BAB II

296 10 0
                                    

Sejak ia terbangun, Hani masih saja memetik gitar di atas kasur, memainkan melodi-melodi abstrak asalkan lembut didengar. Tidak, kali ini ia tidak sambil bernyanyi. Bukan karena tidak mau, tapi ia merasa terlalu lemah untuk mengeluarkan suara. Ia belum makan nasi sejak tadi pagi; hanya meminum sekotak susu yang telah ia siapkan di malam sebelumnya.

Ia merasa sedikit beruntung karena bukan pergelangan tangan yang cidera. Walaupun sikutnya lumayan perih, tapi setidaknya ia masih bisa menahan di badan gitar ketika memainkan senar demia senar. Tapi tetap saja ia hanya bisa bergerak di sekitar kamar. Pergelangan kaki kirinya sangat nyeri jika terlalu dipaksakan. Ini semua gara-gara cowok tadi pagi yang mengendarai motor dengan bodoh.

Matanya yang sayu menatap keluar jendela, memerhatikan kalau saja teman kos kamar sebelah terlihat di jalan pulang dari kejauhan. Biasanya, Fitri, teman kosnya itu pulang sekitar waktu Ashar—entah sebelum atau sesudah. Kalau wanita itu terlihat, ia akan berteriak sebisanya untuk membelikan sebungkus makanan di warung depan.

Angin sejuk berhembus masuk melalui lubang jendela ketika tiba-tiba cowok yang menabraknya tadi pagi melintas di pikirannya. Ketika cowok itu bertanya apakah Hani tidak apa-apa, ia seharusnya mengomel dengan kata-kata yang kasar dan bernada tinggi. Apakah cowok itu tahu akibat menabraknya pagi ini? Ia tidak jadi ikut Ujian Akhir Semester di hari pertama! Padahal ia sudah berjuang keras. Apakah cowok itu tahu kalau malam sebelumnya ia kekurangan tidur karena bersusah payah belajar? Yah, walaupun pada akhirnya tetap saja ilmu yang masuk ke dalam otaknya itu sangatlah minim.

Tapi pada akhirnya Hani memilih diam. Ia menarik kembali amarahnya. Karena... karena ia sebenarnya mengenal cowok itu.

Fitri pun terlihat. Hani berhenti memetik gitar dan memanggilnya beberapa kali hingga menoleh. Lalu dari balik jendela, ia berteriak untuk menitip makanan—Fitri dengan sendirinya tahu harus membeli di mana.

"Kamu nggak punya kaki apa? Males banget. Tinggal nyeberang aja juga," ucap Fitri beberapa saat kemudian di kamar Hani. Logatnya masih terdengar medok, walau ia sudah berlatih agak tidak terdengar demikian.

"Sini, sini," Hani memberi isyarat dengan tangannya. "Lihat nih, sikutku lecet! Kakiku yang ini keseleo! Masa kamu tega sama aku? Aku malah nungguin kamu daritadi cuma buat nitip makan gara-gara nggak bisa jalan, tau."

"Ya ampuun," Fitri meletakkan dua bungkus makanan di atas meja, menghampiri Hani. Gitar diletakkannya bersandar pada tembok. "Kok, bisa? Ujianmu gimana, dong?"

"Aku hampir ketabrak motor. Untung cuma keserempet. Ujiannya ya nggak ikut."

"Padahal udah bela-belain begadang. Tapi bisa disusul, kan?" Fitri mengambil makanan Hani dan sendok didekat situ. "Nih, sambil makan."

"Thanks. Apaanyang disusul?" Ia membuka bungkus dan memakannya dengan liar.

"Ujiannya, lah. Eh, pelan-pelan, nanti keselek."

Ah, iya. Untung saja tadi ia sudah mengirim SMS pada ketua kelasnya. Untuk berjaga-jaga, ia juga mengirim SMS langsung pada dosen mata pelajaran yang diujikan hari ini. Izin, dapat musibah kecil—begitulah inti SMS itu.

"Terus yang nabrak gimana?" lanjut Fitri.

Hani sedikit tersentak.

"Hmm?"

"Yang nabrak. Dia tanggung jawab apa kabur gitu aja?"

"Oh," Hani menelan dengan berat. "Tanggung jawab, kok—"

Seketika, mulutnya berhenti mengunyah, seluruh tubuhnya membeku—kini otaknya yang berpikir.

Setelah Hani menyuruh cowok itu mengambilkan kotak obat-obatan, ia tak terlalu ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang jelas, Hani yakin hanya merebahkan diri sebentar di atas bangku karena lelah efek sehabis begadang. Tunggu, apakah dia ketiduran?

Lalu kenapa dia bisa tertidur di kamar? Bagaimana bisa—Apakah... apakah cowok itu yang membawanya ke kamar? Menggendongnya, begitu?

Pikiran yang macam-macam mulai bermunculan dalam otak.

"Han, kamu kenapa, sih? Kok wajahmu jadi merah gitu?"

"Hah? Apaan, sih, Fit?" Hani kembali makan dengan lahap. "Kamu kenapa nggak ikutan makan? Itu kamu beli dua bungkus."

Matanya tak senjaga menangkap kotak obat-obatannya di atas lemari, dan juga cokelat yang ada di sampingnya. Ia tahu Fitri sedang berbicara dengannya, tapi entah mengapa ia tidak mendengar.

Dia... tidak macam-macam, kan?

***

Keesokan paginya, Hani berjalan dengan langkah yang terseret-seret, menuju sebuah ruangan di lantai satu. Ruangan itu tidak ada namanya, dan ia pernah bertanya-tanya kenapa pihak kampus maupun jurusan tidak menamainya. Jika boleh menamai ruangan itu, maka Hani akan memberi sebutan 'Ruang BK' alias bimbingan konseling. Karena sejujurnya, ketika pertama kali melihat ruangan itu, ia jadi teringat ruangan BK yang ada di SMA-nya dulu.

Lagi-lagi, ia hanya miminum susu kotak yang dibelinya ketika tadi mampir ke Indomaret di perjalanan. Ketika bangun pagi-pagi tadi, Hani mendapat pesan balasan mendadak dari dosen mata kuliah kemarin bahwa akan diadakan ujian susulan jam 9, atau tidak sama sekali. Maka sepajangan bangun tidur hingga persiapan berangkat, waktu yang dihabiskannya hanya untuk belajar, belajar, dan belajar.

Tapi tetap saja, ia masih merasa seperti wanita bodoh karena tetap tidak mengerti walaupun sudah membacanya berulang kali. Apakah Sastra sesulit ini? Maka dari itu ia memilih penjurusan Linguistik.

Beberapa saat kemudian, Hani tiba di depan ruangan itu. Ketika membuka pintu, ia terdiam sebentar di sana; mendapati seorang cowok yang sedang tertidur.

Kacamatanya melorot hingga pangkal hidung. Rambutnya yang disisir ke kanan berjatuhan, sehingga menutupi sebelah matanya. Sebelah tangannya memopong dagunya yang terus saja hendak jatuh. Cowok itu adalah cowok kemarin yang menyerempetnya, dan juga yang monolongnya. Bagaimana mungkin tak terlintas di pikirannya bahwa cowok ini juga akan mengikuti ujan susulan bersamanya?

Lalu Hani masuk dan duduk di kursi sampingnya. Kalau ada kursi lain, ia akan duduk di kursi tersebut. Tapi nyatanya ia tidak punya pilihan lain. Karena memang beginilah sebenar-benarnya ruang BK: satu kursi untuk konsultan, dua kursi untuk orang yang akan berkonsultasi, dan sebuah meja panjang yang menjadi penengah di antara mereka dan konsultan. Tapi tentu saja mereka bukan ke sini untuk berkonsultasi.

Melihatnya tidur membuat Hani ingin tidur juga. Tapi entah kenapa matanya terus saja memilih terjaga untuk menonton cowok yang tertidur itu.

Hadi & HaniWhere stories live. Discover now