9 3 0
                                    

Kalau langit runtuh, apa yang akan terlihat di baliknya? Akankah kulihat bergunung-gunung emas? Atau sebuah rumah megah yang begitu berkilau dengan arak-arakan uap air yang bergumpal-gumpal di atasnya? Ataukah sebuah mesin waktu yang akan membawaku kembali, ke sebuah tempat, di mana akan kubereskan sebuah perkara indah denganmu yang akan mengubah untaian kalimat yang terucap dari bibir indahmu sekarang?

Namun, akankah langit runtuh?

Terpa angin yang bertemuku pagi itu membawa segala kenangan kelam tentangmu, tentang kita. Perasaanku membuncah, membuatku hampir meletus dan hancur, menyisakan keping-keping dariku yang masih akan memanggil namamu. Memanggil nama indah yang dipilihkan secara cermat oleh penanggungmu, bahkan ketika kepingku tertiup angin dan dibawa jauh ke ujung benua.

Aku pernah membacanya, pertanyaan-pertanyaan tentang atom-atom penyusun kenangan dan faktor-faktor pendorong pengingat kenangan. Semua itu gila. Pertanyaan itu gila. Sangat gila, karena tak pernah sekalipun perihal tersebut terbesit di benakku. Seketika itu pula, saat kubaca, seperti terdengar denting genta kecil dari kejauhan. Tolong, seseorang, cari tahu bagaimana caranya mencegah pikiranku yang sempit ini agar tidak mengingat sebuah kenangan. Apalagi tentangnya. Tentangmu, Sayang.

Berusaha tidak bertemu dengan jelaga hitam kelam nan indah yang berjumlah dua dan selalu tajam menilik, usaha itu semu saja. Bohong. Karena dunia ini delapan puluh persen terdiri dari kebohongan, satu persen kejujuran, dan sembilan persen lainnya yaitu ketidakpastian. Akan selalu ada secuil usaha untuk meliriknya dan menikmati legam itu. Kepekatan yang seperti pintu kemana saja, dapat membawamu ke ruang yang bahkan kau sendiri tidak mengetahuinya. Suatu tempat untuk mengemban petualangan baru, sebelum akhirnya kau didepak paksa dan takkan diizinkan untuk kembali. Walau awalnya mutiara hitam itulah yang menarikmu dan memeluk erat dirimu untuk menetap.

Aku benci. Padamu dan segala keindahanmu. Aku juga benci kepada pertemuan kita. Dipertemukan dengan senyum indahmu, dipertemukan dengan sentuhan ringanmu, dipertemukan dengan kata-kata manismu, dipertemukan dengan kejutan kecilmu, dipertemukan dengan hadiah mungilmu, dipertemukan dengan semburat merah milikmu. Kaupikir aku menyukainya? Tentu. Tentu, aku membencinya, Bodoh.

Pernik kecil di meja belajar kayu yang selalu diam di pojok kamarku itu akan selalu berhasil menggambarkan senyum malu-malu kucing yang kau tunjukkan hari itu. Pernik itu ialah sebuah balok kaca dan bangunan megah yang indah berada di dalamnya.

"Aku pernah ke sana," ujarmu. Setelah itu, kauberikan padaku pernik itu. "Aku mengingatmu saat aku di sana."

Sampai sekarang, senyum selalu mengembang begitu saja saat adegan itu terulang di otakku. Mengembang begitu besar, mencapai mataku, mendorong glandula-glandula di sekitarnya, dan para prajurit air mata akan dengan sigap berhamburan keluar dan saling mengejar satu sama lain. Kalau terus-terusan begini, aku akan kehilangan para prajuritku secepat cahaya berlalu. Mungkin harus kupecahkan saja pernik indah yang dibawanya untuk mencuri hatiku itu?

Kalau aku berkata kasar, jangan umpat aku. Karena hatiku sudah dicuri, dan kubiarkan saja begitu.

Kutitipkan hatiku, ya.

Debur ombak yang memecah pantai menjadi berjuta-juta pasir pucat akan selalu memecah kenangan yang itu. Di mana kau dan aku berada di satu garis lintang, menikmati arak-arakan indah komponen-komponen langit jingga sore itu. Masih teringat diriku akan saat-saat kucoba meraih pergelangan gagahmu. Kucoba dengan seluruh butiran keberanian yang kumiliki dan berakhir nahas. Mungkin, sebetulnya, sayatan yang dengan cepatnya merobek hatiku saat itu jugalah yang selalu membuatku teringat akan debur ombak di pantai dan segala pengaraknya? Atau terbalik? Aku tidak tahu.

Namun, segala kenangan akan teringat ketika kutarik pelatuknya. Ataupun orang lain yang menariknya.

Di tengah sebuah ruangan berukuran lima meter kali sembilan meter, seorang pria paruh baya sedang bercengkerama dengan nyawa-nyawa manusia yang tertidur. Kepala-kepala manusia yang berada di hadapannya nampak rendah, bertemu kayu persegi panjang yang dingin dan keras. Tidakkah beliau geram? Tidakkah beliau berhasrat untuk berteriak dengan lantangnya, dan menerjang semua yang menyetubuhi meja-meja itu? Kalau bisa, sekalian saja pangkas habis angka-angka yang menyentuh sembilan puluh di laporan akhir mereka.

Dingin, namun kudambakan sebatang es krim cokelat yang dapat selalu menangkis rasa kesal dan gundah gulana. Terlebih batangan itu kudapat dari uluranmu.

"Katamu, kau mau es krim."

"Kenapa dua?"

"Aku ingin makan bersamamu."

Sesal.

Memang, memang aku senang. Namun apalagi kalau bukan sesal yang dapat kurasakan saat di akhir abad, cahayamu padam begitu saja. Duniaku gelap, tahu tidak? Sudah kudatangi berpuluh-puluh tukang lampu, tak ada juga yang sepadan denganmu. Pada akhirnya, aku masih akan tetap mencoba meraba-raba, mencari bagian darimu, secercah pun tak apa. Kuharap aku tak menulis apapun salah.

Kutarik kata-kataku, semua hal yang kulakukan, akan selalu menyeretku dengan paksa ke dunia kenangan yang ada dirimu di sana.

Di ingatanku yang paling pertama tentang dirimu, tergambar pohon ceri yang rindang, beberapa anak taman kanak-kanak, bak pasir, ayunan, dan seorang lelaki yang culun sekali. Dia melirikku sesekali. Dia pikir aku tak akan menyadarinya? Seseorang lantas berceletuk akan dirinya dan mendorong-dorongku. Kulihat mata lelaki itu melebar dan mengerjap hebat. Dadanya naik-turun cepat sekali. Ia juga terlihat ingin kabur ke antah-berantah. Sementara anak-anak disekitarnya tertawa, melihatnya lucu.

Tak sampai seumur jagung, desas-desus perihal perkara hatimu itu sudah terdengar semua orang di semesta. Aku bertanya-tanya, apa semesta itu sekecil mata plankton atau bagaimana? Aku bahkan orang terakhir yang mendapat dengar soal itu. Namun diriku saat itu tidak mengerti tentangnya, tentangmu. Kita teman, kan?

Pemikiran sok polos itu lantas mendorongku ke jurang penyesalan dengan segala 'bagaimana kalau'-nya. Walau cahayamu yang memilih padam sendiri, jurang yang tiada akhirnya ini terasa lebih erat memelukku setelah peninggalanmu.

Daftar perihal yang kubenci bertambah satu. Menemani dirimu, kenangan akan dirimu akan selalu bertengger di situ.

Sudah saatnya aku melupakan cahayamu dan terus terjatuh di jurang ini. Namun, berengsek, cercahmu muncul begitu saja. Dan kaupikir apa yang akan kulakukan selain menaruh harap? Berenang-renang, mencoba menggapaimu, butir peluh menetes deras. Aku dapat melihat setangkai bunga mendampingimu, daunnya bertengger padamu, menaruh kepercayaan padamu, dan menyorong cahayamu. Bunga itu indah, kemerahan, dan harumnya menusuk indra penciumanku. Apa itu? Apa maksudmu?

Kepada lelaki bodoh, tolol, dan juga berengsek.

Doaku akan selalu terpanjat dan tak akan pernah terhenti. Kuharap kau mati saja sana.

Doaku akan selalu terpanjat dan tak akan pernah berhenti. Lihat aku sekali saja, kumohon.

Doaku akan selalu terpanjat dan tak akan pernah berhenti. Hilangkan saja ingatanku dan kunci menuju dunia kenanganku.

Doaku akan selalu terpanjat dan tak akan pernah berhenti. Lihat aku dan mari untai kenangan baru.

Doaku akan selalu terpanjat dan tak akan pernah berhenti. Aku mencinta- membencimu. Selamat tinggal. Mari berjalan ke jalan yang berbeda. Aku akan ke timur, kau harus ke barat. Dan jika bumi itu bulat, dan ada kemungkinan kita bertemu di bujur nol derajat, mari buang muka dan segala identitas lama kita. Tak usah kau kembalikan hatiku yang itu. Ambil saja, anggap saja kenang-kenangan.

Kau, aku, kita orang asing yang bertemu di bujur nol derajat dan tak lebih dari itu.

TorehanWhere stories live. Discover now