Dermagaku, simbol penantianku
***
Embusan angin laut menyentuh ujung-ujung rambutku dengan lembut. Seolah menyambut kedatanganku di kota ini. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di belakang, beberapa penumpang masih terlihat sibuk membawa barang-barang menuruni kapal pesiar yang baru saja berlabuh. Sementara di hadapanku, beberapa kafe dan restoran siap saji tampak ramai dikunjungi orang-orang yang melepas penat setelah beberapa jam dilanda mabuk laut.
Lima belas tahun yang lalu aku pernah datang ke sini bersama kedua orangtuaku. Namun, entah kenapa aku tidak bisa mengingat dengan jelas hal-hal yang terjadi selama liburan musim panas itu. Padahal, berlibur ke tempat ini tentulah menjadi momen yang tak akan terlupakan oleh siapa pun mengingat keindahan alam yang ditawarkan begitu mempesona. Rasanya cukup aneh jika aku tak bisa mengingatnya.
Aku menghirup nafas panjang, membiarkan angin segar memasuki rongga dadaku. Beberapa menit aku menimbang, lalu kuputuskan untuk mampir sebentar ke sebuah kafe sebelum menuju ke penginapan. Sengaja kupilih sebuah kursi yang berada tepat di pinggir kaca agar bisa memandang ke luar. Sambil menunggu pesananku tiba, aku mengarahkan pandanganku ke arah dermaga. Tiba-tiba mataku menangkap sesosok anak perempuan yang sedang duduk di bangku panjang. Kepalanya memandang ke depan. Ke arah kapal-kapal yang akan bersandar pada dermaga. Lalu ia mengalihkan kepalanya ke samping sehingga dapat kulihat separuh wajahnya. Ternyata dia sangat cantik, tetapi ada yang aneh dengannya. Entah mengapa aku merasa mengenalnya, meskipun tidak terlalu yakin.
"Ini kopimu, Tuan." Suara pelayan wanita itu berhasil membuatku melepaskan pandangan dari gadis kecil di sana. Sejenak aku melupakannya dan asyik dengan kopiku.
Suasana di kafe ini begitu ramai. Orang-orang tampak asyik mengobrol, hanya aku yang datang seorang diri tak punya teman. Diam-diam aku menyesali keputusanku berlibur ke sini sendirian. Beberapa hari ini aku memang sedang dirundung masalah dan tiba-tiba saja terlintas di pikiranku untuk datang ke sini tanpa memberi tahu siapa pun.
"Maaf, boleh aku duduk di sini?"
Aku sedikit terkejut begitu mendapati seorang perempuan cantik tengah berdiri di hadapanku. Sebelum kujawab pertanyaannya, ia kembali melanjutkan, "Semua kursi sudah penuh dan kulihat hanya ada satu kursi kosong yang tersisa."
Sebenarnya tanpa perlu menjelaskan pun, aku dengan senang hati akan berbagi kursi dengannya. Pria mana yang mau melewatkan kesempatan untuk berkenalan dengan perempuan secantik dia. "Iya, silakan saja."
Setelah mendengar jawabanku, perempuan itu langsung menarik kursi di hadapanku dan mendudukinya. Entah hanya perasaanku saja atau apa, tapi ia terlihat gelisah. Beberapa kali ia memandang jam tangannya, lalu beralih ke dermaga. Aku mengikuti arah pandangnya, kulihat dermaga semakin ramai seiring dengan terbenamnya matahari. Namun ada yang berbeda, orang-orang yang datang tampak membawa setangkai bahkan sebuket bunga.
"Apa yang sedang terjadi di sana?" tanyaku.
"Sebentar lagi akan ada upacara peringatan lima belas tahun semenjak peristiwa pengeboman itu terjadi," jawab perempuan itu.
Aku terkejut mendengarnya. "Pengeboman?"
"Ya, dulu pernah ada pengeboman di dermaga yang memakan banyak sekali korban jiwa. "
"Kau akan ikut dalam upacara itu?"
Perempuan itu mengangguk, "Tentu saja. Aku sengaja datang jauh-jauh untuk menghadirinya. Aku mampir ke sini hanya untuk beristirahat sebentar."
"Oh, jadi begitu." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Hey, kita belum berkenalan." Kujulurkan tanganku sambil berucap, "Aku Alex."
Ia menyambut uluran tanganku. "Keira," ujarnya. Lalu ia melihat jam tangannya dan bangkit dari kursi. "Aku harus segera pergi, upacaranya hampir dimulai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbanglah Kata-Kata [completed]
Conto[Bukan tempat feedback 🙏] Hanya kumpulan kisah yang menjelma menjadi teman duduk Note: Sebagian cerpen dalam buku ini sudah diterbitkan dalam antologi cerpen