Waktu berlalu begitu cepat, pernikahan mereka sudah berumur 4 tahun, namun Meyra belum juga mengandung.
Walaupun begitu, semua masih berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang berubah, hanya saja rasa takut dan juga sepi mulai menghampiri Meyra.Banyak sekali hal negatif yang menghampiri pikirannya dan Al selalu berusaha untuk memberikan energi positif untuk dirinya, dan mengatakan bahwa tidak lama lagi mereka akan segera di beri keturunan. Secepatnya. Kata itu yang selalu Al ucapkan.
Hari ini Al tidak berangkat bekerja, sejak pagi ia menghabiskan waktu bersama Meyra, mencicipi resep yang baru Meyra pelajari dan lainnya. Sampai akhirnya Ibunya datang dan meminta Meyra untuk menemaninya berbelanja kebutuhan dapur dan juga menanyakan resep rendang Meyra yang sempat ia cicipi.
Al terlihat menuruni anak tangga saat bel rumahnya berbunyi, namun ia kalah cepat dengan Bu Ema yang ternyata sudah membukakannya.
"Siapa Bu?" Tanya Al.
"Nyonya Liana dengan Non Meyra, Den." Jawabnya dan Bu Ema pun kembali ke dapur.
Al berjalan menuju ruang keluarga dimana Liana dan Meyra sudah duduk di sofa sana.
"Enak yah jalan-jalan gak ngajak aku," ucap Al seraya melihat bungkusan yang berada di bawah meja.
"Ini sayuran sama daging, Mamah gak beli makanan apa gitu buat Al?"
Bukannya menjawab, Liana malah menatap Al, lalu memberi tanda putranya itu untuk melihat Meyra yang baru ia sadari jika Meyra tidak mengeluarkan suara apa pun.
"Mey, hey... Ada apa?" Tanya Al yang kini berdiri di hadapan Meyra dengan kedua lututnya.
"Ada apa, Mah?"
"Setelah belanja, Meyra minta Mamah buat anter dia ke Dokter Alice dan--" Liana menghentikan kalimatnya, tanpa di beritahu pun, Al pasti mengerti.
Al mengusap lutut Meyra dengan tangan kirinya menggenggam lengan Meyra. "It's okay honey,"
Meyra mengangkat wajahnya dan menatap Al sendu.
"Kalian harus lebih bersabar, banyak kok keluarga yang harus bersabar menunggu, tapi pada akhirnya tuhan pun ngasih mereka keturunan. Ini hanya perihal waktu sayang, kamu sama Al kan baik-baik aja, kalian gak ada masalah." Ucap Liana seraya mengusap menantu pertamanya itu dengan lembut.
"Mamah bener, yaang..." Ucap Al.
Liana terlihat meraih barang belanjaannya. "Kamu ajak istri kamu istirahat, Mamah harus pulang, Papah kamu mau pasti nungguin Mamah..." Ucapnya.
Dan Liana pun berlalu, ia percaya bahwa putranya akan berusaha untuk menghibur Meyra dan meringankan kesedihannya.
Al beralih posisi, ia duduk di samping kanan Meyra dan memeluknya, mencium pelipisnya.
"Yaang, please jangan nangis..." Mohon Meyra saat satu isakan masuk ke dalam indera pendengarannya.
Meyra membalas pelukan Al dan tangisannya pecah begitu saja.
"I'm sorry..." Lirih Meyra.
"No, don't be sorry... It's not your fault anymore honey," ucap Al.
Al melepaskan pelukannya dan memegang bahu Meyra agar duduk tegap menatapnya.
"Kamu gak boleh minta maaf lagi, menyesal atau apa pun itu." Ucap Al.
Meyra hanya diam menatap Al dengan air matanya yang masih enggan untuk berhenti.
"Orang tua kita, bahkan aku masih punya harapan besar dan rela menunggu."
"Aku--"
"Aku paham, aku tahu kalau kamu mau jadi seorang ibu. Tuhan lagi nguji kedewasaan kamu, kekuatan kamu, buat tuhan percaya kalau kamu emang udah siap untuk mengurus seorang anak. Jangan kayak gini..." Potong Al menjelaskan.
Meyra menundukkan kepalanya dan tangisannya semakin menjadi saja.
"Aku cuma, cuma sedih... Hiksss... Wajar kan aku sedih? Wajar kan, Al?"
"Yaang, kamu boleh sedih tapi jangan--"
"Jangan apa? Jangan nangis? Kalau sedih harus ngapain sih? Heuh? KAMU SELALU BILANG JANGAN SEDIH! JANGAN SEDIH! AKU PUN GAK MAU! KAMU DENGER ITU! Aku gak mau nangis kayak gini..." Racau Meyra mendorong Al menjauh dari dirinya.
Ia menunjuk dirinya sendiri. "Mau hiksss... Mau gimana lagi, aku bukan kamu..."
"Kamu kira kamu doang yang sedih? Aku juga, Mey."
"Tapi aku perempuan,"
"Terus apa bedanya? Aku laki-laki, aku juga punya perasaan. Kamu kira aku gak sakit liat kamu kayak gini? Sakit Mey. Kamu kira aku gak mau nangis? Aku nangis, tapi aku gak berani nangis di depan kamu saat kamu kayak gini." Ucap Al, suaranya terdengar berat menahan tangisan.
Meyra mengusap air matanya dengan kasar. Ia berdiri dari duduknya dan,
BRUGH.
Tubuh Meyra tergeletak begitu saja. Dengan panik Al langsung mengangkat tubuh Meyra dan membawanya ke kamar mereka.
Dengan perlahan Al membaringkan tubuh Meyra. Dan dengan penuh cinta ia menciumi lengan Meyra yang berada dalam genggamannya.
"Aku tahu kamu sedih, aku paham..." Lirih Al bersamaan dengan air matanya yang terjatuh begitu saja.
"I know its really hard for us, tapi dengan kamu kayak gini, kamu udah nyakitin aku, Mey... Aku selalu ngerasa gagal saat kamu, kamu nyalahin diri kamu sendiri..." Ucapnya kembali.
Lengan Al terangkat mengelus lembut perut Meyra yang masih terlihat rata. "Kita akan segera memiliknya, secepatnya." Ucap Al sekaligus harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AlMeyra(Possesive Husband)
Jugendliteratur#1inrandom 04/08/2018 "Now, you're my wife." ujarnya. "I know that," jawabku malas. "Jangan tinggalkan aku dan jangan pernah mencoba untuk meninggalkan aku." ucapnya memelukku dari belakang dengan tiba-tiba. "Hn...bagaimana jika aku melakukannya?" t...