Aku dan bayangan Cantikku

87 3 0
                                    

Winter, Barcelona 2009

Aku menutup pintu pelan-pelan setelah yakin menempelkan note di samping tempat tidur yang berbunyi bahwa aku akan keluar jalan-jalan pagi, berlalu meninggalkan flat yang hangat dan Stephen yang mendengkur halus di bawah selimutnya. Walaupun aku tau saat ia terbangun, ia tidak akan histeris menyadari aku yang tidak berada di tempat tidur, aku tetap meninggalkan pesanku di sana. Subuh ini begitu hening dan dingin. Pasti karena mereka semua sibuk merangkai mimpi di bawah pemanas ruangan yang semalamam berdesing, menjadi lullaby bagi tidur mereka yang ingin di pulas-pulaskan.

Aku ingin berlari menyusuri jalanan subuh yang masih sepi, menikmati kota di bawah temaram lampu jalan yang klasik. Jadi aku memulainya dengan menuruni tangga apartemenku menggunakan langkah-langkah kecil yang santai. Aku tiba di lantai satu dengan nafas yang masih teratur dan menyapa George yang terkantuk-kantuk di balik meja resepsionis dengan senyum pagi termanisku. Sehingga ia tak akan kesal terbangun dan hampir terantuk meja saat aku melewatinya. Aku menutup pintu di belakangku, mendapati dinginnya subuh menyambutku di pelukannya. Membuat ku yakin bahwa ini adalah musim dingin terangkuh yang tega membuat lututku goyah dan gigiku menggeretuk bahkan sesaat setelah aku menjamah pelukannya. Pagi ini aku lihat subuh masih saja menyebarkan kesenyapan yang membeku di luar selimut dan dengkuran halus tubuh-tubuh yang menikmati malam dalam mimpi. Tapi aku bersikeras bisa menikmati waktu ini. Sehingga jelas bahwa aku merasa, aku peduli hening dan menyukai gelap, jadi aku bisa menghitung bintang dengan nyaman.

Bagiku subuh adalah waktu yang aman untuk berlari santai seperti ini, merasakan sisa-sisa hawa malam yang mencekam. Sebab yang ku tahu, pada jam-jam seperti ini para gangster dan berandalan sedang sibuk diantara wanita-wanitanya, atau paling tidak mereka sedang terjerembab di atas pelangi yang dihiasi gelas-gelas beralkohol sisa pesta semalaman. Aku membetulkan ikat sepatuku dan meniup-niupkan nafas yang mengepul ke telapak tanganku dan kemudian berlari menyusuri jalan yang remang-remang.

Jalanan masih terbilang lengang untuk ukuran kota yang tak pernah tidur ini. Hanya satu dua mobil yang lalu lalang. Aku meneruskan rute ku berlari sejauh mungkin menghiba keringat untuk mengucur deras, memerangi kebekuan catalonia. Meskipun matahari belum mau menampakkan diri, tetapi bias sinarnya sudah sedikit menerangi langit yang gelap. Aku melihatnya berangsur-angsur terang dengan awan yang berarak manis. Agaknya berbanding lurus dengan langit yang menerang, kota juga tiba-tiba saja terbangun, aktivitas-aktivitas mereka mulai memenuhi sudut-sudut jalan yang ku lalui. Selama aku berlari, aku melihat semuanya. Remaja-remaja yang menyandarkan separuh bahunya ke deretan pagar usang dekat dengan lapangan bola, bergantian menghisap tembakau yang sama. Ibu-ibu paruh baya membawa sekantong penuh barang belanja dan bercengkerama membahasakan sekelilingnya. Sepasang kekasih yang menurutku, tidak tahu malu hingga bercumbu di sepanjang jalanan padahal pagi baru saja menampakkan batang hidungnya. Bahkan aku sesekali melihat tunawisma mengais-ngais beberapa tong sampah yang di laluinya untuk mencari kantong makanan yang setengah penuh, tak peduli basi atau berjamur, bagi mereka mungkin makanan yang seperti itu masih lebih layak dirasakan daripada pedihnya perut yang kelaparan.

Ini keterlaluan sekali, pagi yang aku idam-idamkan menghalau semua pikiran-pikiran yang berjejalan tak muat di kepalaku, kenapa sampai hati membuatku berpikir dua kali hanya dalam kurun waktu 1 jam aku berlari. Memaksa rasa-rasa penasaranku dan insting ku untuk 'membenahi apapun yang salah' merasupi pikiranku yang sudah penuh sesak dengan tak terbendung lagi. Kenapa dunia kacau sekali, pikirku. Apa yang bisa aku lakukan dengan semua ini? Kehidupan sosial selalu meminta waktu yang tidak sedikit untuk di perhatikan, dan aku ingin sekali membenahi semuanya. Yang aku tahu, mereka semua layak untuk hidup diatas kebenaran, mereka patut di selamatkan. Dunia yang kacau balau ini, bisa di benahi.

Aku tiba di taman dan melihat para merpati bertebangan dengan lincah. Satu dua menapakkan kaki mereka dan berjalan berjingkat-jingkat memunguti jagung yang di tebar sembarangan oleh empunya. Masih dengan kemelut yang berdrama di dalam kepalaku, aku mendekati penjual minuman dan bersegera mengambil air putih kemasan. Memberikan uangku dan menenggak separuh isi botol. Penjualnya menawariku sekantung penuh jagung untuk di berikan kepada merpati, sebagai ganti dari kembalian uangku. Aku yang tak ingin gemericing koin menjadi nada berisik di dalam saku celanaku pun mengiyakan saja apa yang di berikannya. Jadi, inilah aku sekarang, menenteng air putih kemasan dan sekantung penuh jagung, berjalan melintasi merpati yang sibuk turun dan terbang. Berusaha mencari tempat duduk yang nyaman, menikmati taman dan berpuluh-puluh merpati yang akan kuajak berkenalan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 26, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aku dan bayangan CantikkuWhere stories live. Discover now