CHY One

46 1 0
                                    

Hari demi hari begitu cepat aku lalui di Monash Institute (MI). Senang, sedih, canda dan tawa menghiasi hidupku. Terkadang, jiwa ini terasa kosong. Senyum dan ketenangan yang terlihat tak sesuai dengan isi hati yang sebenarnya. Dibalik keceriaan yang aku tampakkan, sebenarnya ada banyak masalah yang tersimpan, yang justru aku sembunyikan dan tak mungkin untukku menceritakan ataupun memperlihatkannya pada orang lain. Sejauh ini, aku belum menemukan seseorang yang pantas tuk kujadikan sahabat yang akan menjadi tempat untukku berbagi senang dan sedih. Sahabat yang selalu menemaniku, baik di waktu aku tengah bahagia maupun saat sedih dan tertimpa musibah. Tak bisa kupungkiri bila diri ini merasa sangat kesepian dibalik semua keramaian di asrama. Jujur, aku membutuhkan uluran tangan seseorang yang dapat membuatku selalu tersenyum, menghiburku dikala kesedihanku, menyemangatiku dikala aku sedang down dan selalu memberi wejangan-wejangan yang dapat membangkitkan semangat dalam menghadapi segala lika-liku kehidupan.
Di sini, tepatnya di Monash Institute Semarang, aku dapat merasakan bagaimana pahitnya hidup, bagaimana indahnya kebersamaan dan bagaimana rasa kekeluargaan itu. Monash Institute telah membuatku mengerti akan arti kehidupan, baik dari segi sosial, ekonomi maupun budaya. Ya, manusia itu memang makhluk individu, tapi tak bisa dipungkiri bahwa manusia juga makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendirian, ia harus saling bahu-membahu dengan sesamanya. Begitupun dengan laki-laki, ia tak dapat hidup dan akan merasa hampa tanpa seorang wanita. Begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, manusia merupakan makhluk zoon politicon yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Monash Institute telah memberiku banyak pelajaran dan pengalaman berharga dalam hidup ini, banyak cerita dan kisah hidup yang tentunya dapat aku ambil ibrahnya. Kisah cinta yang sangat menggelitik dan beralur tidak sesuai dengan semestinya. Mengapa aku mengatakan tidak semestinya? Karena pada kenyataannya, memang tidak sesuai dengan yang aku harapkan.
Awal masuk MI, semua terlihat aman-aman saja dan berjalan dengan baik. Beberapa minggu kemudian, kelas di MI benar-benar ketat dan berjalan efektif. Akan tetapi, saat kelas jurnalistik kendala yang dialami oleh disciples baru angkatan 2014, tepatnya gelombang dua, tidak memiliki sarana dan alat yang digunakan untuk menulis artikel, yang nantinya akan dikirim di koran-koran cetak maupun online. Kami berusaha meminjam laptop kepada kakak senior. Aku meminjam laptop kepada salah satu mentor jurnalistik bernama Andi Maulana. Dia adalah disciples MI angkatan 2011, yang merupakan angkatan pertama di MI. Setiap kali ada kelas jurnalistik, aku meminjam laptop padanya dan dia pun dengan senang hati meminjamkannya padaku. Lama kelamaan, aku mulai dekat dengannya. Kami sering berkomunikasi lewat hp dan facebook, dia juga mulai memanggilku dengan sebutan “Dedek”. Aku tak keberatan dipanggil demikian. Aku sama sekali tak memiliki perasaan apapun padanya, hanya saja aku menghormatinya, karena dia adalah seniorku yang berbaik hati mau meminjamkan laptopnya padaku.
Hari terasa begitu cepat, hingga akhirnya timbullah perasaan cinta. Ya, dia memang mencintaiku, sangat mencintaiku. Bahkan, aku sampai diberi baju batik gamis couple berwarna ungu olehnya. Gamis yang dia beli saat berada di Jogja, dia pun membelinya bersama temanku. Lantas, temanku lah yang memilihkannya. Bajunya memang cantik. Ketika aku memakainya, rasa-rasanya seperti Cinderella. Dia pun terkadang membelikanku sebungkus makanan pada malam hari. Cukup tahu kalau dia suka padaku, tapi aku tak bisa mencintainya. Bukan karena hatiku telah dimiliki orang lain, tetapi karena aku memang tak ada rasa sedikitpun padanya. Kepatuhanku selama ini padanya bukan karena aku mencintainya, tetapi karena rasa hormatku padanya. Aku berusaha menolak cintanya dengan sikap yang baik dan halus agar tak menyakitinya. Akan tetapi, dia tetap saja bertahan pada pendiriannya untuk mencintaiku dan akan mendapatkan cintaku suatu saat nanti. Dari situlah, aku mulai menjauhinya. Aku tak lagi meminjam laptop padanya, dan aku mulai cuek terhadapnya. Dengan sikapku yang seperti ini, dia tak putus harapan. Dia semakin mengejarku, tetapi entah mengapa hatiku tak bisa kuberikan padanya. Ya, karena banyak senior yang melarangku untuk berpacaran dengannya dan juga banyak yang menyayangkan aku jika sampai menjadi pacarnya. Aku menanyakan perihal tentangnya pada senior-senior. Alhasil, jawaban mereka rata-rata sama, yang jelas jawaban mereka merupakan sesuatu yang negatif. Bersyukurlah aku tak sampai menyerahkan hatiku padanya, karena memang bukan dia tipikal laki-laki yang aku dambakan. Dia tak henti-hentinya mengejarku, hingga aku merasa illfil berada didekatnya. Memandangnya pun aku malas, apalagi berada didekatnya. Sungguh sesuatu yang membuatku muak. Aku muak dengan segala sikap dan sifatnya, tetapi aku terkadang juga merasa iba dengannya. Sebab, dia sudah tak memiliki orang tua, dia hanya memiliki orang tua asuh karena orang tua kandungnya telah meninggal dunia. Sikapnya yang kekanak-kanakan membuat rasa iba itu tak berwujud, aku semakin kesal akan tingkah lakunya. Seakan-akan semua hal yang ia perbuat menjadi hal negatif dimataku. Mungkin, aku memang sangat jahat telah bersikap demikian, aku tak bermaksud untuk memberikan harapan palsu padanya. Sikap aku selama ini sudah sangat jelas kalau aku menolaknya dan tak memberi ruang sedikitpun di hatiku untuk mencintainya. Setelah berbagai macam upaya yang ia lakukan tak kunjung berhasil, ia pun menyerah dan bahkan dia sangat membenciku sekarang. Dia sangat marah padaku, dan kemarahan itu membuat dia menjadi sakit. Sangat sakit. Kondisinya sangat memburuk, ia tak seperti biasanya.

Curahan Hati YuliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang