Kesedihan Pertama

50 1 1
                                    

Nala terlahir sebagai wanita pintar dengan keluarga yang berkecukupan. Keluarganya mempunyai latar belakang yang religius. Abi adalah seorang ustadz yang sering pergi untuk mengisi ceramah di berbagai tempat. Umi pun tidak jauh berbeda. Jika dia mau, sebenarnya banyak orang yang memintanya mengisi pengajian ibu-ibu setiap harinya, di berbagai tempat. Hanya saja, Umi tidak mau terlalu di sibukan oleh pengajian dan hanya mengambil jatah 1 kali seminggu saja. Bukan karena dia tidak mau, tapi dia ingin menunaikan kewajibannya terlebih dahulu sebagai guru sekaligus ibu bagi ke-lima anaknya.

Nala sendiri adalah anak sulung. Anak pertama. Dia bertanggung jawab penuh mengurus ke-empat adiknya jika Umi dan Abi pergi. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, itu semua berada di bawah tanggungjawab Nala. Hal itu pula yang membuat Nala harus menjadi figur yang baik bagi adik-adiknya. Supaya, mereka menjadi orang yang baik—atau setidaknya, tidak lebih buruk dari Nala.

“Nisa! Ayo cepat!” Nala berteriak galak. Berdiri tegak sambil berkacak pinggang di depan pintu.

“Iya, iya kak, tunggu sebentar.” Dari dalam rumah, Nisa ikut berteriak, panik.

Beberapa detik lengang.

Nala kembali memonyongkan bibir, bersiap meneriaki adiknya yang selain menyebalkan, juga susah di atur, “Ni...” suaranya terhenti. Orang yang ingin dia teriaki, tiba-tiba muncul dari balik pintu. Nala tertegun melihatnya. Rasa jengkelnya segera menguap ketika melihat Nisa yang terlihat sangat berbeda hari ini. Sebuah tas punggung bergambar karakter kartun tersemat di punggungnya. Gamis biru dan kerudung biru muda yang menjulur sampai ke dada semakin membuat wajah bulatnya terlihat lucu. Nala menutup mulutnya. Tertawa jahil melihat penampilan adiknya.

Sadar kalau sedang ditertawakan, Nisa menatap Nala galak, “Kenapa Kakak tertawa?!”

Yang ditanya langsung menutup mulut, membekapnya kuat-kuat.

Beberapa detik berlalu. Hening.

Nisa dengan PD-nya berjingkrak-jingkrak centildi depan  Nala. Memutarinya sambil berucap lalalala....

Nala semakin kuat membekap mulut. Beberapa waktu kemudian, Nala membuka bekapannya.Tertawa lepas.Terpingkal-pingkal.Berkali-kali berucap aduuhh sambil memegangi perut. Membuat wajah ceria Nisa berubah cemberut. Nala mengangkat tangan, menyeka air mata,kemudian segera balik kanan.Berjalan meninggalkan Nisa—sambil terus tertawa.

“Ka...kami berangkat dulu, Umi.” Nala berteriak, masih dalam keadaan tertawa, “assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumus salam.” Jawab Umi dari dalam rumah.

Nisa menggembungkan pipinya, berkacak pinggang sambil menatap jengkel Nala yang berjalan di depannya. Berkali-kali dia berteriak, berseru-seru memanggil Nala yang sengaja betul membuatnya penasaran.

“Kak Nala awas aja, nanti akan Nisa balas!!” Hardiknya begitu sampai di pondok ilmu.

***

Setiap sore, Nala dan Nisa memang selalu rutin pergi ke pondok ilmu. Sebuah sekolah yang terletak di dekat mesjid komplek rumahnya. Sudah hampir 7 tahun Nala menimba ilmu disana. Terhitung sejak pertama kali sekolah itu berdiri sampai sekarang, dia masih rajin pergi ke pondok. Hanya bedanya, dulu dia datang ke pondok sebagai murid biasa, tapi sekarang dia datang sebagai murid senior yang mengajar disana.

Nisa sendiri baru tahun ini masuk pondok ilmu. Sebenarnya sudah sejak tahun lalu dia diajak masuk, tapi tabi’atnya yang keras kepala membuatnya lebih memilih tinggal di rumah. Menonton acara kesukaan yang hanya tayang di sore hari. Baru setelah acara itu tidak tayang lagi, Nisa mau ikut ke pondok ilmu. Mengikuti ke-dua kakaknya yang sudah ada disana.

Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang