02

83 10 4
                                    

Mulmed: Yuki, Marissa

PANGERAN PENCABUT NYAWA

Pagi yang sama dan kejenuhan yang sama pula di sekolah. Semua terlalu datar. Tanpa warna. Yuki menapakkan kakinya di petak keramik putih di ujung koridor lantai 2 sekolah. Dibiarkannya angin bermain-main dengan rambut ikalnya yang berwarna hitam pekat itu. Buku dengan sampul kulit cokelat yang beraroma manis bertengger di tembok koridor yang tingginya hanya sepanggul. Sang buku cokelat akan tampak kesepian tanpa pulpen hitam dan segelas susu kedelai hangat yang terjaga aman dalam botol minum blue-gray milik Yuki. Hari ini awan mulai bergelayut menyatu di langit sana. Akan hujan, sepertinya.

"Uki!" suara langkah kaki yang terburu waktu beriringan dengan panggilan itu

"Ya?" Yuki berbalik dan menyunggingkan simpul manis di bibirnya yang rona oleh pelembab bibir pada teman nya, Marissa

"Buruan kuy ke kantin" Marissa menarik lengan Yuki yang tertawa kecil melihat gadis di depannya dengan raut wajah "sedang dalam keadaan darurat"

"Sabar Ca, barang ku masih nengger noh" Yuki menoleh berbalik pada kekasihnya–sang buku cokelat.

"Ribet elah. Yaudah buru." Marissa merelakan genggamnya lepas

________________________

Yuki menyudahi santap siangnya dengan teguk terakhir segelas air putih, lalu memandang seksama gadis yang kerap disapa Icen–ica centil–itu menghayati tiap lumatan baso dalam mulutnya.

"Paan liat-liat? Nge fans?" Marissa menyambar kaleng soda yang berada di depannya ketika menangkap basah Yuki sedang memperhatikannya begitu intens. Yuki hanya terkekeh kecil melihat gelagat temannya yang sudah sedari dulu menjadi temannya, dan akan tetap begitu.

Tanpa disangka Marissa terbatuk saat membelalak tepat ke arah belakang punggung Yuki yang duduk di kursi panjang tosca kantin. Tanpa perintah Yuki ikut menolehkan pandangannya ke arah yang membuat temannya tersedak barusan. Tepat di pandangannya hanya ada Rafi. Iya, Rafi, seorang laki-laki yang menyebalkan dengan suara tawa nyaring dan taring yang selalu terpamer ke khalayak ketika ia tertawa atau hanya sekedar tersenyum. Lelaki jangkung dengan kulit terang dan hidung mancung itu adalah musuh bebuyutan Yuki semenjak minggu pertama di kelas VII. Bagi Yuki insiden air minum dan pel itu takkan pernah terhapus dari buku catatan dosa, sekalipun tintanya memburam.

"Apasih Ca? Liatin Rafi udah kaya ciwi2 ganjen di sekolahan aja. Masuk genk si Amel yak?"

"Ih! Burem lu ya? Itu ada cowo kaya oppa oppa kiyowo tau ga." Marissa setengah membentak.

"Otak lu oppa oppa mulu. Kalo belum mirip Sehun ogah liatnya"

"Ngomen mulu ah!" Marissa membelokkan arah pandang Yuki ke arah lelaki itu dengan kedua tangan menempel pada pipi Yuki

"Mana? Situ kali yang burem."

"Lama. Keburu pergi dia." Marissa kembali duduk manis dengan kaki tersilang di kursinya.

"Bacot elah" Yuki mengeluarkan permen karet mint yang akan segara berulang ia lumat di mulutnya.

Dering bel memekkan telinga siapa saja yang mendengarnya menggema nyaring di seluruh sudut sekolah. Waktunya kembali terduduk rapi di kursi-kursi yang tersusun monoton di kelas. Mendengarkan, mencatat, memahami, menghafal, dan mengerjakan, kemudian begitu terus berulang. Ini semua memuakkan. Membuat Yuki ingin melangkahkan kakinya dengan cepat, mengalahkan angin, lalu melompat dari tempat yang lebih tinggi daripada langit, terjun, dihisap dingin dan birunya samudera, lalu terperangkap dalam sesak tanpa oksigen yang membuat jantungnya melemah, hingga paru-parunya kembali dipenuhi oksigen, dan akhirnya jantungnya berdegup lebih kencang daripada cahaya, kemudian meledak.

Derai DesemberWhere stories live. Discover now