

Sore yang indah. Sore yang indah untuk mengakhiri hidup.

Wanita itu memejamkan mata, menengadahkan wajah ke langit lepas, menghela nafas berat. Angin senja menerpa wajahnya. Menggerak-gerakkan rambut yang di ikat ke belakang.

Beberapa menit berlalu.

Wanita tadi tersenyum getir. Membuka matanya perlahan, lalu menatap kosong ke depan. Dia kembali menghela napas berat. Lihatlah, bahkan dengan kesedihan seperti ini pun, dia masih belum bisa mengeluarkan air mata. Entah apa penyebabnya. Entah karena dia terlalu kuat memegang prinsip, atau karena memang air matanya sudah kering? Dia benar-benar tidak mengerti.

Masih sangat kuat melekat dalam ingatan, kapan terakhir kali dia mengeluarkan air mata. Enam tahun lalu. Saat dia masih duduk di bangku SMP, saat dia masih bisa berkumpul dengan keluarga, saat semua kesedihan ini dimulai.

***

“Kak Nala ayo cepet bangun, kak. Ini sudah hampir jam tiga, nanti kita terlambat!” Gadis kecil itu merengek di samping kakaknya yang sedang tertidur pulas. Sejak tadi malam, gadis itu terus saja merengek minta telepon. Mengancam tidak akan tidur jika dia tidak menelepon ayahnya.

“Hmm....” Nala menggeliat malas. Membuka mata. Lalu setelah melihat sejenak adiknya yang tersenyum lebar, dia kembali memejamkan matanya. Tertidur.

Gadis kecil itu mendengus kesal. Menatap jengkel kakaknya yang seakan lupa dengan janjinya tadi malam. Tadi malam, setelah beberapa kali Nala terbangun akibat ulah adiknya, setelah kesal karena terus menerus mengganggu tidurnya, Nala kehabisan kesabaran. Dia membentak adiknya dengan keras. Bagai kilat di malam hari, bentakannya itu sudah cukup untuk membuat adiknya menangis.

Maka panjanglah semua urusan.

Hampir satu jam adiknya menangis. Tak henti-hentinya mata itu mengeluarkan butiran hangat. Juga suara sesegrukan yang mengganggu. Nala mengutuk dirinya sendiri. Lihatlah! Gara-gara ulahnya, bukannya dia bisa tidur, dia malah lebih terganggu akibat tangisan itu. Jadilah malam itu, Nala menghabiskan waktu istirahatnya untuk membuat adiknya diam. Mencoba seribu satu cara dan baru berhasil  setelah dia berjanji akan memenuhi keinginannya besok pagi. Menelpon abi yang sedang di Mekah.

Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang