2. Aku Melihatmu

51 2 2
                                    

Gadis itu berdiri di pinggir jembatan Sungai Musi tepat pada pukul lima sore. Kedua tangannya mencengkram erat pembatas jalan, seolah-olah ia membutuhkan pegangan untuk berpijak. Sekian detik berlalu, namun tak kutemui gerakan dari gadis itu.
Ia tetap diam, menatap lurus langit barat yang berhiaskan warna jingga. Deru kendaraan yang berlalu-lalang di belakangnya sama sekali tak ia hiraukan. Seolah ia hanya sendiri disana, dengan dunia yang ia ciptakan.
Tanpa gadis itu sadari, dunia khayalnya itulah yang membuatnya seperti ini. Menutup diri dari hiruk-pikuk kehidupan, menjelma menjadi manusia hidup namun diam layaknya patung.

Aku mendesah tak kentara. Setengah jam sudah aku duduk disudut sisi jembatan seberang jalan.

"Sial, apa yang ia perbuat?" ku rasakan hisapan rokok terakhirku sebelumku melangkah ke sisi gadis yang menjadi teka teki pikiranku saat ini.
"Hey" sembari berdiri disampingnya,
"Hm, maaf, bisa mendengar suaraku?" nyatanya percumaku bertanya.

"Aku ingin sendiri."
itu yang dikatakannya setelah beberapa menit aku berdiri disamping gadis ini, mungkin ia tahu niatku hanya untuk mengganggunya.

"Ok, fine, lakukan yang kau mau." akhirnya seorang pedagang rokok menemukanku, aku lari pada rokok, berharap rokok bisa sedikit menenangkan.

"Mas, itu temannya ngapain? Kok bengong aja udah seminggu yang lalu berdiri di pinggir jembatan terus?"
"Tak apa", sesingkat itu jawabanku pada si pak tua penjual rokok yangku hambat. Kulihat sorot matanya, mencebikkan bibir tanda tak puas dengan jawabanku. Biarlah.

Aku tak berniat menceritakannya pada siapapun. Lagipula, apa yang harus kuceritakan?

Sudah seminggu?
Apa yang ia lakukan, dan apa yangku lakukan disampingnya? hingga orang menganggap aku adalah temannya. Ah, sial.
Namun separuh hatiku seolah memintaku menemaninya sendiri di pinggir jembatan. Kenapa?

Setidaknya hanya sekedar berdiri, biarlah dulu. Tetapi Jujur, aku tak tega membiarkannya tersembunyi dalam kelapnya sepi. Namun apa boleh buat jika itu yang ia senangi.

Ku menghisap rokok yang tersisa diantara jemariku. Jam sudah menunjukkan pukul 6 petang, aku beranjak sedikit menjauh dibelakangnya. Matahari sudah tergelincir di ujung barat.
Meniggalkan langit jingga yang mulai terlihat samar-samar karena tertutup oleh gelapnya langit menjelang malam.

Ku melangkah menuju kuda besi putih kebanggaanku, ku meninggalkannya.
Bagaimana bila ia loncat? lupakan. Dia bukan siapa-siapa, lupakan.

Tapi.., aku..,
Ku pandang wajahnya tertutup oleh rambut panjangnya yang tergerai, namun aku tahu fokusnya tertuju pada bantaran sungai, entah apa yang diamatinya. Sebenarnya gadis ini menganggap aku ada atau tidak.

"Ayo pulang..., kau masih ingat dimana rumahmu?" suaraku tertelan oleh gemuruh arus sungai, namun cukup terdengar oleh telinga gadis ini.
Gadis itu menoleh. Hatiku mencelos ketika mendapati wajahnya yang tampak pucat. Sorot mata yang redup. Mungkin tatapan rindu berujung sendu.
"Dia pasti kembali, bukan?"
Pertanyaan seperti apa ini.

Pukul enam petang menit ke lima detik ke empat. Jawaban apa yang ia harap dariku? mungkin seulas senyum tipis dariku mampu menenangkannya.

Langkahnya merengkuh, pundaknya tampak rapuh. Gadis itu diam, menurut, saat aku menggiringnya menuju tempat dimana motorku terparkir. Aku naik ke atas motor milikku. Sekali lagi, gadis itu menatap langit barat yang sudah sepenuhnya berubah gelap. Kudengar helaan napas berat dari gadis itu. Ia menatapku, mengisyaratkan agar aku memperbolehkannya untuk tinggal sebentar lagi.
Namun aku menggeleng dengan senyum hangat yang terpetak di bibirku. Seharusnya ku biarkan.

Aku menggedikkan daguku ke jok belakang. Gadis itu merengut, namun akhirnya menurut.

Dengan apa ia pulang selama ini, pukul berapa?
Apa yang membuat ia begini, apa yang ia harap disini, hm..,
Aku saja mulai gila memikirkan lukanya.

"Aku sangat mencintai kekasihku. Ku yakin bahwa ia akan menjadi pelabuhan terakhirku."
Hebat, ia dapat menjawab tanpaku tanya.
Sangat lucu, seperti dia-kah harapan orang-orang yang percaya akan cinta sejati?

Ia terus bercerita sosok lelaki yang masih bayang dalam otakku.
"Seminggu yang lalu, ia meninggalkan ku di pinggir jembatan Sungai Musi. Aku menangis dalam setiap langkahnya, ku tahu, ia tahu bagaimana hancurnya hatiku saat itu."

Lelaki seperti apa yang membiarkannya menangis miris di bawah langit senja?.
Ku beranikan diri mengusap pelan lengannya, berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Aku berjanji akan menunggunya disini hingga ia kembali." Dia mulai lagi.
Dalam hati aku pun berjanji untukmu, mengembalikan binar di kedua matamu.

-nliferd
00.38 | 17/12/2017

Maya KhayalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang