Ano Hito

32.3K 1K 283
                                    

Jika manusia dilahirkan dari banyaknya penyesalan, maka Aikawa Mafuyu adalah manusia yang sebenarnya.

Hidup sebagai sampah dan tak diinginkan orang lain sudah mendarah daging pada dirinya sejak dulu. Berdiri dengan kedua kakinya sendiri saja sudah bagaikan aib yang ingin dibuang berkali-kali ke dalam kubangan sampah.

Rasa sakit sudah setia menemaninya setiap saat, kesendirian seakan sudah menjadi pakaiannya setiap hari. Tak diterima diantara orang-orang, dilecehkan, dihina, diperlakukan sebagai sampah. Makanannya setiap hari.

Ini tahun terakhirnya di sekolah menengah atas, dan dia satu-satunya orang di kelas yang tidak menulis apapun di lembar rencana hidup setelah lulus.

Ia tidak tahu dengan masa depannya, ia tidak memiliki harapan apapun untuk hari esok apalagi kelanjutan hidupnya. Karena ia sudah percaya akan satu hal, sekeras apapun ia berusaha, setinggi apapun ia bermimpi, sekuat apapun ia bertahan, hasilnya akan tetap sama. Tidak akan ada orang yang mau memungut bunga yang sudah terinjak-injak bukan?

Rutinitas sekolahnya yang suram senantiasa ia jalani. Semua cemoohan masih mengalir begitu saja, tak bisa dihentikan dengan sekadar menutup telinga kuat-kuat. Dan saat ini, kembali, saat matahari senja mulai menghiasi langit, Mafu dipaksa untuk menemui seseorang di samping laboratorium sains.

Jika dikatakan malas, tentu saja Mafu merasakan itu, setiap hari. Namun entahlah, ia selalu bersedia untuk disuruh datang meski tahu apa yang akan terjadi padanya jika berani datang. Hari ini pun sama, sudut matanya sudah menangkap beberapa orang yang menunggunya di tempat tujuannya.

Ah, keroyokan lagi ya..

Hembusan napas kasar terdengar. Dan baru saja ia melangkah kembali dari perjalanannya yang sempat terhenti, ia langsung ditarik paksa oleh salah satu dari mereka. Disudutkanlah dia. Punggung Mafu membentur dinding dengan keras, gerakan mendadak itu pun berhasil menjatuhkan kacamata yang ia kenakan.

Sakit..

Senyuman sinis 4 orang pria yang Mafu ketahui berasal dari kelas sebelahnya langsung tersungging saat Mafu meringis.

"Heh pecundang, berikan semua uangmu pada kami."

Uang lagi, sudah berapa banyak uang yang melayang hanya untuk memberi makan orang-orang yang membencinya ini. Bahkan uang makan untuk seminggu kedepan pun rasanya tidak akan mencukupi.

"Aku tidakー"

"Geledah dia!"

Lagi, layaknya dejavu. Hanya untuk hal ini, ia mulai merasa muak, merasa jijik, saat lagi-lagi cara mereka menggeledahnya tidaklah pantas. Mafu tidak mengerti. Kenapa orang-orang bejat di depannya ini mau-mau saja menyentuh semua bagian tubuhnya, dengan wajah gembira, dengan nafsu.

Suara kikikan tawa mereka menggema di telinga Mafu. Sentuhan-sentuhan penuh nafsu itu benar-benar membuatnya muak. Memberontak pun rasanya tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis menahan emosi, suaranya tak keluar ーtercekat. Matanya ia pejamkan, antara takut jika menatap tak berdaya ke arah mereka dan muak dengan wajah senang mereka. 

Sampai satu tangan nakal menyentuh selangkangannya. Mafu mengerjap dalam mata yang masih terpejam.

Jangan lagi, kumohon..

"Ternyata kau manis juga kalau sedang ketakutan seperti ini, mau bermain dengan kami? sebagai gantinya kami tidak akan meminta uangmu lagi."

Penawaran tak adil. Dalam posisi ini pernyataan itu bukan untuk dipilih kan? Melainkan mutlak untuk dituruti. Layaknya anjing yang diperintahkan untuk duduk.

Belum menjawab –karena ketidakmampuannya mengeluarkan suara, sentuhan-sentuhan pada tubuhnya terhenti. Akhirnya Mafu penasaran dengan situasi yang tidak ia lihat, perlahan matanya terbuka, masih takut-takut.

触ってください先生! (Sawatte kudasai, sensei!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang