prolog

17 4 2
                                    

Ck. Aku menghela napas panjang mendengar pertengkaran mereka kembali terjadi. Disaat-saat seperti ini aku merindukan earphone yang selalu setia bertengger ditelingaku setiap saat untuk menghindari hal-hal seperti ini. Tapi entah kemana perginya barang itu setelah hampir setengah jam aku membongkar kamar kesayanganku. Dimana ya? Apa aku lupa? Atau malah terjatuh disuatu tempat antah berantah yang jarang sekali kudatangi? Ya, bagaimana tidak. Disaat aku suntuk dirumah. Aku selalu pergi kemanapun kakiku melangkah. Tersesat? Tentu saja aku tidak takut. Mereka bahkan memasang gps yang ditanam langsung dalam tubuhku. Aku merasa seperti hewan peliharaan mereka.

Hidup ini sangat kejam. Aku tahu itu. Tapi rumah adalah tempat paling nyaman didunia bukan? Harusnya begitu, setidaknya dipikiranku. Yups. Rumah adalah neraka didunia bagiku. Ya, jika aku hidup tanpa earphone.

"Cukup! Sungguh aku tidak tahan lagi. Terserah kau, kau mau urus anak itu atau tidak! Aku akan pergi dari sini. Sedari awal kita memang tidak cocok. Gara-gara anak sialan itu aku harus bertahan disini bersamamu. Aku muak!!" Suara ibu begitu melengking membuat ayah yang sedang menasehatinya terdiam seketika. Hening untuk beberapa saat. Hingga sebuah suara tamparan keras terdengar dari tempat aku duduk bersandar menatap layar handphoneku.

Sakit.

Aku merasa terbuang disini. Selama ini mereka saling melempar tanggung jawab untuk mengurusku dirumah. Mereka sama-sama muak denganku tapi tak pernah aku mendengar langsung dari mulut mereka. Dan beberapa detik yang lalu akhirnya aku mendengar kata itu dari salah satu diantara mereka. Hatiku perih tapi wajahku tidak. Aku tersenyum seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapatkan coklat kesukaan mereka. Inilah diriku. Kepribadian diriku yang membuat mereka selalu muak. Aku memiliki masalah dengan kepribadianku. Terlalu introvert terhadap orang asing, hidup dalam duniaku sendiri, dan tak memiliki sifat yang akan membuat orang tuaku bangga sama sekali. Semakin aku merasa sakit semakin lebar senyum yang kutampilkan. Bermuka dua? Berkepribadian ganda?? Aku rasa tidak. Aku... entahlah, nyaman hidup seperti ini.

"Beraninya kau bicara seperti itu disini. Leanna bisa mendengarnya" suara ayah mendesis namun masih bisa kudengar.

"Aku tidak peduli! Dan kau! .. Kau baru saja menamparku! Kau tau???!"

"Kita bisa membahas itu nanti. Ayo kita keluar dari sini." Ucap ayah tegas menyeret tangan ibu dengan keras hingga mau tak mau harus menurut. Aku bangkit dari tempat dudukku, menunggu didepan pintu masuk menunggu mereka keluar dari rumah.

"Hai.. mom, dad" ucapku tersenyum simpul dengan suara yang tak pernah mereka dengar sebelumnya melipat kedua tanganku didepan dada.

"..."

"Leanna sungguh-sungguh akan merasa sangatt senang jika kalian meninggalkanku disini sendiri. Kalian hanya perlu mengirimkan uang ke rekeningku sebulan sekali. Gampang kan? Tidak usah repot-repot mengasuhku. Aku bukan bayi berumur 3 bulan yang hanya bisa buang air. Aku sudah dewasa. Aku sudah berumur 18 tahun. Aku ingin hidup mandiri, sendiri. Dan.. jika kalian ingin bercerai, bercerailah aku merasa sangat kasihan pada kalian. Kita ini bukan aktris atau aktor yang harus bermain dalam film dan berakhir happy ending kan?" ucapku tertawa seperti gadis-gadis tukang gosip yang mendengar cerita paling konyol sedunia.

Mereka terdiam membeku menatapku. Dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan. Sebuah dering tanda notifikasi dihandphoneku masuk. Aku tersenyum simpul melihatnya. Sebuah aplikasi terbaru berhasil terpasang dihandphoneku. Aku sudah tidak mempedulikan keberadaan mereka yang berada tepat dihadapanku. Entah apa yang sebenarnya terjadi mereka berdua tiba-tiba memelukku. Ada apa ini? Drama lagi? Hehh.. biarlah, sudah beberapa tahun ini aku juga tidak pernah mendapatkan pelukan hangat seperti ini.

Mungkin untuk beberapa menit saja.

"Maafkan kami nak.. " ucap papa dengan tegas namun terdengar sangat menyesali perbuatannya.

Aku kembali tersenyum mendengar kalimat itu keluar dari mulut ayah. Bagiku itu terdengar sangat lucu. Kenapa manusia menyesali perbuatan yang memang dengan sengaja mereka lakukan? Bukankah mereka tahu? Bukankah mereka menyadari hal itu akan sangat menyakitkan bagi orang lain? Anaknya sendiri.

"Come on dad.. i am fine, i am okay" ucapku menenangkan walaupun hatiku terasa sangat sakit saat mengucapkannya. Aku mulai mendengar isak tangis ibu menciumi pucuk kepalaku bertubi-tubi. Apalagi ini? Apa dia merasa sangat bersyukur??

"Mom.."

"..."

"Terima kasih sayang.. kamu sudah sangat mengerti dan mau memahami kami. Kamu tau kan, kami memang tak pernah cocok sedari awal kita memulai hidup dalam keluarga ini. Mama janji akan mengabulkan semua yang kamu mau.. thanks leanna..."
Hatiku sedikit teriris mendengar perkataan ibu. Aku kembali tersenyum menenangkan. Ayah juga tidak bereaksi apapun bahkan untuk mengomentari ucapan ibu. Mungkin ayah juga setuju dan membenarkannya. Setidaknya walaupun hanya aku yang akan terluka pada akhirnya. Aku sedikit merasakan kelegaan yang luar biasa melihat kenyataan bahwa ayah dan ibu tidak akan lagi terluka dan menderita karena kehadirannya.

Aku lagi-lagi tertawa dengan hati yang terluka kembali memeluk mereka, orang-orang yang sangat aku sayangi didunia ini.

*****
True story..
Terselip kejadian-kejadian nyata dicerita ini. Jadi, lapak ini sebenarnya tempat mengeluarkan rasa sedih minao dari dunia nyata 😂
Semoga menikmati..

Leanna storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang