Pudarnya Warna Senja

613 44 27
                                    


Pada senja yang mengajarkanku arti keikhlasan

***


Bersepeda menyusuri pantai dipayungi langit kuning keemasan yang perlahan menjelma menjadi merah jingga tak pernah lepas dari ingatan Aisyah. Biasanya, sebelum malam menelan sore, Ina kecil akan datang ke tempat kerja untuk menjemputnya dengan mengendarai sepeda tua. Berdua mereka menikmati keindahan lembayung senja sebagai awal pertemuan gelap dan terang yang menorehkan mahakarya agung di langit. Tak lama berselang, lembayung senja berakhir. Sekaligus menandai terbenamnya matahari di ufuk barat. Maka, tibalah giliran malam menampakkan wajahnya diiringi suara adzan yang menggema ke seluruh relung jiwa.

Aisyah maupun Ina tak pernah bosan mengagumi keindahan senja. Lewat gurunya di surau, Aisyah paham betul betapa dahsyatnya waktu senja hingga Tuhan bersumpah demi cahaya merah di waktu tersebut. Barangkali di dalamnya tersimpan berjuta tabir yang perlu disingkap oleh manusia.

Demi menyongsong langit yang mulai berhiaskan gemerlap bintang, Aisyah menuntun putrinya untuk berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Betapa momen-momen itu selalu terkenang di hati Aisyah, terlebih setelah Ina tumbuh dewasa dan mengepakkan sayapnya meninggalkan gubuk kecil mereka.

"Ya Tuhan, aku ingin sekali berkeliling dunia." Selalu doa itu yang dulu dipanjatkan Ina selepas sembahyang hingga membuat hati Aisyah menciut.

Berkelana ke berbagai penjuru dunia tentu membutuhkan uang yang tak sedikit. Sedangkan untuk memperbaiki gubuk yang semakin reyot saja Aisyah tak pernah mampu. "Hanya orang berduit banyak yang dapat melakukannya, Nak," ujarnya pilu.

Ina menggeleng, "Tuhan lebih kaya dari orang berduit, Bu. Tuhan yang akan mewujudkan impianku."

Aisyah terdiam mendengar jawaban anaknya yang bijak itu. Meski diliputi rasa takut andai Ina akan terjatuh dari mimpi tinggi yang dirajutnya sendiri, Aisyah tetap mengamini setiap doa putrinya.

Pada akhirnya ketakutannya tak terbukti. Berkat kerja keras serta kemurahan Tuhan melalui tangan-tangan para dermawan, Ina berhasil menamatkan pendidikannya dan bekerja di sebuah kantor berita. Lantas surat penugasan itu mampir juga ke gubuk mereka. Untuk memenuhi amanah tersebut, Ina pun berangkat ke negeri orang berbekal restu dan doa Aisyah.

Awalnya, Aisyah sedikit ragu melepas kepergian putrinya. Sebenarnya, bukan pekerjaan ini yang diharapkannya akan dilakoni oleh Ina. Bukan profesi ini pula yang ia panjatkan dalam untaian doanya selama ini. Namun, Ina berhasil meyakinkan ibunya bahwa pekerjaan tersebut merupakan jawaban Tuhan atas doanya di masa kanak-kanak. Aisyah pun pasrah. Dilepasnya sang anak untuk mengejar mimpinya menjelajah dunia dengan jalan menjadi wartawati di zona perang.

"Semoga kamu pulang dengan selamat," doa Aisyah sambil memeluk erat anaknya.

Beruntung, Tuhan selalu mengabulkan doa Aisyah. Kini Ina telah meliput berbagai perang yang terjadi di beberapa negara dan selalu pulang dalam keadaan selamat. Bahkan, Ina juga berhasil mengubah gubuk mereka menjadi sebuah hunian yang lebih layak. Di sela-sela penugasannya, tak lupa ia sempatkan diri berkirim kabar melalui Ramli−adik laki-lakinya yang masih SMA−yang nantinya akan disampaikan kepada Aisyah pula.

Lewat email terbarunya, Ina memohon doa sang ibu karena hendak bertolak ke Suriah. Aisyah terhenyak. Dari berita di tv, ia mengetahui jelas betapa kedamaian sangat dirindukan di negeri yang tengah bertikai itu. Namun, lagi-lagi Aisyah tak bisa menghalangi keinginan putrinya yang menggebu-gebu. Terlebih Ina telah mengatakan bahwa pekerjaannya ini ia niatkan sebagai ibadah di jalan-Nya. Jika nantinya ia harus gugur, maka kematiannya tak akan sia-sia. Aisyah pun hanya bisa mendoakannya dari rumah kecil di tepi pantai.

Sambil menikmati keindahan senja, Aisyah mendengarkan Ramli yang dengan setia membacakan email yang Ina kirim dari Suriah. Begitulah rutinitas keduanya hampir di setiap sore. Melihat senja di hadapannya, Aisyah selalu teringat anak gadisnya itu. Masih jelas dalam ingatannya ketika almarhum suaminya menamai anak perempuan mereka 'Ina' yang dalam Bahasa Jawa berarti 'senja'. "Kelak ia akan seelok warna senja," kata suaminya dulu.

Ibu, dahulu aku selalu membenci hujan yang memudarkan warna senja. Namun, ternyata hujan di sini lebih kejam. Ia tak hanya mencuri senja, tapi juga mengubur jiwa-jiwa tak berdosa. Hujan di sini tidak menurunkan air rahmat Tuhan, melainkan dentuman keras yang merobohkan rumah, rumah sakit, serta sekolah. Jika tidak hujan, langit senjanya pun senantiasa tertutup oleh asap kelabu. Seandainya saja senja yang indah dapat dilihat dari belahan bumi manapun. Ah, aku ingin segera pulang dan menatap senja seperti dulu, Bu.

Penggalan surat Ina tersebut selalu terngiang di kepala Aisyah hingga air matanya berjatuhan. Ia begitu merindukan putrinya. Melalui surat-surat elektronik itulah rindunya sedikit terobati. Namun, belakangan isi surat Ina tak pernah sepanjang sebelumnya. Tak ada lagi cerita-cerita yang mengalir seperti dulu. Intensitasnya pun semakin berkurang. Aisyah mulai khawatir, tetapi segera ditepisnya rasa itu. Barangkali anak gadisnya sedang sibuk, pikirnya menghibur diri.

Ibu, aku baik-baik saja. Bagaimana kabar Ibu dan Ramli?

Sesingkat itu, tetapi sudah lebih dari cukup untuk membahagiakan hati Aisyah. Wanita tua itu menatap rintikan hujan yang menghapus warna senja sembari tersenyum di atas kursi goyangnya. Entah mengapa email terbaru dari sang putri itu membuatnya begitu gembira. Kegembiraan yang meluap-luap hingga membuatnya ingin tertidur sebentar. Tepat ketika adzan maghrib berkumandang, kelopak matanya tertutup.

Aisyah tak membuka matanya lagi, walaupun Ramli sudah membangunkannya berkali-kali. Air mata Ramli menetes begitu menyadari sang ibu telah tiada. Dalam kesedihannya, Ramli teringat email terakhir dari Suriah yang tak mampu ia kabarkan pada ibunya. Sebagai gantinya, email palsu buatannyalah yang belakangan ini ia bacakan. Ada rasa sesal karena telah membohongi ibunya, tetapi juga terselip rasa bahagia karena sang ibu meninggal dengan senyum tersungging di wajahnya.

Sebelumnya, perkenalkan, namaku Sofi, rekan kerja Ina selama di Suriah. Ada berita buruk yang perlu kusampaikan. Kemarin Suriah kembali diguuyur hujan bom yang menewaskan beberapa warga, salah satunya Ina. Jasadnya telah dikubur bersama korban lainnya. Aku turut berduka cita atas apa yang menimpa Ina. Semoga kalian sekeluarga diberi ketabahan menerima kabar ini.   



Note: Telah diterbitkan dalam antologi cerpen "Kerinduan"

Terbanglah Kata-Kata [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang