CHY Two

18 0 0
                                    

a menjadi sangat murung. Setiap aku pergi ke tempat kegiatan untuk kelas, aku melewati asramanya dan dia tampak begitu lemas saat duduk di kursi yang ada di teras asrama. Hati kecilku mengatakan kalau aku sudah berbuat salah, tetapi aku tak ingin membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Aku merasa senang karena dia membenciku dan aku tak ingin jika rasa kasihanku padanya akan membuat dia jatuh cinta lagi padaku. Aku membiarkannya, aku mungkin memang kejam. Katakan saja begitu, karena teman-teman seangkatan juga mengatakan hal yang demikian padaku. Mereka mengatakan,
“Apa yang terjadi, Yulia? Mengapa Bang Andi terlihat begitu murung. Dia bahkan tampak tak berdaya sama sekali, seperti mau mati saja.”
Kata-kata itu membuat telingaku gatal, karena berbagai pertanyaan yang teman-teman lontarkan, akhirnya aku menceritakan semua hal yang telah terjadi. Ada banyak yang merespon, bahkan membenarkan apa yang aku lakukan, tetapi ada juga sebagian yang pada intinya mereka membela Bang Sona. Mungkin karena rasa iba atau entah mengapa. Aku tetap pada pendirianku dan perlakuanku, karena inilah aku. Aku menyadari bahwa sikapku ini memang salah, hati kecilku tak bisa membohonginya. Akan tetapi, semua yang aku lakukan ini demi kebaikan semuanya. Kebaikan bagi diriku, bagi Bang Andi dan juga bagi teman-teman di sekelilingku. Tentu banyak ibrah yang dapat diambil dari kejadian ini. Untukku, harus lebih berhati-hati lagi. Terutama ketika bersosialisasi dengan lawan jenis. Apapun yang kita lakukan, bagaimanapun sikap yang kita tunjukkan, akan sangat memungkingkan untuk seseorang mencintai diri kita. Dan itu adalah hak mereka, aku ataupun yang lainnya tak dapat mencegah rasa cinta itu. Karena cinta, akan timbul kapanpun, kepada siapapun dan di manapun kita berada. Tentunya atas izin dari Sang Pemilik Cinta, Allah Yang Esa. Satu hal yang perlu diperhatikan, manage dengan baik perasaan kita. Jangan sembarangan membiarkan perasaan muncul dan sampai berlarut-larut, karena hal itu akan menjadikan segala sesuatunya tidak baik.
Beberapa minggu kemudian, aku sudah mulai terbiasa. Bang Andi pun sudah terlihat seperti biasanya. Dia tampak sudah benar-benar melupakanku. Aku sudah bisa bernafas dengan lega. Aku pun menjalani aktivitas seperti biasanya dengan tenang dan nyaman, tak ada gangguan apapun hingga datanglah mahasantri baru gelombang tiga. Menurut banyak pendapat, gelombang tiga ini merupakan gelombang yang tidak jelas. Sebab, hanya sedikit orang yang mendaftar. Setiap kali ada kegiatan, gelombang satu, dua dan tiga dicampur. Aku sudah mengenal dan mengetahui banyak hal tentang teman-teman baruku. Hingga suatu hari, aku mengenal seorang laki-laki yang aku anggap aneh. Dia adalah Rifki Lana  . Mengapa aku sampai menyebutnya sebagai orang aneh? Ya, karena dia orang teraneh yang pernah aku jumpai. Setiap aku bertemu dengannya, dia selalu tersenyum dan anehnya dia selalu ingin memukul wajahku, aku takut jika sampai terkena pukulannya. Bersyukurlah karena dia tak sampai memukulku, karena memang dia tak sungguh-sungguh ingin memukulku. Suatu ketika, saat aku punya kesempatan untuk mengobrol dengannya, aku tanyakan perihal ini padanya.
“Kenapa sih Sampean pengen banget memukul wajahku. Apakah aku punya salah sama Sampean hingga dirimu ingin memukulku?” Tanyaku penasaran. Dengan sikap tenang sembari menyunggingkan senyum manisnya, ia menjawab.
“Tega sekali kalau aku sampai benar-benar memukulmu. Aku akan mengutuk diriku kalau hal itu sampai terjadi.”
Aku bingung dengan jawaban yang ia berikan. Kalau dia berkata seperti itu, lantas mengapa dia ingin memukulku setiap kali bertemu? Pikirku. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya, dan dia pun meneruskan perkataannya,
“Bingung ya?” Aku hanya mengangguk.
“Sudah tak usah dipikirin, nanti Sampean juga akan tahu sendiri kok jawabannya.”
Dia pun pergi meninggalkanku. Aku masih terus berpikir, mangapa dan mengapa dia bersikap seperti itu. Lebih anehnya lagi, dia memanggilku “Funny” entah karena dia belum tahu namaku atau karena hal apa aku juga tak paham. Husnudzanku, mungkin dia memang belum mengetahui siapa namaku. Namun, masak iya dia belum mengenalku. Padahal kan kita sudah melakukan aktivitas secara bersamaan saat dalam kelas. Ah, bodoh amat. Kenapa aku harus berpusing-pusing untuk memikirkan hal ini, toh dia juga sudah bilang kalau aku akan tahu jawabannya suatu saat nanti.
Aku memang tak seperti teman-teman lain yang pemberani, percaya diri, dan bisa bersosial dengan baik. Aku tak bisa melakukan hal itu dengan baik, teman-teman sering mengkritikku dengan bahasa tulisan. Sebagian besar dari mereka mengatakan kalau aku kurang bersosial, kurang perhatian dan egois. Ya, aku memang belum bisa bersosial dengan baik dan aku tak bisa memungkirinya. Akan tetapi, aku akan terus berusaha untuk menjadi yang lebih baik. Sampai akhirnya akan benar-benar baik. Segala sesuatunya membutuhkan proses, tidak ada yang instan. Oleh karenanya, kesabaran yang tinggi sangat diperlukan untuk mencapai suatu kesuksesan dan keberhasilan. Sejujurnya, aku sangat membutuhkan uluran tangan dari seorang teman. Aku membutuhkan teman yang benar-benar teman, teman yang dapat menerimaku walau telah mengetahui segala keburukan dan kebaikanku, kekurangan dan kelebihanku, teman yang mampu membantuku untuk merubah sikap dan sifatku yang kiranya perlu dirubah. Sebab, aku sudah berusaha untuk merubahnya, tetapi hasilnya belum begitu baik. Ya, penilaian setiap orang memang berbeda-beda. Oleh karenanya, aku sangat memerlukan bantuan dari seseorang. Sampai saat ini, aku belum juga menemukan orang yang pas. Terkecuali Kak Rifki. Aku memang memanggil Rifki dengan sebutan ‘kak’, karena dia juga memanggilku dengan embel-embel ‘dek’. Aku menghargainya dan itulah sebabnya aku juga memanggilnya dengan embel-embel ‘kak’. Aku tak tahu pasti mengapa dia memanggilku seperti itu. Padahal, dengan teman lain dia hanya memanggil nama saja, tanpa embel-embel apapun.

Curahan Hati YuliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang