3

47 5 11
                                    

Jingga, atau akrab disapa Jia, masih setia memandangi gadis yang terlihat berantakan disampingnya. Sesekali angin berhembus cukup kencang, hingga rambut setengah kering milik gadis itu terjuntai menutupi wajahnya yang sembab. Seperti sudah otomatis, tangan Jia tergerak menyelipkan rambut panjang itu kebelakang telinga.

Sungguh, ini pertama kalinya Jia melihat Sena benar-benar kacau. Kacau karena cinta. Selama 10 tahun lebih bersahabat dengannya, Jia hanya pernah melihat Sena menangis karena keluarganya, selebihnya, Sena benar-benar sosok yang tangguh sebagai ukuran seorang perempuan. Mereka pernah menonton film melankolis yang melegenda, judulnya Miracle of cell number 7. Jangan tanya lagi siapa yang menangis saat itu. Sudah pasti Jia.

Jia benar-benar tak tahan, kelemahan dirinya adalah melihat seorang gadis menangis dihadapannya. Apalagi gadis itu adalah Sena.

“Aku benar-benar heran sekarang. Sejak pertemuan pertama kita di ayunan taman dekat rumah waktu itu, sampai detik ini, aku sama sekali belum pernah melihatmu bersedih hanya karena hal semacam ini. Sena yang kukenal adalah Sena yang kuat dan tidak mudah menangis. Seingatku, mungkin aku hanya pernah melihatmu menangis 2 kali? Saat ayahmu memutuskan berangkat ke Jepang untuk membangun bisnisnya dan yang kedua setelah setahun kemudian kakakmu menyusul untuk bersekolah disana-,”

Ucapan lelaki itu terhenti sejenak. Melihat apa reaksi dari lawan bicaranya. Ternyata Sena masih setia pada posisinya. Hanya diam dan menunduk, entah mendengarkan atau melamun.

Ia menghela nafas pelan, kemudian melanjutkan, “Jika aku tahu hanya karena jatuh cinta akan membuatmu seperti ini, mungkin selamanya aku tidak akan pernah mau mendukungmu jatuh cinta pada siapapun Sen. Apalagi dengan lelaki ini. Kau sendiri bahkan belum pernah mengenalkan dia kepadaku, kau hanya bercerita bahwa dia tampan, dia baik, dan dia membuat hatimu hangat setiap kali melihatnya.

Oh ayolah Sena, aku sangat marah padamu tentang ini dan sayangnya kau sama sekali tidak peduli. Kau anggap aku ini apa? Bayangan tubuhmu? Yang tidak punya perasaan dan hanya setia mengikuti kemanapun kau pergi?” kali ini nada bicaranya berubah sedikit ketus, namun masih tetap menatap gadisnya dengan tatapan teduh.

Sena hanya semakin tertunduk kemudian, matanya yang membengkak menatap ke arah rumput basah disela-sela kakinya yang ditekuk. Ia tak tahu harus apa. Apa memang seharusnya ia bercerita? Apa dia benar-benar sudah keterlaluan pada Jia?

Langit sore sudah tampak semakin jelas, awan abu-abu kini sedikit demi sedikit berubah jadi hamparan oranye.

Bagaimanapun, Jia tahu perasaan Sena. Jika sudah seperti ini, mungkin akan ada perasaan bersalah yang berkecamuk dipikiran gadis itu.

Biarlah, setidaknya dia bisa sedikit mengesampingkan rasa sakit yang kini sedang menggerogoti hatinya. Batin Jia.

“Aku minta maaf padamu Ji, sungguh aku tidak bermaksud membuat jarak diantara kita. Aku hanya tidak bisa memberitahukannya padamu sekarang, kau tahu kan perempuan tidak akan mudah mengutarakan apa yang ada dipikirannya. Meskipun kita berteman sejak kecil, tetap saja kau adalah lelaki dan aku perempuan, dan sedekat apapun kita berdua, aku tetap membutuhkan ruang untuk diriku sendiri,” ujar Sena.

Sekali lagi air mata berhasil lolos, tidak tahu sakit hati atau rasa bersalah yang sedang mendominasi pikirannya sekarang.

Sebetulnya ada sedikit rasa kecewa di hati Jia, namun ia sadar bahwa memaksa Sena untuk menceritakan segalanya bukanlah cara yang tepat. Ia sangat paham, gadis itu mungkin akan lebih tertekan dan merasa tidak nyaman dengan hal itu.

“Baiklah, baiklah, aku menyerah. Bahkan sampai sudah seperti ini pun kau tetap saja keras kepala. Lain kali, ceritakan saja jika kau sudah siap menceritakannya padaku. Tapi, untuk itu, aku akan mengatakan satu hal yang harus kau tahu Sen-“ kemudian akhirnya Sena menoleh, menunggu kelanjutan dari kata-kata lelaki itu.

I Purple YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang