Deru tembakan terdengar dimana-mana, suaranya begitu memekakan telinga hingga bisa membuat telinga siapa saja tuli.
Kobaran api memakan habis camp latihan kami, ini bukan lagi latihan, pertunjukan sebenarnya sedang dimulai, basis pertahanan kami diserang mendadak hingga membuat tim kocar-kacir.
Pasukan teroris menembakan senapannya kemana-mana menjadikan kami kewalahan, disaat seperti ini aku hanya bisa diam, melihat teman-temanku tergeletak tak berdaya dengan leher yang merembeskan darah segar, aku hanya berusaha mencari buku.
Buku lecek berwarna biru yang selama ini telah merekam memori yang pernah terjadi dalam hidupku, tapi sekarang aku tak tau kemana buku itu berada, aku hanya bisa diam dibalik tempat persembunyianku, tanpa bisa mencari buku itu secara leluasa.
Badanku terus meronta keluar dari tempat persembunyian, tapi apa daya, ketakutanku begitu membumbung tinggi hingga mengucurkan keringat disekujur tubuh.
Aku tetap diam ditempat, melihat teman-temanku berjatuhan dengan darah ditubuhnya.
Tanpa buku itu sejuta kenangan kan hilang
Waktu terus berputar, suara bising deru tembakan perlahan hilang mengiringi kepergian mentari siang. Tubuhku keluar dari tempat persembunyian, sejauh mata memandang, kulihat berbagai kehancuran menghiasi tempatku berpijak.Suara mobil terdengar dengan sirine yang mirip suara ambulance. Dalam hati kubersyukur, akhirnya pertolongan datang juga.
Tapi miris semua sudah terlambat, ditempatku berdiri telah banyak serdadu tumbang dengan goresan dibaju lorengnya tak luput noda darah menambah kepiluan tempat ini.
Bangunan camp kami hancur luluh lantah, puing-puingnya berserakan dimana-mana, petugas medis dengan lihai mulai melakukan pertolongan terhadap mereka yang masih selamat.
Aku, tentu tidak perlu dirawat karena saat ini tak ada luka sedikitpun yang menggores kulitku, hanya saja tekanan batin melihat teman-temanku mati masih terngiang-ngiang dalam pikiranku.
Cukup lama aku termenung melihat aksi heroik yang dilakukan petugas medis, mereka hanyalah sukarelawan yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia Peduli Sosial.
Tiba-tiba aku teringat kembali buku yang sedari tadi aku cari, aku memutuskan mencari buku tersebut.
Apa daya buku itu sepertinya telah hilang, semua tempat telah kugeledah namun tak kutemukan. Ketika kutengah duduk diatas puing bangunan yang hancur, atasan menginformasikan bahwa beberapa saat lagi kita akan menyerang kompleks persembunyian teroris.
Mendengar hal itu aku merasa ngeri, apakah hal itu akan terulang kembali. Tapi apa daya kami hanyalah tentara yang diberi makan untuk berperang, hidup kami terpaut dengan tembakan, kematian, darah dan rasa sakit melihat teman kami mati secara tidak wajar.
***
Seorang petugas medis melihat sebuah buku lecek berwarna biru, tergeletak dibawah puing bangunan yang hancur, rambut lurusnya terurai indah berpadu dengan pakaian putih yang ia kenakan, tangan halusnya mulai menjulur kebawah puing mengambil buku biru lecek tersebut.Dilihatnya sampul buku, sepertinya buku biru itu tidak asing, buku itu mengingatkannya pada seseorang yang pernah ia kenal. "Rai," "Rai,", suara nyaring dan ngos-ngosan berusaha sekuat tenaga memanggil dokter yang saat ini sedang memegang buku biru lecek.
Rai dia satu-satunya dokter cewek yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia Peduli Sosial. Kedua orang tua Rai, tidak setuju akan keputusan Rai, yang jadi sukarelawan ditengah perang, namun apa daya ketika kedua orang tuanya menolak, Rai bertingkah aneh seperti orang depresi dengan mengunci diri didalam kamar, terpaksa dengan perasaan ikhlas ayah dan ibunya menganggukan keputusan beresiko tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Life
Teen FictionKumpulan cerpen yang akan membuatmu mengerti arti KEHIDUPAN