PROLOG

19 1 0
                                    


Jakarta malam ini. Diantara butiran butiran air yang jatuh dari langit. Mencuri keramaian dari pinggiran jalan yang beberapa waktu lalu dipadati oleh orang orang yang berpulangan kerja.

Cahaya lampu yang merembas diantara genangan air dijalan memantulkan efek kaca yang membuat pemandangan di sepanjang jalan ibu kota ini semakin terang dalam keredupan seremoni hujan.

Aku menyeruput kopi ku yang sudah nyaris dingin. Menunggu hujan - menunggu secercah harapan untuk mengubah nasibku.

Pandanganku beredar diantara celah celah dinding kota. Menjalar hingga lorong lorong gedung dengan pikiran yang sebetulnya prihatin atas diriku sendiri.

Aku meratap.

Entah sejak kapan aku melamun. Mengancam diri sendiri dengan kurangnya kepercayaan diriku sendiri. Aku menyelami alam sadar pikiranku. Berupaya mengatasinya. Berupaya menghiburku setidaknya aku bisa mencari jalan keluarnya.

Aku menyulut rokok. Menghempaskan asapnya bersamaan dengan kegelisahanku malam ini sampai hilang menyatu di udara.

Ada satu wajah yang tergambar didalam kepalaku. Ayah. Seolah sosok itu berdiri dalam penantian pencapaianku. Matanya tajam menyorotiku masuk kedalam relung jiwaku yang semakin pilu.

Wajahnya sangar. Bercampur antara kekecewaan dan amarah yang begitu besar. Kini berdiri menantang dalam pikiranku. Menunggu pembuktianku untuk mencapai apa yang telah kuputuskan.

Aku menarik nafas dalam dalam. Menghembuskannya selaras dengan bisikkan angin utara yang membuat tubuhku lembab dalam dingin. Bersugesti dalam hati bahwa aku bisa. Bahwa aku mampu melewati semuanya demi mimpi kecil yang harus kuperjuangkan.

Mengorbankan beasiswaku. Mematahkan pendidikan yang sebetulnya sudah ku jalani hampir dua semester.

Justru hati dan pikiranku meraung karna betapa kuatnya tekadku pada dunia memasak. Hal yang seperti ayahku lakoni.

Dan itulah yang menjadi satu satunya alasan yang mendasar ayahku sangat kecewa dengan keputusanku.

Ada Cinta Dari DapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang