BAB III

214 11 2
                                    

Mengambil posisi siap menulis jawaban di atas kertas, Hadi menghembuskan napas dengan berat. Sesekali berdeham. Sesekali menggerak-gerakkan bahunya; pura-pura pegal. Atau diam saja seperti sedang berpikir, padahal ia sudah selesai menjawab semua soal. Sambil menopang dagu dengan sebelah tangan, ia melihat ke langit-langit ruangan, memutar-mutar matanya ke sana-sini.

Pupilnya berhenti sejenak di ujung mata. Ia merasakan sesuatu yang aneh sedari tadi. Untuk kesekian kali Hadi berdeham lagi, lebih keras. Kembali kedua mata menelusuri sudut-sudut ruangan.

Cewek ini seperi sedang memperhatikannya. Tidak, sudah jelas cewek ini memperhatikannya!

Pak Agung, dosen paling muda yang ditunjuk untuk mengawas ujian, tiba-tiba meletakkan buku bacaan di atas meja, beranjak ke luar ruangan. Hadi mencoba untuk mengecek jawabannya degan benar, tapi ia merasa terganggu. Cewek ini terus melihat ke arahnya!

Atau lebih tepatnya, MATI GAYA.

Masalahnya, cewek ini adalah cewek yang ia tabrak kemarin. Selain merasa bersalah, ia merasa malu terhadap dirinya sendiri atas keputusannya kemarin. Yah, walaupun ia hanya berniat itu untuk menolong. Masalah lainnya... ternyata cewek ini satu kampus, bahkan satu fakultas. Karena cewek ini berada di ruang ujian susulan bersamanya... itu berarti cewek ini juga satu jurusan!

Ia membuang pikiran itu jauh-jauh. Sekali lagi, menghela nafas. Hadi mencoba untuk menoleh.

"Kamu ngapain, sih?"

Awalnya tidak ada jawaban. Lalu seketika Hani tersentak. Seolah-olah baru saja kembali di dunianya. "Ya?"

"Kamu nyontek?"

"Hah?" Alis Hani yang tipis mengerut. Salah tangannya menyisir poni dan ia membuang muka. Rambutnya yang terkuncir seperti buntut kuda mengapung di udara dengan keras.

"Kamu lihat ke sini terus. Pasti nyontek, kan?" Hadi melihat kertas jawaban Hani. "Tuh, lihat. Belum ada yang disi!"

"Dih, sembarangan aja!"

"Lah? Itu, baru ngisi nama doang!... Oh, nama Mbak, Hani Wulandari?"

"Ya, namaku Hani. Kenapa?"

Hadi memalingkan wajah. "Nggak apa-apa. Baru denger aja."

Jeda sesaat. Hani menatap lembar soal di atas meja. "Emang siapa sih yang kamu kenal? Temen kelas aja paling nggak nyampe lima."

Hadi tidak membantah pernyataan itu. Ia hanya mengerjap-ngerjapkan mata. Memangnya siapa yang dia kenal? Hadi bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu.

Sudah dua tahun kuliah, tapi masih saja tidak tahu pasti siapa yang ia kenal di kampus. Bahkan, di jurusannya sendiri—Sastra Inggris. Kalau teman kelas tidak ada yang menyapa, Hadi tidak akan berbicara. Kalau ada tugas kelompok, ia hanya akan menunggu pembagian tugas dan mengerjakan di kos. Belum lagi di setiap semester, mahasiwanya selalu berganti di kelas. Ujung demi ujung, Hadi hanya akan mengenal muka. Yah, kalau seseorang menyapa, setidaknya ia hanya akan tersenyum dan bersikap ramah.

Sombong? Mungkin saja orang yang hanya 'sekedar' mengenalnya akan beranggapan demikian. Tapi sebenarnya Hadi hanya ingin menyimpan tenaga. Ia tahu bahwa bersosialisasi hanya akan membuatnya merasa lelah. Menikmati waktu sendiri adalah hal yang terbaik, begitu ia pikir. Seakan-akan energinya akan terus bertambah jika ia menghabiskan waktu dengan kesendirian.

Tapi setelah beberapa saat, Hadi malah berkata: "Jangan sok tahu. Emang kamu kenal aku?"

"Kamu?" Hani menoleh. Matanya memicing, seolah-olah melihat sesuatu dalam diri Hadi. "Cowok yang mungkin terlalu cuek. Yang kalau di kelas nggak pernah ngobrol kecuali kalau ditanya temen atau dosennya. Yang kalau jam kuliah habis, langsung ninggalin kelas gitu aja. Apalagi, ya? Baru itu aja, sih."

Sial, tidak seperti dugaan, ternyata wanita ini banyak bicara. Tapi sebagian besar perkataannya itu benar, kecuali satu hal.

"Cuek?" Hadi tersenyum tipis, membenarkan kecamata. "Gitu, ya? Makasih ya atas penilaiannya."

Hani kembali pada lembar soal. Cewek itu terlihat stres dan putus asa. Apa gara-gara itu lembar jawabannya masih kosong? Hadi melirik arloji. Wah, wah, waktu yang tersisa tidak banyak.

"Kok, masih aja kosong aja kertasnya? Bukannya tadi udah lihat jawabanku?"

"Emang siapa yang bilang aku nyontek!?"

"Waktunya tinggal dua puluh menit, loh. Yakin, nih? Mumpung Pak Agung lagi keluar, loh."

Hani menatapnya bingung. Sepertinya ia sedang memikirkan tawarannya barusan.

"Apa jangan-jangan kamu daritadi emang liatin aku? Bukan lembar jawabannya? Wah, pantes aja masih kosong—"

Hani menepuk meja kursi meja Hadi dengan keras. Menatapnya jengkel, Hani memutar kertas jawaban Hadi agar bisa terlihat dengan jelas. Hadi Setiawan: ia tidak sengaja melihat nama itu.

Bebarapa menit kemudian Hani menyalin jawaban Hadi dengan cepat tanpa berpikir ulang untuk merubah susunan kalimat maupun katanya. Sementara itu, dengan was-was Hadi berjaga-jaga melihat ke arah pintu yang sedikit terbuka, kalau saja sewaktu-waktu Pak Agung kembali ke ruangan.

"Ngomong-ngomong, makasih cokelatnya," Hani berkata tanpa berhenti menulis.

Hadi terdiam sejenak sebelum menyadari maksud perkataan barusan.

Wanita itu tertidur begitu saja sewaktu Hadi mengambilkan kotak obat-obatan di kamarnya kemarin. Ia bisa saja meninggalkannya dengan kotak tersebut. Namun ia tidak tega. Pada akhirnya ia membalurkan minyak—Hadi lupa apa nama minyak tersebut—pada pergelangan kakinya; menaburkan cairan betadine pada bagian sikut tangan dan menutupnya dengan selembar hansaplas. Lalu ia mencoba membangunkannya kembali, tapi tidak bangun juga. Maka dengan terpaksa Hadi membawa Hani ke kamarnya. Sebelum pergi, ia meninggalkan sebatang cokelat.dengan kecepatan kilat, sebelum seseorang melihat dan menduga yang tidak-tidak.

"Gimana?"

"Hm? Enak, kok."

"Bukan, kakimu."

"Oh," Hani menoleh sebentar. "Masih nyeri, sih. Cuma udah bisa jalan, kok."

Hadi mengangguk mengerti. Di ujung lorong, terlihat seorang pria berumur 25-an berjalan santai menuju ke ruangan mereka.

Gawat. Pak Agung kembali.

"Eh, masih lama, nggak? Pak Agung udah mau balik, tuh."

Dengan lebih cepat Hani memindahkan jawaban Hadi ke kertasnya. Cewek itu tidak peduli seberapa buruk tulisannya itu, yang penting masih bisa terbaca. Tepat beberapa meter sebelum Pak Agung mendekati pintu masuk, Hani memberikan kode 'Udah!' pada Hadi. Tak lama setelah dosen muda itu masuk, mereka langsung saja mengumpulkan lembar jawaban dan langsung meninggalkan ruangan.

"Sumpah, susah banget soalnya!" seru Hani pada entah-siapa, menggemakan sepanjang lorong. Hadi bertaruh Pak Agung mendengar dari kejauhan.

"Stt... Kalau nggak belajar emang begitu akibatnya."

Hani menatap Hadi jengkel. "Sok tahu."

Mereka terus berjalan di tengah-tengah lorong fakultas. Tenang dan nyaman. Seakan-akan bunyi sepatu mereka yang menggema merupakan salah satu arti ketentraman tersendiri.

Di ujung pintu keluar, Hadi berhenti, sementara Hani ikut berhenti beberapa langkah kemudian dan menoleh. Mereka berdua berdiri menghadap, menatap satu sama lain. Angin berhembus begitu saja seloah-olah menjadi penengah di antara mereka.

"Udah makan?" tanya Hadi datar.

"Belum."

Kenapa Hadi bertanya demikian? Ia pun bingung terhadap dirinya sendiri. Bukankah lebih baik ia membungkus makanan dan memakannya di kos?

"Aku yang bayar."

"Kenapa?"

"Karena... anggap saja permintaan maafku atas kejadian kemarin."

Mereka pun berjalan menuju parkiran di mana Hadi meletakkan sepeda Scopiee kesayangan. Ia tak tahu kenapa melakukan ini. Entah, terjadi begitu saja. Tiba-tiba saja pikiran dan hatinya berkompromi membuat si mulut untuk berkata demikian.

Mengenal lebih dekat? Tak tahu juga. Hadi hanya tidak bisa menahan diri ketika cewek itu menggeleng dan tersenyum secara bersamaan.

Dan tidak menolak. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 02, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hadi & HaniWhere stories live. Discover now