CHY Four

7 0 0
                                    

Ketika awal masuk kuliah, tepatnya saat kuliah umum, Kak Rifki menghampiriku dengan Ida, temanku (saat itu kuliah umum tengah selesai dilaksanakan). Kami ngobrol bertiga sambil berdiri, karena tidak ada tempat duduk di sekitar kami. Lebih tepatnya bukan kami bertiga yang ngobrol, tapi aku dan Kak Rifki.
“Hmm, aku bakal jadi obat nyamuk nih, Mbak.” Ida bisik-bisik di telingaku.
“Eh, kok bisa sih? Ya ikutan nimbrung aja. Jangan diem, Ida.” Aku membalas bisikannya. Kak Rifki memanggilku. Pandanganku beralih padanya, Ida masih saja diam di belakangku.
“Dek, kenapa ya aku harus dipertemukan denganmu? Di sini, di MI, di Semarang?” Aku mengernyit. Tak mengerti ke arah mana pembicaraan ini.
“Maksud sampean? Oh, jadi sampean nyesel telah dipertemukan dengan aku gitu?” Aku sedikit sebal dengan pernyataannya barusan.
“Bukan begitu, Dek. Jangan salah paham dulu. Justru kakak itu bersyukur telah mengenalmu. Adek itu asyik orangnya. Lucu lagi. Lebih-lebih kalau melihat adek senyum dan tertawa, kakak jadi ikut nyengar-nyengir sendiri. Menyenangkan gitu loh adek ini.”
“Ehem ehem,” Ida yang ada di belakangku mengeluarkan suara. Tentu ia mendengar apa yang tadi Kak Rifki katakan. Aku hanya senyum, tak mau meladeninya. Bisa kacau. Bisa menyebar juga ke teman-teman lain kalau Ida sampai bilang ke mereka.
“Ada apa, Ida?” Kak Rifki menanyainya.
“Gak ada apa-apa kok, Bang. Sudah, dilanjutkan saja ngobrolnya.”
@@@
Hari semakin berlalu, bulan pun mulai bergantian. Aku semakin dekat dengan Kak Rifki. Kedekatan ini membuat hatiku berbeda. Aku semakin merasakan hati ini berbeda setiap kali aku melihatnya. Aku merasa ada sesuatu yang aneh, yang terjadi pada perasaan ini. Awalnya aku hanya menganggap ini adalah perasaan sayang seorang adik kepada kakaknya, tapi ini jelas berbeda. Sebab, dia bukanlah kakak kandungku yang sebenarnya. Aku tak tahu pasti, apakah ini perasaan yang sering disebut dengan ‘cinta’ ataukah hanya sebatas perasaan kagum terhadapnya. Namun, sejujurnya aku menyukainya dan sangat mencintainya. Cukup tahu bagaimana perasaanku sebenarnya. Aku berusaha keras untuk menyimpan perasaan ini agar tak diketahui oleh siapapun, termasuk Kak Rifki sendiri. Aku takut jikalau perasaanku ini akan membuat hubungan kami tidak harmonis lagi sebagai kakak beradik. Aku juga berusaha keras untuk tidak merespon rasa ini, aku tidak ingin rasa ini berlanjut. Aku cukup tahu diri, siapa aku dan siapa dia. Kami berdua sangat berbeda dan tak mungkin bagiku untuk mendapatkan kesempatan menjadi seseorang yang berarti baginya. Menjadi adiknya saja aku sudah sangat senang dan bahagia. Di mataku, akan sangat beruntung perempuan yang bisa mencuri hati Kak Rifki. Dia adalah calon imam yang sholeh, yang dapat menuntun keluarganya menuju syurga-Nya. Dia juga laki-laki yang bertanggung jawab dan penyayang. Ah, kenapa juga aku memikirkan hal ini. Siapapun yang akan menjadi makmum Kak Rifki nantinya, aku hanya berharap semoga orang itu sepadan dengannya dan bisa mengerti dan menerima segala kekurangan yang dimiliki Kak Rifki. Kak Rifki begitu sempurna di mataku. Walaupun aku tahu, tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Aku harus membuang rasa ini jauh-jauh. Aku takut perasaan ini hanya akan membuatku sakit. Toh, masih banyak perempuan di luar sana yang jauh lebih pantas untuk Kak Rifki. Sebagai adik yang baik, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kakakku tersayang. Sejauh ini, kedekatan kami berjalan dengan baik dan tak ada masalah apapun. Akan tetapi, hubungan kami menjadi sangat jauh. Kejadian ini terjadi karena banyak kakak senior yang salah paham dengan hubungan kami, mereka mengira kalau kami ini berpacaran. Tidak hanya para senior, bahkan teman seangkatan juga banyak yang berpikiran seperti itu, hanya beberapa yang tidak. Akibatnya, sering terjadi gojlokan yang kami terima. Sedikit-sedikit timbul kata ‘ciee’. Hal ini justru berkembang tidak baik. Ditambah lagi gojlokan dari kakak senior angkatan pertama yang menjadi mentor Bahasa Inggris, yaitu Mbak Faida. Dia mengajar setiap hari ahad dan setiap hari itu pula gojlokan itu kami dapatkan darinya. Gojlokan demi gojlokan yang kami dapatkan membuat kami semakin jauh. Awalnya aku yang mulai cuek dan diam. Sebab, Kak Rifki menolak tawaranku untuk menjelaskan bagaimana keadaan yang semestinya. Sikap diam dan cuek yang aku lakukan berkelanjutan, hingga akhirnya Kak Rifki juga ikut diam. Alhasil, kami jarang berkomunikasi. Bahkan ngomong saat ada kelas saja sangat jarang. Dari situ, kami mulai menjauh, hingga benar-benar jauh seperti sekarang ini. Jujur, aku sangat menyesali kejadian ini, tapi apa boleh buat. Semua telah terjadi, dan biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Apakah aku akan memiliki kesempatan untuk dekat lagi dengannya ataukah tidak. Aku tak boleh patah semangat hanya gara-gara jauh dengan Kak Rifki. Walaupun sekarang berjauhan, setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya ketika kelas di MI. Aku pun terkadang tegur sapa dengannya. Hanya saja, tidak seperti dulu. Suasana dan keadaan sudah sangat berbeda, tidak seharmonis dulu. Ah, tak apalah. Yang terpenting kami tak saling bertengkar, apalagi sampai bermusuhan dan saling membenci. Na’udzubillah…

Curahan Hati YuliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang