Bagian Satu

77 13 3
                                    

"Caca!! Aku kangen sama kamu, lulus SMP aku gak dapet kabar dari kamu sama sekali" Dea memelukku erat sambil mengoceh panjang lebar karena mengaku belum mendapat kabar sekalipun dariku. Aku melihatnya sambil tersenyum geli, betapa manisnya sahabatku satu ini.

"Ya ampun De, jelas-jelas kemarin kita udah buat grup berlima sama Risa, Ira, Adel. Gimana sih masih muda kok pikun" aku melepas pelukan Dea sambil tertawa menuju tempat tidur. Memang hari ini sengaja kita berlima berencana hangout ke salah satu mall di Jakarta.

"Hmm.. iya ya? Kenapa aku lebay banget pas ketemu kamu tadi. Lagian kalo kamu gak ngasih kabar kayanya gak mungkin aku ke rumah nenek kamu deh" Dea mengikutiku sembari tertawa lepas, mengingat betapa bodohnya dia saat kejadian beberapa menit yang lalu ia memelukku heboh.

"De, enaknya pake baju apa ya buat nanti? Aku bingung nih" ujarku sambil melihat baju di lemari.

"Ca, kamu ini mau hangout, bukannya mau nge-date. Please deh Ca, udah SMA juga masa masih bingung sama hal gitu aja?" Dea terkekeh melihat tingkahku yang mungkin menurutnya terlalu keanak-anakkan.

"Sekarang aku lebih suka menanyakan pendapatku, daripada salah lagi" aku tersenyum.

Tapi Dea tahu itu bukan senyuman tulus karena kebahagiaan, itu senyuman yang ia lihat dua tahun yang lalu. Tepatnya saat mereka masih berada di kelas IX SMP. Dea ingat betul bagaimana hancurnya sosok yang ada di depannya saat ini, bahkan sangat ingat.

"Udahlah Ca, itu udah lama. Sekarang juga kalian gak pernah ketemu lagi kan? Udah dua tahun yang lalu loh kejadiaannya, jangan di inget lagi dong. Harusnya tuh ya, kamu di SMA minimal punya gebetan gitu daripada galau mulu" Dea menyentuh bahuku sambil tersenyum. Mungkin itu usahanya menguatkan aku.

Dua tahun yang lalu Caca tidak setabah Caca yang sekarang. Caca lemah, bahkan sangat lemah jika dalam urusan hati. Jelas di depan matanya ia melihat lelaki yang selalu ia perjuangkan mati-matian sedang berusaha menghilangkan seorang Caca dari kehidupannya.

Dan bodohnya lagi, Caca sangat mudah memaafkan apapun kesalahan yang dilakukan lelaki itu. Sampai sampai ia bertengkar hebat dengan ke empat sahabatnya demi laki-laki itu. Caca salah karena tidak menghiraukan saran sahabat-sahabatnya, alhasil akibat yang ia terima adalah terluka hebat. Disitulah titik ter-hancurnya seorang Annisa Denara Thalia.

"Ca, kamu ngelamunin apa? Udah deh ayo cepetan mandi, kasian yang lainnya kalo nunggu kita kelamaan"

"Eh, iya De. Aku mandi ya? Kamu tunggu di bawah aja kalo mau minum ambil sendiri ya. Masih hafal kan dapurku ada dimana?"

"Kita baru gak ketemu beberapa hari lo Ca, jangan mentang-mentang aku lupaan jadi bisa kamu katain gini ya"

"Bukan ngatain Dea, cuma mengingatkan"

"Beda tipis!! udah cepetan mandi, bau kuda" Dea keluar dari kamarku dan meninggalkan aku yang masih duduk diatas kasur.

Benar juga kata Dea, mungkin aku harus cari gebetan biar gak galau batin Caca.

***

"Kak Eza? Kamu ngapain sama Kak Cinta?" Caca berkata dengan nada gusar dan ekspresi yang sulit dibaca.

"Caca? Ngapain kamu disini? Katanya udah pulang sama Pak Didin" tanya laki-laki yang bernama Kak Eza itu.

"Kenapa kak? Kakak ketahuan ya sama aku lagi selingkuh sama Kak Cinta?" Caca tertawa, namun nadanya bukan nada kebahagiaan. Melainkan itu nada kehancuran.

"Jaga omongan kamu Ca!" bentak perempuan disamping Kak Eza tadi, ya namanya Kak Cinta.

"Kenapa kak? Salah yang aku omongin? Kalau bukan selingkuh kenapa tadi pakai pelukan segala?" Caca pasrah, ia tidak peduli bagaimana keadaannya sekarang. Hatinya sudah hancur. Sangat hancur.

"Ca, aku bisa jelasin semuanya" Kak Eza melangkah sambil mencoba mengenggam tangan Caca. Caca menolak.

"Gak usah kak terimakasih, aku sudah lihat sendiri kok. Ternyata selama ini aku yang bodoh karena selalu belain kakak dimanapun, sampai temen-temen kelasku nganggep aku gila karena merjuangin playboy kaya kakak. Aku tahu kak, gak lama ini kalian pacaran kan? Aku tahu dari Risa, tapi aku berusaha ngelak. Aku bilang ke mereka kalo kakak gak mungkin kaya gitu, tapi sekarang aku percaya sama Risa" Caca tersenyum, tapi matanya tidak bisa berhenti mengeluarkan bulir bulir air mata.

Eza bungkam, tidak mampu membalas sepatah kata pun dari mulut Caca. Yang dibilang Caca selama ini benar, ia sudah selingkuh darinya. Dan sekarang Eza sadar bahwa ia bodoh karena menyakiti hati perempuan sebaik Caca.

"Ca... maafin aku Ca" Eza menundukkan wajahnya malu.
"Sudah aku maafkan kok, kata mama har--"

"Stop Ca, itu yang aku gak suka dari kamu. Selalu 'kata mama' yang aku denger waktu kamu njelasin semuanya. Kamu terlalu kaya anak kecil tau gak sih" Eza mendongak kasar sambil menatap manik mata Caca dengan tatapan benci mungkin? Caca tidak peduli.

"Oh jadi karena itu kakak lebih milih Kak Cinta? Oke sekarang aku ngerti kok kak. Maaf selama ini aku selalu ngerepotin kakak, aku emang kaya anak kecil. Maaf ya kak" Caca tersenyum sambil mengusap air matanya. Tidak menyangka bahwa kata kasar itu yang keluar dari mulut laki-laki yang ia sayangi setengah mati.

"Ca... sekali lagi aku minta maaf" Eza hanya bisa menatap sayu punggung Caca yang pergi meninggalkannya.

***

"Caca!! ih bengong mulu kamu daritadi, mikirin apa sih? Doi ya? Cerita dong siapa doi kamu. Akhirnya Caca bisa move on dari Ez--" perkataan Ira dibalas dengan tatapan tajam dari Dea, Risa, dan Adel.

"Gapapa guys, aku gak lagi mikirin apa-apa kok. Bukan tentang doi juga kok Ra" aku menatap mereka sendu, mungkin sekarang Dea, Risa, dan Adel ingin menghajar Ira detik itu juga. Tapi karena mengerti arti tatapanku, niat mereka pupus seketika.

"Udah ah, masa lagi ngumpul-ngumpul jadi canggung gini. Gimana abis dari sini kita karoke dulu, setuju?" Dea memecah keheningan yang terjadi, dibalas anggukan dari kami semua.

"Abis karoke kita nonton ya, terus nanti shopping, terus kita beli jajanan yang lagi hitz sekarang, terus nanti kita foto-foto di spot hitz, pokoknya seharian kita harus have fun bareng!" Dea tersenyum puas karena ke empat sahabatnya mengangguk, yang artinya setuju dengan pendapatnya.

"Awas aja pulang-pulang ngeluh kakinya pegel semua. Kalo ada yang ngeluh, berati Dea harus mijetin semuanya" ujar Risa tiba-tiba. Disusul dengan tawa kita bertiga kecuali Dea yang sedang cemberut sekarang.

"Iya setuju deh ya, pokoknya kalo kaki ini pegel sampe pagi Dea jadi babu kita guys. Hahahaha" balas Ira yang membuat lekukan di wajah Dea makin bertambah.

"Yaudah gak usah kemana-mana, daripada jadi tukang pijet dadakan" balas Dea ketus.

"Ih miss rempong marah" ujar Adel sambil menyolek dagu Dea.

"Adelll!!!" kami semua tertawa melihat ekspresi Dea.

Terimakasih Tuhan, kau kirimkan mereka untuk membuat luka ini berangsur pulih. Memang belum pulih sempurna, tapi setidaknya aku sudah menemukan obatnya batin Caca sambil melihat ke empat sahabatnya saling beradu omongan yang sampai membuat perut mereka sakit.

QuatorzeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang