Seusai makan, Joshua mengantarku pulang. Waktu kami memutuskan untuk pulang, hujan sudah mereda. Hanya tinggal rintik-rintik air yang kadang menetes dari langit gelap sana. Kami pikir hujan sudah tak akan turun lagi. Kalaupun masih, mungkin hanya tinggal gerimis yang masih bisa diterjang menggunakan motor. Itu yang ada di pikiranku dan Joshua. Sayangnya, kami salah mengira. Nyatanya? Sekarang ini kami harus berteduh di halte bersama beberapa orang. Baru juga lima menit kami meninggalkan mall, hujan justru turun sangat deras.
Sebenarnya Joshua membawa jas hujan. Namun hanya satu. Kami tadi sempat berdebat tentang siapa yang harus memakainya. Joshua memaksa supaya aku yang memakainya karena aku perempuan. Sedangkan aku...aku berpikiran lebih logis. Jarak dari halte ini ke kosku hanya sekitar sepuluh menit. Posisiku juga di belakang, membonceng Joshua. Aku bisa berlindung dari hujan di belakang tubuhnya. Setelah sampai kos aku bisa langsung mandi. Sedankan Joshua, kalau aku nekat memakai jas hujan, dia akan basah kuyup. Sia-sia jika ia baru mengenakan jas hujan itu dari kosku. Belum lagi ia harus menahan dingin di jalan sampai rumahnya. Ia bisa langsung jatuh sakit.
Ditengah usahaku melawan dinginnya malam dan hawa hujan, tiba-tiba ada sesuatu yang hangat melingkupiku. Aku menoleh ke bahuku, mendapati sebuah jaket tebal sudah bertengger manis di sana. Ini jaket Joshua, yang ia kenakan padaku tanpa persetujuan dariku.
Sangat. Sinetron. Sekali.
"Apa yang kau lakukan, Josh?!" tanyaku sambil berusaha melepas jaketnya.
Namun, Joshua menghalangi niatku. "Jangan dilepas!" serunya.
"Kenapa? Apa karena aku perempuan?!" seruku sedikit terganggu.
"Karena bibirmu bergetar dan memucat!" bentak Joshua. Beberapa orang di dekat kami bahkan melirik ke arah kami. "Kau kedinginan, Lana," ucapnya melembut.
Aku yang tadinya hendak protes jadi bungkam seketika. Kenyataannya memang aku kedinginan. Cardigan yang kupakai tidak sanggup melindungi tubuhku dari dinginnya air hujan.
"Terima kasih," gumamku.
Joshua mengangguk dan tersenyum tipis. "Kuharap sedari tadi kau diam memang karena kedinginan," ucapnya sambil memeluk dirinya sendiri.
Aku mengernyit. "Maksudmu?"
Joshua mengedikkan bahunya. "Kau jadi lebih diam setelah aku menceritakan masa laluku." Kemudian raut wajah Joshua tampak terluka meski bibirnya menyunggingkan senyuman.
Mataku membulat saat paham maksud ucapan Joshua. "No!" sahutku cepat. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya...hanya..."
"Terkejut? Tidak menyangka ya?" Joshua melanjutkan kalimatku.
Aku tersenyum hambar lalu mengangguk samar. Namun buru-buru aku berucap, "tapi aku tidak bermaksud mendiamkanmu atau menjaga jarak darimu, Josh." Aku menghela napas panjang guna sedikit melegakan dadaku yang sesak.
Joshua sudah berbaik hati dengan tidak menilaiku dari masa laluku. Jadi aku tak akan menghakiminya karena perbuatan yang dulu pernah ia lakukan. Aku memang sangat membenci orang-orang yang suka merundung orang lain. Hanya karena satu orang mereka anggap berbeda lantas mereka berbondong-bondong membentuk sekutu untuk menyerang orang itu. Namun, aku tetap tak berhak menghakimi Joshua. Itu masa lalunya. Bagian dari dirinya. Privasinya.
Joshua kembali tersenyum. Namun kali ini senyumnya tulus terkembang.
Beberapa saat kemudian kami kembali terdiam sambil menunggu hujan reda. Kakiku mulai kesemutan karena terus berdiri dan menahan dingin bersamaan. Satu-satu orang yang menunggu di halte mulai berkurang saat bus tujuan mereka datang. Meski demikian, tetap saja aku dan Joshua belum bisa duduk karena semua tempat duduknya penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mother's Lover
Short StoryHidup Iliana damai sejahtera meski hanya hidup dengan ibunya di sebuah rumah merangkap florist usaha ibunya. Namun, semua berubah ketika ibunya meninggal. Hidup Iliana tak lagi sama. Terlebih saat sosok seorang pria, kekasih ibunya semasa hidup, ter...