Satu

12 1 0
                                    

Empat tahun yang lalu…

Suasana khas dari bandara di sore hari yang cukup riuh dengan berbagai macam orang yang sibuk mengiringi langkah kaki seorang pria dengan kaca mata hitam bertengger di hidungnya, dan mantel hitam membalut badan proporsional yang memakai kemeja putih, dengan celana hitam, slip-on blue jeans, pria itu membawa suitcase berwarna biru langit dengan hiasan seperti ikat pinggang berwarna krem, sepasang di kedua sisinya, dan juga sebuah ransel hitam dari kulit sintetis berbentuk persegi panjang yang memeluk punggung pria itu.  Ia berjalan keluar setelah penerbangannya dari Glasgow, U.K.
Kakinya tegas melangkah menuju drop-off areas untuk menaiki taxi. Kepalanya menoleh kearah beberapa taxi dengan supir yang sudah melambaikan tangan, mengisyaratkan pria itu menaiki taxi mereka. Pria itu menghampiri salah-satu taxi terdekat berwarna silver.
Good evening. Where are you going sir?” Ucap seorang supir seraya menghampiri pria itu.
This hotel please. Here..” ia memberikan selembar sticky-note berwarna hijau dari saku celananya pada supir tersebut.
Here? Maroon Hotel? Oh okay! Go come, come” supir itu membukakan pintu belakang dan mempersilahkan pria itu untuk masuk kedalam mobil, “I’ll take this, okay? Put back, baggage.” Lanjut sang supir, sembari mengambil suitcase dari si pria dan memasukkannya kedalam bagasi.

Taxi pun melaju dengan lihai, pria itu menurunkan jendela dan menghirup dalam aroma yang baru baginya.
“First time?”
“Pardon?”
“Come to South Korea. First Time?”
Oh yeah, um, it’s first time.
“Where are you from?”
“Glasgow, U.K.”
“Wow I think you have great holliday yes? That’s why you landing on Gimhae Airport than on Incheon.”
Ya sepertinya semua supir dibelahan dunia manapun akan mencoba ramah pada penumpang, setidaknya aku dapat mengerti apa yang dia ingin katakan, Kaya berbicara pada dirinya sendiri didalam hati, tentu ia tidak ingin terlihat tidak sopan. Tapi di luar itu, Kaya hanya mengangguk dengan tersenyum ramah, ia lalu mengeluarkan iPhone dengan phonecase berwarna navy blue dari saku mantel hitam yang ia kenakan, ia mencari lagu yang ingin dengarkan, lalu ia memasang earphone berwarna biru langit, senada dengan suitcase yang ia bawa.

Ya Tuhan jika suara hati supir itu tidak dalam silent mode, Kaya akan mendengar supir itu tertawa geli melihat warna biru di sekujur tubuhnya, maksudku, pria mana yang menunjukkan dirinya didepan publik dengan warna biru hampir di setiap barang miliknya. Kalau bukan kekanakkan.... ya.. gay. Pikir supir itu saat melihat pria itu dari spion kemudi.

Setelah perjalanan melelahkan yang ia lalui, akhirnya ia tiba di hotel yang ia tuju. Kaki jenjangnya berjalan pasti menuju sebuah meja marmer besar, “Aku mau mengambil kunci kamarku, aku sudah booking online. Atas namaku sendiri, Kaya Yale.” Setelah selesai pengurusan, Kaya segera berlalu menuju lift untuk segera merebahkan tubuhnya menghilangkan jet-lag.
“2119…2120…212- Ah! Ini dia 2122.” Kaya tersenyum tipis pada dririnya sendiri, ia membuka pintu hotel, ia segera masuk, menutup pintu, menaruh suitcase birunya dan ransel yang ia bawa di sembarang tempat, lalu ia segera meloncat kecil kearah tempat tidur.
“Ah kalau bukan karena penundaan jam terbang aku sudah sampai disini siang, dan aku bisa lebih banyak istirahat.” Kaya meregangkan tubuhnya, beberapa suara gretakan terdengar dari tulangnya yang lelah. “I have a lot schedule tomorrow.” Kaya menghela napas seiring matanya tertutup perlahan.

Esoknya, matahari membelai wajah Kaya, membangunkannya lembut. Matanya perlahan terbuka, dahinya sedikit berkerut menahan sinar sang mentari yang membelai wajah dan kulitnya yang bisa dikatakan terlalu mulus untuk seorang pria, tetapi warna kulitnya yang samak menambah kharisma pada dirinya. Terlebih tubuh proposionalnya yang menjulang setinggi seratus delapan puluh dua sentimeter. Rutinitas pagi sudah ia selesaikan. Kaya akan mengunjungi beberapa tempat di Korea Selatan selama menunggu adiknya yang sedang berada di Jepang datang ke Korea. Karena hotel yang Kaya tempati berada dekat dengan salah satu desa terkenal, Kaya memutuskan untuk mengunjunginya. Tidak sia-sia, sebuah pemandangan indah berwarna warni dari desa Gamcheon, Busan, membuat Kaya tidak dapat berhenti tersenyum melihat lingkungan sekitar, Kaya mengabadikan beberapa spot yang ia sukai, sesekali ia menjulurkan kamera dengan tangan kanannya untuk mengambil fotonya sendiri dengan latar belakang yang indah.
“Anjing yang manis.. Siapa namamu? Hm?” Seorang perempuan yang berjongkok manis mengelus seekor anjing Golden Retriever. “Tali? Kemana orang yang bersamamu?” Ucapnya karena menyadari dog harness di lehernya.
Kaya terdiam mendengar seorang perempuan yang sedang berbicara dengan bahasa Korea pada seekor anjing Golden Retriever di salah satu gang, tepat tiga meter di depannya. Kaya hendak memotret perempuan itu dengan kamera yang ia bawa, tapi kemudian ia hanya terdiam dibalik lensa kameranya. Hal yang terlintas dikepalanya saat mendengar kata indah adalah BLUE, dan sekarang ia melihat warna itu pada mata sang perempuan. Seketika dahi Kaya berkerut penasaran memperhatikan perempuan manis yang memakai basic blouse putih, senada dengan flat-shoes yang ia kenakan, juga rok berwarna pastel pink yang sangat cocok dengan kulitnya yang putih. Wajah Asia-nya begitu cantik mempesona, dengan rambut brunette yang sedikit bergelombang sangat indah terkena cahaya mentari pagi.
Tak lama seorang pria berlari menghampiri perempuan itu. “Jabby! Oh, annyeonghaseyo." Pria itu membungkuk memberi salam, "Maaf ini anjing saya. Tadi saya kehilangannya saat mengajaknya berjalan-jalan.”
“Oh annyeonghaseyo, saya hanya menemaninya.” Perempuan itu berdiri untuk memberi salam seraya tersenyum kearah suara dari pria pemilik anjing itu. “Jadi namamu Jabby? Jangan pergi seperti itu lagi ya, jadi anak baik.”  Perempuan itu mengelus Jabby. Perempuan dan pemilik anjing itu membungkuk saling memberi salam diiringi kepergian pemilik anjing. Raut wajah penasaran Kaya seketika berubah, ia merasa cukup kaget, wajahnya membeku ketika perempuan cantik itu mengeluarkan tongkat lipat dari tas kecil yang ia bawa.
Perempuan itu berjalan dengan dua kaki dan tangan kanan memegang tongkat jalan sebagai pengganti pengelihatannya. Langkah demi-langkah di tempuh perempuan itu dengan sangat hati-hati, entah kenapa Kaya pun mengikuti perlahan dengan menjaga jarak dengan perempuan itu, hanya penasaran, mungkin.
Mungkin, Tuhan dengan sengaja menaruh batu kerikil yang tidak tersentuh tongkat perempuan itu, membuat ia kehilangan keseimbangan. Kaya dengan sigap datang menahan lengan perempuan itu sehingga ia tidak terjatuh.
Perempuan itu tersentak kaget, “Nugu..?” ia bertanya pelan, “Tae Bin?” salah satu tanganya memeggang wajah Kaya, seketika Kaya merasa nafasnya berhenti, perempuan itu merabanya wajahnya perlahan, mengikuti kontur dan bentuk wajah Kaya, alis, kelopak mata, pipi, hidung, bibir. Ketika perempuan itu menyadari Kaya bukanlah Tae Bin, seseorang yang ia kenal, ia menarik tangannya dari wajah Kaya, lalu membungkuk meminta maaf dan perempuan itu tersenyum manis, sangat manis. “Kamsahamnida..” ucap perempuan itu seraya membungkukkan badannya sekali lagi dan berlalu meninggalkan Kaya yang terdiam.
Tangan Kaya kini berada di pipinya, masih terdiam dengan senyum simpul diwajahnya, merasakan sentuhan perempuan yang kini hanya terlihat punggungnya berjalan menjauh.
Bread and flowers..? Her scent..”.

Tangled Up In BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang