Penciumannya sudah terbiasa dengan bau-bau bahan kimia di ruangan itu, yang terasa samar di hidungnya. Dan posisinya yang tidak lagi terduduk –melainkan tiduran menyamping, dengan ikatan yang masih membelenggunya- membuatnya merasakan setiap langkah yang terasa dekat dari ruangan ini. Terlalu hening, suasana petang ini. Ditemani rasa ngilu yang membekas di luka-lukanya, tatapan sayunya terus tertuju pada celah pintu di bawah sana. Menunggu seseorang berdiri di depan pintu itu.
Sejak pertemuannya dengan Soraru tadi pagi, Mafu tidak lagi dikunjungi oleh pria itu. Mungkin pekerjaannya menyita semua atensi Soraru sehingga mau tak mau Mafu harus tersiksa dengan diamnya diri, terikat. Sekedar menambah lukanya saja ia tidak bisa.Bibirnya kembali kering. Begitu pula tubuh dan pakaiannya yang sempat dibasahi. Dalam keheningan, ia menghitung dentingan jam yang terdengar menemaninya. Sayatan waktu yang membunuhnya perlahan.
“10520.. 10521..10522..”
Ditengah hitungannya Mafu terhenti, pikirannya tiba-tiba kosong.
“Aa.. wasureta..”
Mafu memejamkan matanya sejenak. Haruskan ia istirahat dalam penantian menyakitkannya? Atau mari merasakan hawa kedatangan seseorang yang terasa semakin dekat. Instingnya bekerja. Dan dalam satu hentakan suara dobrakan pintu terdengar, nyaring. Matanya ikut terbuka seiring terbukanya pintu dengan paksa. Tentu sosok yang ia nanti yang datang –dengan tidak manusiawi itu. Tapi seingatnya Soraru bukanlah pahlawan yang akan menyelamatkannya dari ruangan ini sampai harus membuka pintu dengan bantingan. Atau hari ini mood pria itu sedang sangat buruk? Haruskah ia bersyukur?
Soraru yang datang dengan setumpuk dokumen itu langsung membanting dokumennya, ke arah Mafu. Benar, Soraru tengah kesal. Dan Mafu yakin sumber kekesalannya adalah dokumen yang barusan menerjang tubuhnya yang tak berdaya. Linu terasa. Mungkin sebentar lagi memar kebiruan akan muncul lagi di paha dan perutnya –sasaran jatuhnya tumpukan dokumen.
Soraru tak berkata-kata menyaksikan Mafu menerima perlakuannya. Bukankah pemuda itu terlampau pasrah? Atau dia benar-benar sudah tidak bisa membedakan kenikmatan dengan rasa sakit?
Akhirnya Soraru mengacak rambutnya sendiri. Malam ini dirinya harus lembur, menyelesaikan dokumen kepegawaian yang harusnya menjadi tugas kepala sekolah. Persetan dengan pria botak menyebalkan itu, Soraru terus mengumpat dalam hati. Satu keuntungan yang bisa sedikit menghiburnya adalah keberadaan Mafu dalam kendalinya. Mainannya.
Petang ini, bagaimana jika istirahat dulu dalam pekerjaan dan bermain dengannya?
“Oi.” Suara Soraru terdengar rendah, namun dalam akan emosi yang tertahan.
Mafu menatapnya sebagai respon, kembalilah ia tenggelam di dalam lautan biru itu. Tenggelam dan tidak berusaha untuk berenang naik lagi.
Langkah Soraru menujunya terdengar menggema di ruangan sepi ini, mengalahkan teman cakapnya –jam dinding. Sesampainya di hadapan Mafu yang terbaring, Soraru langsung menarik rambut putih itu –memaksanya mengangkat kepala. Sensasi jambakan itu lagi, yang membuat Mafu pening dan selalu ketagihan.
“Kau tidak mati kelaparan ternyata.”
Mafu sedikit tersenyum, hambar. “Aku pernah gagal mati setelah tidak makan 3 hari, seharian tidak makan tidak akan membuatku mati.”
Haruskah ia bangga akan hal itu? Padahal jauh di dalam lubuk hatinya, keinginan untuk mati sudah dipupuknya sejak ia kecil. Pengecut? Padahal sudah paham dengan jelas dirinya sering terjatuh, melupakan diri sendiri, dilupakan berkali-kali, mengacaukan pikiran, merobek sendiri luka lama. Perasaan benci pada dirinya sendiri memupuk otomatis setiap harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
触ってください先生! (Sawatte kudasai, sensei!)
Fanfic[ UTAITE FANFICTION COMPLETED ー reupload ] Kekerasan sudah akrab baginya. Kesendirian sudah membelenggunya sejak dulu. Dan saat guru sains baru itu hadir, setidaknya Mafu memiliki alasan untuk datang ke sekolah. "Tolong sentuh aku, sensei.." WARNI...