LOVE IN LAKE TO REMEMBER
Seorang pemuda tampan sedang duduk di warung sate, hari ini ia sedang menunggu seseorang yang biasanya ia potret menggunakan kameranya seminggu sekali. Mereka tak saling kenal, hanya saling mengetahui, dan hanya saling memandang. Tak lama dari penantiannya di warung sate pinggir trotoar itu, suara langkah kuda yang cepat mulai terdengar. Lelaki tampan itu langsung mengambil kameranya lalu pergi dari warung sate untuk mengambil gambar.
Seorang gadis menaiki kuda sendirian tanpa ditemani pawang kudanya. Gadis itu nampak memesona dengan topi rimba dan jaket merah yang ia kenakan. Saat kuda yang ditungganginya mulai masuk ke jalan turunan ia menarik kekang kuda agar tak terlalu kencang. Dari atas kuda ia bisa melihat seorang laki-laki yang biasanya ia lihat di jalan ini dan di hari yang sama. Lelaki itu memotret sosoknya yang sedang menaiki kuda. Meski sudah sering dipotret oleh orang yang sama, gadis itu masih saja gugup dan tak tahu harus berpose bagaimana saat dipotret, jadi gadis itu memilih tersenyum samar ke arah kamera.
Sedari awal ia melihat gadis itu, pemuda tampan terus menekan tombol kameranya agar mengambil gambar si gadis. Baginya memotret gadis itu bukan lagi sekedar hobi, namun juga aktivitas rutin yang mesti dijalankan di hari minggu, sore hari, di Telaga Sarangan—Lake To Remember. Setelah gadis itu lewat, pemuda itu hanya memandangi punggung gadis itu yang makin menjauh. Ia hafal betul dengan gadis itu, gadis manis itu masih akan lewat sekali lagi, biasanya ia menaiki kuda dua putaran.
"Mas, kenapa nggak diajak bicara si Mbak?" Tukang sate yang sampai hafal dengan lelaki tampan itu bertanya sambil menggoda setelah lelaki itu kembali duduk di bangkunya.
"Kalau sempat, deh," jawabnya nyengir.
"Mas Rain, saya kasih tahu. Memang saat ini Mas dan Mbak itu masih selalu bertemu di hari minggu di jalan yang sama dan di hari yang sama. Tapi, sewaktu-waktu Mbak itu bisa saja nggak ke sini lagi." Tukang sate manasihati sambil mengipasi satenya yang ada di atas arang.
Rain hanya tersenyum sumir mendengar ucapan Cak Udin. "Iya juga, sih." Ia terkekeh.
"Beranikan diri, Mas. Mas Rain harus mencoba ngajak bicara Mbak itu. Sudah sebulan, Mas, tapi Mas Rain belum tahu nama Mbak itu." Cak Udin mencoba memberi keberanian kepada Rain.
"Saya coba manyapa deh di putaran berikutnya." Rain lalu memakan setusuk sate ayamnya.
Rain menunggu gadis itu untuk putaran kedua, tetapi tak kunjung datang. Biasanya gadis itu berkuda dengan cepat, jadi tak mungkin memakan waktu selama ini untuk sampai lagi di jalan yang sama. Rain pun memutuskan untuk pergi mencari gadis itu, ia segera membayar satenya, lalu pergi dengan motornya.
"Mas Rain, semangat!" teriak Cak Udin saat Rain sudah pergi dengan motornya.
Rain hanya membalas dengan jempol yang diacungkan. Kali ini tempat yang dituju Rain adalah tempat sentral di Telaga Sarangan yang ramai, di dalam hatinya ia berdoa agar gadis itu masih berada di sana. Setelah memarkirkan motor, Rain berjalan kaki untuk mencari gadis bertopi rimba itu. Jika dipikir-pikir akan mudah mencarinya, karena gadis itu memiliki ciri khas yang jarang dimiliki gadis lain.
Rain memutar matanya, ia melihat ke toko-toko, tempat pangkalan kuda, dan makanan pinggiran. Sampai ia berjalan tiba di tugu khas Sarangan, Rain masih belum menemukan gadis yang ia cari. Ternyata lebih sulit daripada yang ia duga untuk mencari gadis itu.
"Pak, lihat cewek pakai jaket merah pakai topi nggak?" akhirnya Rain bertanya kepada pawang kuda yang ada di depan tugu, Rain tahu betul ia adalah pawang kuda yang sering ditunggangi gadis bertopi itu, terlihat dari nama kuda yang ada di perlengkapan kuda yang sekarang sedang ia pegang tali kekangnya.
"Oh, tadi naik kuda saya, Mas," jawabnya.
"Sekarang di mana, Pak?" Rain mulai mendapat secercah harapan.
"Ke sana, jalan sendirian." Ia menujuk ke arah kanan.
"Makasih, Pak." Rain bergegas mencari kembali gadis itu.
Sambil berlari kecil dan menerobos kerumunan orang, Rain mengedarkan pandangannya ke segala arah. Pandangannya akhirnya tertuju kepada gadis yang ia cari, Rain tersenyum sambil berhenti berlari kecil. Rain melangkah sambil tersenyum lebar, ternyata gadis itu sedang duduk di bangku pinggir telaga sambil meminum jeruk peras yang dijual tak jauh dari bangku yang ia duduki.
Rain memegang kameranya yang menggantung di depan dadanya. Gadis bertopi itu sedang menikmati indahnya Telaga Sarangan sambil menulis sesuatu di buku yang ia pegang. Baru kali ini Rain tahu kebiasaan lain dari gadis itu. Setelah mendapat beberapa foto yang bagus, Rain mendekat ke arah gadis itu.
Saat berada di belakang gadis itu, Rain masih belum menyapa, ia sedang mengintip apa yang sedang ditulis gadis itu. Rain tertawa kecil melihat tulisan si gadis yang tak beraturan, tetapi ia masih bisa membacanya, gadis itu sedang menulis ide-ide untuk sebuah cerita.
Merasa ada yang mengusiknya dari belakang, gadis bertopi itu menoleh ke belakang. Betapa tak menyangkanya ia akan mendapati pemuda pemotret itu di belakangnya. Pipi gadis itu memerah, ia segera kembali menghadap ke depan dan menutup bukunya cepat.
"Hai," sapa Rain setelah duduk di samping gadis itu.
"Hai," balas gadis itu malu.
Rain gemas sekali mendengar balasan sapaan dari gadis itu. "Kenapa tidak dua putaran naik kudanya?" Ternyata mengajak bicara gadis itu lebih mudah dari yang ia bayangkan.
"Hanya ingin sekali hari ini, lalu ingin menulis," jawab gadis itu tanpa memandang ke arah Rain, ia lebih memilih memandang ke telaga.
"Aku Rain." Pemuda itu mengulurkan tangannya.
Gadis itu mengulurkan tangannya perlahan untuk menjabat tangan pemuda yang ada di sampingnya itu. Saat tangannya sudah bertautan, gadis itu bisa merasakan kehangatan dari tangan Rain. Tanpa disadarinya, ia tersenyum sendiri karena sensasi kehangatan tautan tangan mereka.
"Rana." Gadis itu menyebut namanya.
Rain tersenyum, akhirnya gadis itu mau menatapnya, tepat ke mata bukan lagi ke lensa kameranya, terlebih lagi sambil tersenyum. Rana terlihat lebih manis dari dekat hingga membuat jantung Rain berdetak cepat karenanya. Sedangkan Rana tak jauh beda dengan Rain, jantung gadis itu berdetak cepat senada dengan irama jantung Rain.
Di sore hari dengan sinar matahari yang kekuningan, tangan mereka saling bertautan, bibir mereka saling melempar senyum, dan perasaan mereka pun terpaut. Baik Rain maupun Rana kini masih menyembunyikan perasaan masing-masing. Tetapi, dengan sapaan Rain, mereka akhirnya tidak lagi hanya saling bertatapan dan sekedar melihat di jalan yang sama dan hari yang sama.
YOU ARE READING
Love in Lake to Remember
RandomDari mata, bersarang di benak, dan melesek ke hati. Mata ke mata, ada bayang di lensa itu. Tuk Tik Tak Tik Tuk. Iring suara itu saat kita menyesap suatu rasa. Rasa yang orang sebut itu cinta.