Kau tahu makanan itu? Tidak? Baiklah. Perkenalkan, dia adalah gulali, manis, penuh warna, kesukaanku. Namun, bagaimanapun, kau masih kesukaanku yang nomor satu!
Bunga-bunga yang bermekaran pagi itu, kupu-kupu yang tidak berhentinya datang silih berganti, rerumputan tinggi di mana kita bermain – berkejaran – tanpa sedikitpun rasa takut, ocehan ibumu yang menggaung, teman lelaki kita yang mengadu, kereta yang salah kita naiki, terik matahari yang mulai menusuk, kerjap matamu, bentakmu, permintaan maafmu, perasaan yang mulai tumbuh tanpa disiram dan diberi pupuk. Perasaan yang datang tanpa diundang, perasaan yang mulai menjadi teman hidupku.
Wahai, Perasaan, mengapa kau datang padaku saat itu?
Aku selalu ingin menanyakannya, alasannya datang padaku, mengelabuiku, menghantuiku, menyelubungi hatiku, merasuk di jiwaku, dan berakhir merusak akal sehatku. Jika ia tak datang, toh, tak akan begini jadinya. Tidak akan ada jarak antara kita, tak akan ada cercaan itu, tak akan ada perempuan itu, tak akan ada lelaki itu, tak akan ada nasihat ibu yang selalu kudengar setiap hari sejak saat itu, saat kau mulai mendorongku keluar dari hidupmu secara tiba-tiba.
Kau tahu, bukan hanya aku yang terheran akan sikap anehmu kala itu.
Perempuan gempal bersurai hitam bergelombang itu, perempuan kecil yang berkaca mata, perempuan dengan goresan di hidung mancungnya, perempuan dengan dahi yang lebar, lelaki berambut jabrik, lelaki yang pendiam namun jahil, lelaki pendiam yang murah senyum, dan masih banyak lagi. Aku bisa saja melanjutkannya. Wanita bertubuh tinggi dan sangat sabar, wanita periang yang tangguh, wanita yang marahnya bohongan, dan masih banyak lagi. Lagi. Lagi. Banyak sekali. Sekali. Sekali.
Kau bertanya, 'mengapa?'?
Hah. Berani-beraninya kau bertanya demikian. Lelaki bodoh, tolol, menyebalkan.
Tentu karena kau yang pertama kali meneriakkan pada dunia bagaimana perasaanmu terhadapku di hari pertama kita bertemu dengan pohon ceri rindang itu yang menjadi saksi bisu. Tak lupa beberapa ayunan di bagian selatan lapangan, bak air dan bak pasir di bagian utara, titah tangga di bagian timurnya, dan pohon beringin besar di bagian baratnya.
Walaupun aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan saat itu, walaupun aku pikir itu hanyalah sebuah lelucon anak kecil, walaupun aku pikir kau orang aneh yang tiba-tiba muncul, aku mengingatnya. Sejelas tinta hitam di atas kertas putih. Sejelas itu. Sejernih kristal. Sejernih itu ingatanku akan saat itu.
Dan kupikir, akan ada waktunya saat aku akan meneriakkan perasaanku pada dunia juga. Perasaan terhadapmu yang mungkin saja sudah kau ketahui sejak lama namun aku menolak untuk mengakuinya. Menolak untuk melihatnya sebagai sebuah perasaan yang lebih dari teman.
Dan bodohnya aku, sekarang, aku menyesalinya. Maaf. Aku memang bodoh dan tolol. Sangat goblok soal hal ini. Dan yang lebih tolol dari ini adalah, aku masih mengharapkanmu.
Aku minta maaf.
Saat aku menyatakan perasaanmu dengan sangat terpaksa, untuk menahanmu agar kau tidak pergi, agar kau menetap, kau menertawakanku. Menertawakan perasaanku. Menertawakan betapa bodohnya aku. Aku pasti terlihat tolol sekali. Sangat idiot. Sangat menyedihkan. Tapi aku masih mengharapkanmu.
Toh, sekarng aku mulai terbiasa dengan cercaanmu, ceramah sok sucinya dirimu, dan kelakuanmu terhadap wanita lain. Bagaimana kau akan memperlakukan mereka sepertiku dulu. Kau dekati mereka, kau ambil hatinya, lalu kau pergi. Kau itu kenapa, sih? Miskin cinta? Kasih sayang? Butuh perhatian?
Lucu. Kau saja menolak semua itu dariku, dan sekarang kau memintanya dari wanita lain. Cukup lucu, aku menghargainya.
Aku juga mengingat bagaimana kau, dengan sok sucinya, membuang pandangan dari seorang wanita. Namun, pada akhirnya kau mencoba mendekatinya, menawarinya jok belakang motormu, menyapanya selamat pagi, dan menutup harinya dengan mimpi indah. Akhirnya dia jatuh hati padamu, kan?
Maaf, maaf. Aku terlihat marah, ya?
Maaf, tak sepantasnya aku marah. Iya, kan?
Memangnya aku siapanya dirimu. Ya, ya, tak usah dibicarakan. Sudah cukup ketololanku hari ini. Dengan seenaknya marah padamu. Menujukkan amarah yang seharusnya kusimpan rapi di dalam ruangan bertuliskan 'Kumpulan Kegoblokan'. Lalu, harusnya kukunci rapat, dan tak kutunjukkan padamu. Karena sudah cukup kecupuanku terlihat olehmu. Kalau lagi-lagi ada yang terlihat, pasti kau akan lebih membenciku, lebih dari ini. Aku tahu, makanya, maaf. Jangan marah.
Akan kututup sampai sini saja.
Bukan, bukan perasaanku. Aku harus bersiap untuk itu. Namun, akan kututup segala kebodohanku hari ini.
Selamat tinggal, semoga harimu indah.