1. Tamu tak Diundang

188 12 10
                                    

Happy reading🐾

"Cen.. Menurut lo gue lebih ganteng pake kacamata atau nggak?" Lelaki tinggi berwajah kearab-araban itu berdiri didepan cermin besar sembari berkali-kali mencoba berbagai macam bentuk kacamata. Mulai dari yang berframe bulat, kotak, hingga yang wujudnya sedikit tidak jelas.

Sedari pagi lelaki itu sudah merengek minta ditemani periksa mata. Katanya dari satu minggu yang lalu penglihatannya sedikit berubah. Dan alhasil disinilah mereka sekarang, sebuah klinik mata yang juga menjual berbagai kacamata dengan harga yang tak bisa dibilang murah.

"Sama aja. Sama-sama jelek!" Gadis yang dipanggil Cen tadi menjawab cuek. Dia hanya melihat sekilas lelaki itu, lantas kembali berkutat pada ponsel ditangannya.

"Ck! Yang bener, Cen... Cocok nggak nih pake kacamata?"

"Ya terus kalau nggak cocok lo nggak mau pake gitu?" Lagi-lagi gadis itu dibuat jengah dengan tingkah sang lelaki. "Ribet banget sih,lo! Pake rok aja deh lo lama-lama, udah kayak cewe rempongnya."

Seakan tuli, lelaki itu masih berkutat dengan frame-frame di depannya. Ini sudah frame kesepuluh, tetapi belum ada frame yang dia rasa cocok diwajahnya. "Mbak saya cocoknya pake frame yang apa, ya?" Tanyanya kemudian pada penjaga disana. Karena bertanya pada sahabat perempuannya itu justru akan mendapat makian, lagi.

Seorang pegawai perempuan terlihat sedang memilih salah satu kacamata yang masih berada di etalase tembus pandang. Wanita setengah baya itu mengambil sebuah kacamata berframe kotak berwarna hitam keemasan. "Coba dulu yang ini kak."

Belom sempat mencoba kacamata tersebut, tiba-tiba seorang gadis menyerobot begitu saja. "Lo lebih cocok pake yang ini." Katanya menyerahkan kacamata hitam yang pertama kali lelaki itu coba. "Udah mbak yang ini, bayarnya debit ya."

Avon, nama lelaki tadi, hanya bisa diam menurut. Dia lantas memberikan sebuah kartu pada pegawai tadi. "Sekalian sama yang buat bersihin kacanya ya mbak."

"Cen lo kayak nggak sabaran gitu mau kemana,sih?"

Jika diperhatikan, gadis itu memang dari tadi menunggu tidak sabaran, seperti menahan sesuatu. Berdiri lantas duduk, berdiri lagi duduk lagi, dan begitu seterusnya. Ya walaupun tingkah gadis itu memang sesekali aneh, tapi ini tidak seperti biasanya.

Gadis itu merapat pada Avon, lantas berbisik. "Gue... kayaknya lagi dapet deh. Perut gue sakit banget dari tadi."

Avon menegak. Dia lantas memutar tubuh sahabatnya, meneliti bagian belakang celana yang sedang gadis itu kenakan. "Enggak, nggak bocor kok. Mules aja kali."

"Beda Pon, ini tuh nyeri kayak biasa gue mau haid. Dann..."

"Dan apa?"

"Gue.. itu anu, nggak bawa... pembalut."

Lelaki itu menatap gemas sahabatnya. Cewe didepannya ini selalu menampilkan muka garang, ternyata bisa malu-malu juga. Dia lantas mengacak pelan rambut gadis yang tingginya tidak lebih dari bahunya. Bahkan mungkin hanya sebatas dadanya. "Ntar gue yang beli, lo tunggu aja dikamar mandi. Lo biasa pake yang kayak gimana?"

Sang gadis masih tampak malu-malu. Bukan tanpa alasan dia berlagak seperti itu. Ini adalah kali pertama ia meminta tolong pada teman lelakinya perihal 'masalah perempuan'. Bahkan dengan Moriz yang sahabatnya sejak sekolah dasar saja dia tidak pernah meminta tolong masalah tersebut. Karena dia selalu sedia barang itu kemanapun dia pergi, berjaga kalau-kalau tamu itu datang tiba-tiba. Seperti saat ini contohnya.

"Yang biasa gue beli nggak ada disini sebenernya. Apa ajadeh, yang penting cari yang panjang 32 cm, lo tanya aja sama mbaknya kalau bingung."

"Yaudah yuk." Katanya kemudian merangkul gadis itu setelah transaksinya selesai. Ia medikit menyembunyikan badan gadis itu, takut-takut kalau ternyata ada noda yang mendadak keluar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PHANTASMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang