Satu

18 2 0
                                        

Aku Raka. Pria yang di lahirkan dari keluarga jawa tulen sebetulnya. Hanya saja ayahku bekerja lintas negara di Offshore lepas pantai sebagai Chef. Seseorang yang menjadi inspirasi untuk mengejar targetku menjadi seperti ayahku sekarang.

Tidak ada keahlian mendasar dariku untuk mengejar mimpi menjadi seorang chef handal. Modal ku hanya tekad dan nekad yang kuat. Karna itulah aku yang paling mengerti potensiku sendiri sejauh ini.

Sudah lebih 3 jam seingatku hujan mengguyur dataran ibu kota. Merenggut pemandangan indah yang seharusnya bisa kunikmati di balik kepekatan Comulonimbus di cakrawala yang sepenuhnya kelam.

Tapi tensi volume air yang turun sudah tak seperti beberapa saat tadi. Kecuali angin yang masih berhembus dari utara - menggeser laju awan dan menggetarkan tubuh lembab ku sampai ke tulang belulang.

Lalu lintas menjadi padat. Memperlambat lajunya sebab genangan air yang naik dari hujan hebat yang tercurah dari bibir langit.

Dan aku tak peduli lagi. Rokok ku sudah habis. Cangkir kopi ku hanya menyisakan ampas yang berantakkan sampai ke dinding dinding cangkir. Tak ada yang bisa ku nikmati selain harus beranjak dan pergi dari sini menerobos rintiknya hujan.

" Ojek, mas ? " tawar pria berjas hujan dengan nada yang sedikit lebih ngotot agar aku menggunakan jasanya.

Aku berusaha mengambil keputusan. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling. Nyaris tak ada pergerakkan untuk ukuran kendaraan besar.

" Berapa ke Menteng ? " tanyaku dengan tatapan Yang masih nakal beredar edar mencari alternatif lain.

" 50 ribu mas " jawabnya di barengi dengan gemuruh petir di langit yang seolah belum puas hendak mengguyur tanah ibu kota. "....Sudah saya kasih murah ini, apalagi banjir mas "

Terlalu mahal. Pria paruh baya ini seolah hendak merampok isi dompetku. Tapi bagaimanapun sebetulnya aku tak punya pilihan lain. Terlebih besok aku harus bangun pagi untuk memulai bekerja di salah satu Restaurant setelah siang tadi aku positif di terima untuk gabung.

" Mahal bang " keluh ku. Menawar, berusaha memiringkan tawaran harga yang bapak itu ajukan kepadaku. " Kalau segitu saya cari ojek lain yang jauh lebih murah "

Sebetulnya jarak dari Sarinah ke Menteng tidak sejauh dari harga yang di patok bapak ini. Hanya saja dia berusaha mengambil celah bisnisnya dengan memasang harga yang melangit.

" Cuma ke Menteng 20 ribu cukup bang " tambah ku.

Bapak itu nampak kecewa. Wajahnya keruh diantara butiran air yang menjalar di kerutan wajahnya yang semakin senja.

Andai saja aku punya lebih banyak uang, mungkin saja aku tak akan berkelut dengan pertandingan kesepakatan harga semacam ini.

" Aduh mas ini kan hujan, macet masa iya masih mau ditawar "

Bapak itu teguh hati melawan. Tapi bagaimanapun aku berdiri dengan jawabanku tadi. Apalagi uang yang tersisa di dompetku memang tidak banyak.

" Yasudah gak jadi " kataku diikuti senyum tipis dan mengangkat langkahku untuk menjauh.

Lama lama badanku akan semakin basah oleh rintikkan gerimis. Aku hanya berpikir bila ini hanya akan membuang waktu dengan percuma. Angka segitu bukan manusiawi untuk ukuran pria dengan karir yang masih nol seperti ku.

" Oy mas tunggu tunggu " panggilnya setengah berteriak.

Akhirnya dia memanggil. Rencanaku mungkin akan berhasil disini.

" Yasudah mas...20ribu ke Menteng kan ? " ucapnya menegaskan kembali tujuanku.

Meski berhasil, wajahnya mengumpat kesal yang mendalam. Membuatku malah jadi ketakutan. Kumisnya yang tebal seolah mengancamku.

" Ya. Nanti saya beritahu berhenti dimana "

Malam masih di rengkuh oleh rintikkan gerimis. Sesekali langit bergemuruh di iringi kilatan cahaya yang membuat jantungku merinding seraya berkumat takbir di dada.

Aku meluncur dengan ojek si bapak paruh baya ini bersama motornya yang juga tua dan lusuh seperti tak terurus perawatannya. Menyelinap diantara padatnya jalan. Lihai betul caranya mengemudikan motor di seusianya yang sudah senja.

" Habis pulang kerja mas? " sapanya, berusaha memecahkan keheningan.

Ternyata bapak ini cukup ramah. Aku terjebak oleh penampilannya yang sangar. Apalagi kumis tebalnya itu.

" Sebenarnya pulang dari Interview kerja bang. Tapi kejebak hujan "

Aku menghela nafasku dalam dalam. Ini mengenai besok. Aku jadi mengingatnya sekarang. Petualangan baruku akan dimulai, meski aku mengakui kemampuanku belum terbilang mumpuni.

Sebenarnya aku sudah bekerja di tiga tempat Restaurant sebagai Cook Helper di Surabaya. Aku mengawalinya dari sebuah Restaurant Jepang tiga bulan. Lalu bergabung di Cafe yang lebih menonjolkan masakan Western. Hanya dua bulan di Cafe, aku beranjak ke Restaurant cepat saji. Itu pun juga dalam waktu yang sama dengan dua Restaurant sebelumnya.

Tekanan yang besar membuat moral ku jatuh saat itu dan mundur. Tak ada kata mundur untukku. Aku harus menunaikan apa yang sudah ku mulai di depan ayahku. Berharap aku bisa belajar di Restaurant baruku di Jakarta.

" Sudah ada hasilnya mas? " tanya bapak itu yang langsung menyadarkanku bila aku dan bapak itu sedang berbicara mengenai pekerjaanku.

" Sudah ! " jawabku penuh percaya diri dengan senyum yang mengembang. " Besok harus mulai masuk bang "

Motor tua ringkih itu menderu memasuki jalan yang cukup lengang. Hanya suara kasar dari knalpotnya yang menggema memantulkannya ke dinding dinding sepanjang jalan.

Beruntung lampu lampu pinggir jalan yang bersinar temaram membantu pencahayaan jalan yang nantinya akan menembus ke wilayah Menteng. Sorot lampu yang agak redup milik bapak tua itu seolah memberi kesan bila motornya sudah mendekati batas pemakaian wajar. Tapi di paksakan.

Angin mengusap wajahku. Aku menghirupnya. Tubuhku masih bergetar hebat karna dingin. Tapi aku membunuhnya dengan apa yang akan ku hadapi esok.

Aku merasa seperti cahaya yang malam ini menerangi langit langit Jakarta dari kolong ibu kota. Menggantungkan impianku setinggi gemerlap Bintang gemintang yang sayangnya harus di selimuti awan gelap di cakrawala. Sebuah ambisi yang sampai saat ini tinggal dalam sanubariku.

Aku tak pernah melihat seperti apa diriku saat ini sebab aku sudah mengenalnya sangat baik. Itu sebabnya aku berusaha mengenali ada apa pada diriku beberapa waktu ke depan.

Sebuah mimpi yang masih tinggal di pelupuk hatiku. Menemani tidur dan menjadi bunga dalam peristirahatan. Aku tahu, tuhan selalu membuka jalan disetiap usaha.

Malam ini, diantara gemuruh langit yang berkecamuk. Aku berangkat dengan keyakinan yang luar biasa. Saat dimana ayahku bisa tahu bila anaknya mampu untuk menjawab tantangan yang di hadapi.

Motor ringkih itu melaju pelan. Menembus dinding dinding rerintikkan. Di sepanjang jalan temaram mengantarkanku pulang. Dan menyambut hari esok dengan optimis.

                            #  #  #


Ada Cinta Dari DapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang