2. Mauren

418 30 4
                                    

"Cinta itu emang gitu ya, kayak jelangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Karena kita nggak tau kapan ia datang dan kapan ia pulang."

[Mauren]

***

Mauren tampak membaca novel terbaru yang dibelinya beberapa hari yang lalu di bazar buku. Ia menyandarkan kepalanya di jendela, tepat dimana ia bisa melihat matahari terbit dengan jelas, meski sedikit menyilaukan.

Wajahnya yang sesekali berekspresi, seperti tidak memedulikan kericuhan yang terjadi di sekelilingnya. Ia begitu menikmati dunianya sendiri. Sampai tiba-tiba aku datang dengan suara yang cempreng, meneriaki telinganya. "Ren!!! Sumpah gue suka banget sama My Lil Boy."

Aku yang datang dengan kehebohan membuat gadis itu memicingkan mata, lalu bergumam, "Apaan sih kamu, aku lagi asyik baca novel tauk! Suaranya dikondisikan, deh."

"Iya, iya, maaf," aku memberengut. "Lo tau nggak pas waktu Nong S terkapar, dan hampir dicium sama Phi Belle? Aaaaaargghhh... Gue suka banget adegan itu," kataku semakin menjadi-jadi.

"Iya terus? Kamu baper?" Mauren yang masih menunjukkan ekspresi datar, membuatku geram.

"Iihh, kok elu gitu sih? Gue kan emang lagi menikmati suasana. Gue nggak baperan!" Aku menekan kalimat terakhirku.

"Ya udah kalau gitu, biasa aja." Sumpah, pagi ini Mauren ngeselin.

Aku tidak peduli dengan respon Mauren terhadapku. Lagi-lagi aku terus berceloteh, "Pfth... Andai saja di dunia nyata bisa kayak gitu ya?"

"Kaya gitu gimana maksud kamu?" kali ini Mauren sontak memerhatikanku dengan saksama.

"Ya gitu, kayak di My Lil Boy. Orang yang kita cinta bisa balas cinta itu meskipun waktunya hampir terlambat," kataku sambil berkhayal.

Mauren terkekeh, "Untung aja belum terlambat. Cinta itu emang gitu ya, kayak jelangkung. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Karena kita nggak tau kapan ia datang dan kapan ia pulang."

"Kok kata-kata lo kayak orang lagi jatuh cinta ya? Hmmm..." aku menatapnya penuh selidik, menebak-nebak asal.

Seketika wajah Mauren bersemu. Ia terlihat menyembunyikan sesuatu. Warna merah itu terlihat berjalan dari wajahnya bagian bawah hingga menyeluruh.

"Nah tuh, Mauren pasti lagi jatuh cinta sama gue," kata Devon yang tiba-tiba nimbrung dalam percakapan kami.

"Apaan sih elu Dev, sok ganteng banget," gerutuku asal.

Devon mengibaskan rambutnya lalu merapikannya dengan jari-jemari, "Emang gue ganteng, ya kan, Ren?"

Aku bergidik ngeri. Tetapi ada sesuatu yang menarik perhatianku. Warna merah di wajah Mauren lebih terlihat jelas.

Aishhh... Satu hal yang kulupa, dari Mauren. Dia itu orangnya pemalu banget. Jadi wajahnya mudah merah kalau diledikin. Coba deh, diledikin sama siapa gitu, pasti wajahnya langsung merah padam.

"Coba deh, lu lihat pas lagi gue senyum. Pasti manis banget," Devon menatap kami sambil mengekspresikan senyum dengan kepercayaan dirinya yang mengatakan bahwa dia manis.

"Jijik, tau nggak?" ketusku.

Sudahlah, menanggapi Devon hanya akan membuat tekanan darahku semakin naik. Aku bangkit dari dudukku, sambil menarik napas panjang.

Detik selanjutnya, tubuhku tak sengaja berdekatan dengan Devon yang tidak minggir saat aku akan beranjak pergi. Sementara wajahnya jatuh mendekat. Aku menunduk sambil berucap, "Minggir!"

Ia mundur beberapa langkah dan memberiku jalan.

***

"Sa... Sa... Tu..." aku dengan girangnya melompat-lompat menghindari garis pada lantai berkeramik. Hal bodoh apa lagi yang tengah kulakukan?

Ya menurutku, dengan melakukan hal-hal bodoh yang tampak tak berguna akan membuat otakku kembali segar. Semenjak kecil aku sering melakukan hal-hal bodoh itu, seperti berjalan melewati lantai berkeramik tanpa menyentuh garisnya, atau berjalan lurus dengan mata tertutup.

Semua itu kulakukan agar aku bahagia. Karena bahagia itu sederhana. Dan hal kecil itu adalah bagian dari kebahagiaanku.

"Em... Pat..." aku menghitung kotak keramik yang baru saja kulewati.

Beberapa orang yang berlalu lalang tampak tak menghiraukanku. Memang itu yang kuinginkan. Aku tak suka menjadi pusat perhatian. Jenis kepribadianku yang introvert memang mengatakan demikian.

What? Aku introvert?

Yeah, I'm introvert. Hal yang memang sedikit bertolak belakang dengan sifatku. Tapi memang sesungguhnya aku tidak suka menjadi pusat perhatian.

Aku melompati kotak selanjutnya sampai kemudian, ada dorongan kuat yang membuat tubuhku bergerak pasrah mengikuti alur kakiku. Ada sesuatu yang membuatnya... Kakiku tergerak... Dan aku.... Tergelincir...

Brukkk...

Tepat sebelum tubuhku jatuh ke tanah, aku merasakan ada kekuatan. Kekuatan besar yang menopang tubuhku. Sebuah pelukan hangat yang datang, tepat sebelum aku terjatuh. "Hati-hati dong," suaranya berbisik.

***

Salam Literasi

Raqxann

GOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang