Harta, Cinta, Cita-cita

247 28 11
                                    


Antara harta, cinta, dan cita-cita, mana yang akan kau pilih?

***

Di sebuah kampung tak jauh dari pusat kota, terdapat sebuah rumah besar yang tampak mencolok dibandingkan rumah-rumah kecil lain di sekitarnya. Di depan rumah tersebut, berdiri kokoh sebuah gerbang tinggi yang dibaliknya terdapat taman bermain bagi anak-anak. Si empunya rumah tentulah orang yang sangat kaya dan dermawan. Bagaimana tidak, rumah itu tidak ia gunakan sendiri melainkan difungsikan sebagai sebuah panti asuhan baik untuk anak-anak yatim maupun anak-anak yang tidak mampu. Seluruh penduduk kampung di sana mengetahui dengan jelas sejarah berdirinya panti asuhan tersebut. Sejarah yang mengajarkan mereka tentang harta, cinta, dan cita-cita.

Bertahun-tahun yang lalu, seorang PNS bernama Tohir hidup bahagia bersama Suci, istrinya yang cantik, serta putri kecil semata wayang mereka, Lula. Dari luar Tohir tampak seperti pria biasa. Namun, tak banyak yang tahu jika Tohir memiliki sebuah kemampuan unik. Sejak kecil, ia bisa melihat makhluk tak kasat mata. Beberapa kali saat takziah di rumah kerabat ia menyadari berbagai kejanggalan dalam kematian si mayat. Pernah suatu ketika tetangganya meninggal karena diduga terpeleset di tepi sungai. Sebenarnya tak ada yang tahu pasti penyebab kematiannya, tetapi karena ia ditemukan di sungai yang jalannya cukup licin, maka orang-orang langsung menganggapnya terpeleset. Namun, Tohir tahu pasti bahwa kematian tetangganya bukan karena terpeleset biasa. Melainkan ada unsur perdukunan di dalamnya. Ada makhluk halus yang ditugaskan mendorong dan menindih tetangganya itu hingga mati. Belakangan ia tahu bahwa orang di balik kematian tetangganya adalah saudara si mayat yang menginginkan warisan lebih. Tohir bergidik menyadari bahwa harta dapat membutakan manusia dan memutus tali persaudaraan.

Tak hanya itu saja kejadian supranatural yang dialaminya. Sebagai pegawai, Tohir pernah mendapati beberapa rekan kerjanya melakukan tindak korupsi. Awalnya Tohir telah mengingatkannya, tetapi rekannya yang serakah itu tak mau mendengar. Tak lama kemudian, koruptor itu meninggal karena serangan jantung. Malam hari setelah pemakamannya, Tohir bermimpi bertemu dengannya. Dalam mimpinya, orang tersebut menangis karena siksa berat yang diterimanya. Siksa yang disebabkan oleh keserakahannya selama di dunia.

Kejadian-kejadian yang dialami Tohir membuatnya menjadi pribadi yang tidak mau mencintai harta secara berlebihan. Di setiap aktivitasnya, ia akan berusaha menghindari hal-hal yang membuatnya terjerumus pada keserakahan. Namun, hal itu tak mudah dilakukan, terlebih dengan pekerjaannya. Di kantor, bukan sekali dua kali dilihatnya rekan kerjanya melakukan korupsi. Bahkan, beberapa kali ia diancam jika membuka mulut. Hal itu membuatnya semakin frustasi hingga akhirnya diambilnya keputusan terbesar dalam hidupnya. Ia mengundurkan diri dari kantor.

Keputusannya membuat sang istri senang sekaligus sedih. Ia senang karena suaminya telah memilih jalan yang benar. Namun, ia turut sedih karena kini suaminya justru memilih untuk tidak bekerja dan hanya sibuk mempersiapkan kehidupan setelah mati kelak. Sebenarnya Suci tidak mempermasalahkan jika suaminya itu sekarang semakin religius, justru sebaliknya ia sangat bersyukur. Namun, sekali lagi yang ia pusingkan adalah ketika suaminya itu melupakan tugasnya mencari nafkah.

Sebenarnya Tohir masih bekerja, tetapi tidak setiap hari. Itupun hanya serabutan dengan gaji yang tak pasti. Perekonomian mereka pun kini semakin sulit. Dari yang dulunya mereka masih bisa menabung, sekarang untuk makan pun susah. Suci berkali-kali memrotes suaminya dengan perkataan halus.

"Carilah pekerjaan, Pak. Pekerjaan apapun asalkan halal dengan pendapatan yang pasti," ujarnya suatu sore di sebuah kamar yang selalu digunakan suaminya untuk beribadah.

Tohir menghentikan dzikirnya dan berkata, "Untuk apa Bu? Uang yang kuberikan masih cukup kan untuk makan? Aku tidak mau harta membutakanku dan menjadikanku pribadi yang penuh dosa."

Jika sudah begitu, Suci tak berani berkata lagi. Menurutnya sang suami sebenarnya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tak apa jika Tohir harus bekerja sebagai buruh pabrik atau bangunan. Yang terpenting mereka mendapatkan penghasilan yang jelas. Tidak seperti sekarang, Tohir hanya bekerja jika ada tetangga yang memintanya membenarkan atap rumah yang bocor.

Alhasil Sucilah yang kemudian ikut mengambil peran mencari nafkah. Setiap subuh ia pergi ke pasar untuk menjual kue-kue tradisional yang dibuatnya. Modalnya ia dapat dari menjual mas kawinnya dulu. Semua dilakukan Suci dengan penuh kesabaran. Ia tahu bahwa suaminya kelak akan berubah.

Suatu hari ujian datang menerpa keluarga kecil itu, si kecil jatuh sakit. Setelah dibawa ke dokter, ternyata ada tumor di kepalanya yang membuatnya harus segera melakukan operasi dan serangkaian tindakan medis lain. Tohir dan Suci kelabakan. Meski telah mendapatkan keringanan biaya, tetap saja biaya yang diperlukan masih banyak. Semua uang tabungan telah habis terkuras, tetapi Lula tak kunjung sembuh. Susah payah mereka mencari hutang ke sana sini. Uang yang sedikit membuat mereka tak bisa memberi pengobatan layak untuk Lula hingga akhirnya anak malang itu meninggal dunia.

Kematian sang anak membuat Suci bersedih. Bahkan kesedihannya telah menimbulkan kekesalan pada sang suami. Suci berpendapat jika mereka memiliki uang lebih, mungkin Lula masih bisa diselamatkan. Seandainya saja Tohir mau menuruti perkataannya untuk bekerja, tentulah keadaannya akan berbeda. Sebesar apapun usaha Suci untuk tegar, ia tetap sulit menerima kenyataan dan tak bisa memaafkan suaminya dengan mudah. Oleh karena itu, untuk sementara waktu ia memilih pulang ke rumah orangtuanya.

Sedangkan di sisi lain, Tohir tak ubahnya Suci. Ia sedih sekaligus menyesal atas ketidakmampuannya menjadi ayah dan suami yang baik bagi keluarganya. Ketakutannya pada harta justru membuatnya kehilangan anak sekaligus cinta istrinya. Berhari-hari ia merenung, hingga suatu hari ia mendapatkan secercah cahaya saat mendengarkan siraman rohani dari Haji Umar.

"Allah telah memerintahkan kita untuk bekerja keras mencari rizki di muka bumi. Jangan sampai ketakutan kita pada dosa membuat kita menjadi pribadi yang egois. Egois yang saya maksud adalah apabila seseorang mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dengan sholat wajib maupun sunnah, puasa, dan berdoa sampai melupakan kewajibannya mencari nafkah bagi keluarganya."

Kata-kata Haji Umar terus terngiang di kepala Tohir. Ia menangis menyadari kesalahannya yang telah menelantarkan keluarganya selama ini. Kini ia tidak memiliki apapun lagi. Hartanya habis bersamaan dengan pudarnya cinta sang istri padanya, masih diikuti pula dengan hilangnya cita-citanya melihat anaknya sukses kelak. Namun, ia segera bangkit. Kesalahan harus ditebus dengan keberhasilan, tekadnya.

Maka semenjak itu, Tohir menjadi pribadi yang pekerja keras. Pagi hari sebelum matahari terbit, ia berangkat bekerja dan baru pulang ketika matahari kembali ke peraduan. Tengah malam ia selalu terbangun menyempatkan diri untuk sholat malam dan berdzikir. Begitulah selalu aktivitasnya kini. Dalam sehari ia hanya tidur beberapa jam saja.

Setelah berhasil mengumpulkan tabungan dan mendapatkan keberanian, Tohir menjemput istrinya. Di sana ia menangis memohon ampun. Berkat ketulusan hatinya, Suci memaafkannya. Berdua mereka menjalankan sebuah bisnis retail buah dari tabungan yang dikumpulkan Tohir.

Tak disangka setelah beberapa tahun berlalu bisnis yang dijalankan keduanya menghasilkan keuntungan yang banyak. Namun, harta tak lagi menyilaukan Tohir maupun Suci. Mereka sadar bahwa mereka dihadapkan pada dua pilihan, menjadikan harta sebagai tiket ke surga atau menjadikannya bahan bakar api neraka. Mereka memilih yang pertama. Keduanya lantas membangun rumah besar untuk panti asuhan. Sedangkan mereka sendiri justru memilih tinggal di rumah sederhana. Kebahagiaan mereka bertambah dengan hadirnya anak kedua. Kini Tohir mendapatkan kembali harta, cinta, maupun cita-citanya.


Note: Cerpen ini telah diterbitkan dalam antologi cerpen "Harta Dalam Peti" dengan sedikit perubahan

Terbanglah Kata-Kata [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang