Bagian Kedua

93 15 40
                                    

Rasanya tak perlulah Kita singgung-singgung lagi mengapa Indah bisa segamblang itu menerima cinta dari Bang Evan. Hal itu hanya akan membuat arwahnya semakin merasa gelisah. Biarkan Almarhum tenang di persemayamannya. Layangkanlah untuknya doa-doa terbaik yang akan meringankan bebannya di alam jauh sana.

Juga untuk Indah, yang sejak hari pemakaman, dirinya terlihat masih sangat terpukul kehilangan separuh rona cinta yang sedang mekar-mekarnya. Hanya dalam tempo 3 hari saja, kini Indah harus pasrah sudah terpisah lain dunia.

Bukan sebentuk tangis yang ditumpahkan. Hampir-hampir tak ada air mata. Hanya pandangan-pandangan kosong yang hampir pasti mengisi hari-harinya selama di sekolah. Belajar menjadi tak fokus, diajak mengobrol makin tak peka, makan sungguh tak enak. Mungkin saat malam pun, tidurnya tak terasa nyenyak.

Sering ia tercenung sendiri ketika jam istirahat sekolah. Duduk mematung di bangku kayu melingkar di bawah pohon ketapang depan kelas. Semilir angin kadang tak mampu membuat rambut panjangnya terurai. Kaku, seperti kegalauan yang kian ditumbuhkannya sepanjang waktu.

Sesekali ada teman wanita menghampiri, memeluknya, menasehatinya. Tapi Indah selalu berkata dia rapopo, dengan tetap terpaku sembari mencoba merekatkan kembali senyum di parasnya. Beda. Dingin sekali. Dari sudut pandang lelaki manapun, itu bukanlah bentuk senyuman khasnya yang biasa kita lihat.

Oh. Ayolah, Kawan. Mampu menjelaskan keadaannya seperti itu dengan sangat baik, bukan berarti Aku selalu memperhatikan Indah.

Jikalau bukan karena puisi itu, mungkin Aku tak pernah tersadar bahwa gadis cantik itu akan satu sekolah denganku. Ya, Aku tak pernah melihatnya apalagi sampai berpapasan, bahkan sepanjang kegiatan MOS. Dia seperti tetiba baru ada pada hari ketika Almarhum Bang Evan menembaknya lewat puisi.

Entah karena Aku yang banyak cuek, tak banyak tengak-tengok kanan-kiri, atau kurang peka ketika teman-teman cowok membicarakan cewek-cewek cantik peserta MOS. Atau bisa jadi perhatianku yang terlalu tertuju pada wanita lain. Tapi kenyataannya tidak.

Aku juga tak satu kelas dengannya. Aku yang berada di kelas X-A, terpaut beberapa sekat dinding kelas jikalau harus memperhatikannya terus. Mustahil.

Bisa dibilang, hanya sekelebat saja saat upacara bendera, ketika Senam Kesegaran Jasmani di setiap Jum'at, jam istirahat, ataupun sepulang sekolah. Sesingkat itu saja sudah membuatku menjadi sangat iba dengan keadaannya. Mungkin itu hal yang manusiawi, apalagi bagi setiap laki-laki yang melihatnya. Paras cantik, nasib tak baik.

Sebelum berlanjut, sedari tadi ingin sekali rasanya Aku meminta maaf, wahai kawanku sekalian. Aku bercerita tentang semua kisah ini kepadamu, sebenarnya saat Aku berada tepat di tengah-tengah pelajaran Fisika yang kini sedang berlangsung.

Siang ini, mata pelajaran terakhir, Bu Yulian asal Medan masuk kelas dengan menggandeng teori Besaran & Satuan. Selepas salam, disuruhnya seisi kelas membaca sekilas materi yang ada di buku paket jilid pertama pada bab pertama.

Tahu sendiri rumitnya Fisika ini, pusing Aku dibuatnya. Jangankan disuruh membaca sekarang. Andai kubongkar sejak malam tadi pun, belum tentu mampu kucerna materi-materi itu hingga bisa masuk ke dalam otak. Ingin kurobek saja halaman bukunya, kuseduh dengan air hangat kuku, lalu kuteguk airnya sampai habis. Praktis.

Sebelum pusingku bertambah menjadi tujuh keliling, kuputuskan saja untuk berkisah kepadamu lewat tulisanku pada buku ini, wahai pembaca sekalian. Kupikir akan lebih berfaedah sembari menunggu dentang bel pulang sekolah yang sejak tadi tak kunjung berbunyi.

***

"Oke, cukup. Ada pertanyaan?" Bu Yulian memecah keheningan.

Aku terperanjat. 15 menit yang kupakai bercerita padamu barusan, tak kurasakan lebih cepat dari Bu Yulian menyambar dengan pertanyaannya itu.

Sepasang Mata KacaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang