Prolog

54 11 15
                                    

 Cahaya yang redup sedikit mengurangi gelap ketika pintu palka terbuka dengan sendirinya. Orang-orang itu berdiri menghadap arah kaki langit, badan mereka tegap dilindungi rompi anti peluru, dan kehormatan mereka pada seragam prajurit itu. Udara begitu tipis dan beku, apalagi angin dingin yang menerpa menusuk hingga ke tulang. 

 Dalam diamnya kata dan terpejamnya mata, mereka berdoa. Sampai semua kelopak mata itu terbuka, hanya tersirat keteguhan dan kegigihan tanpa ada yang lain.

"...Jika malam adalah derajat waktu milik para Iblis bertaring, dan bila siang adalah kilauan sayap-sayap cahaya. Mari tunjukkan kepada mereka bahwa kita memang yang datang dengan kehancuran dan tidak menyesal setelah saling membunuh..." Salah satu dari mereka yang mengucapkan itu, didengar tanpa perlu dijawab. Ia mengulangi kalimat itu, kata-kata yang beredar di kalangan para pejuang, dari banyak orang yang tidak lagi ia temui. Genggaman tangannya mengepal erat diluar kesadaran.

Komandan tersebut sedikit menengok kebelakang, memandang dengan mata yang sama-sama berkilat ganas.

"...Yang tidak menyesal melihat api dan tetes darah."

 Setelah mendengar tiga bunyi alarm udara, mereka berlari menerjang dan melompat di tepian pintu palka. Awan kusam dan kilatan cahaya seketika menjadi pemandangan pertama, suar di kaki mereka menyala meninggalkan jejak asap kemerahan disepanjang arah mereka meluncur ke permukaan bumi.

 Puluhan pesawat kargo militer lain juga tampak menerjunkan barisan regu tentara, memenuhi angkasa dengan ratusan anggota angkatan bersenjata.

 Tanpa harus diperintah tangan kiri mereka sudah menggenggam belati sementara tangan yang lain telah siap dengan senapan penuh peluru.

 Dari tempat yang begitu tinggi dan tak terlihat mata, mereka telah benar-benar memastikan apapun yang ditemui akan mereka hadapi. Apapun yang akan datang harus mereka hadang.

"Persiapkan diri kalian, kita akan segera melewati batas awan. Dan jangan lupa..." Para tentara itu menunggu walau sesungguhnya tahu.

ketika awan kelabu telah terlewati dan warna merah api menyala di bumi, seketika itu juga...

"...bantai mereka semua."

...perang telah dimulai.

 Ratusan kali atau bahkan ribuan kali ledakan peluru menggema di udara, membidik apa saja yang mungkin menyimpan bahaya. Belati perak mencabik-cabik hingga bernoda merah gelap.

 Makhluk-mahkluk itu berjatuhan dengan sayap yang telah layu sebagai tanda tak tersisa nyawa di tubuhnya. Namun yang lain berkelit lincah menghindari hujan peluru dan menyerang balik dengan cakar setajam belati para tentara. Beberapa dari mereka menyergap sebagian prajurit lalu tanpa belas kasihan menggigit dan mengoyak leher dengan taring yang runcing. Meraung-raung keras layaknya hewan buas yang belum puas dengan satu korban.

 Sang komandan menghajar kuat-kuat wajah mengerikan yang pertama kali muncul dalam pandangannya. Insting kematiannya memaksa dirinya menengok untuk mengetahui kalau dua monster sedang mengincarnya, dia lekas mengambil langkah drastis dengan melemparkan satu-satunya belati yang dibawanya dan tepat mengenai salah satunya.

 Namun, dia hampir gagal menjaga hidupnya jika saja bawahannya yang tidak berapa jauh darinya yang memberi tanda acungan jempol telat melepaskan tembakan telak pada vampir itu.

"Pulang nanti aku akan mentraktirmu minum!"

 Selesai satu masalah ternyata di bawah sana menunggu problem barusan yang belum selesai, vampir yang wajahnya ia tinju tadi telah menunggu dan kelihatannya sangat marah. Laki-laki itu bukannya merasa terancam atau apa malah mengacungkan kedua jari tengahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Penjara Logika :: Konstelasi DaudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang