1. Sepuluh tahun yang lalu

1.5K 100 8
                                    

Gerimis menusuk matanya yang nanar memandang lantai tiga bangunan rumah itu. Ia tidak bisa merasakan lagi jari-jarinya yang kebas dan gemetar, atau kerongkongannya yang kerontang setelah begitu jauh berlari. Tetapi jikapun harus menampar tembok untuk bisa merasakan tangannya lagi, ia akan melakukannya tanpa ragu; agar jari-jarinya yang kecil bisa memanjat tembok tinggi itu. Agar ia bisa menemukan Obas.

Jalan termudah merayapi dinding menuju lantai tiga adalah dengan memanjat tanaman rambat di dekat teras samping. Tetapi lampu di teras itu menyala, dan gordin dalam rumah masih membuka dan terang. Kalau ada yang melihatnya...

Tapi, ah... peduli amat! Toh dia memang ke sini untuk menjajal kematian. Pilihannya hanya dua; menemukan Obas dan membawanya pergi dari sini, atau mati ditembak oleh orang-orang Tamiri.

Jadi dalam sedetik ia berlari, dan detik berikutnya kakinya menapak di kotak-kotak anyaman rotan yang menjadi tempat merambat tanaman hias penutup dinding teras.

Beberapa saat berikutnya ia sudah sampai di lantai dua, menapaki birai pembatas balkon seperti seorang pemain akrobat, tak memperdulikan basahan hujan pada selasar yang membuat sol sepatu tipisnya tergelincir beberapa kali. Jendela buram di lantai bawah atap itu semakin jelas. Ia meraih, menapak, memanjat, secepat tokek mengejar mangsanya. Berharap bahwa orang-orang Tamiri tidak akan keluar dalam beberapa saat ini, atau orang dalam rumah tidak menyadari mengapa tanaman teras mereka bergoyang aneh. Sampai kemudian kakinya berjinjit menapaki celah sempit kelokan dinding. Tangannya pun merayapi kelokan serupa agak jauh di atas kepalanya. Air hujan turun semakin deras, debu-debu kian basah, membuat pegangannya semakin licin.

Ia bergeser sedikit-sedikit. Tak memperdulikan lengan dan betisnya yang gemetar menahan berat tubuhnya. Hujan masuk ke dalam mata tanpa bisa diseka, membuat pandangannya pada jendela itu semakin kabur. Tetapi jaraknya semakin dekat.

Matanya mengerjap. Nafasnya terengah dengan kaki dan lengan yang gemetar semakin hebat. Buku-buku jarinya sakit, otot punggungnya berteriak meminta lepas dari ketegangan itu. Darahnya sudah berhenti mengalir ke lengan-lengannya yang terulur ke atas.

Tapi tidak!

Obas adalah hidupnya. Ia harus sampai ke sana.

Hoh... Ayolah...

Anak itu memandang lengannya yang terulur ke atas dengan penuh permohonan. Buku ujung jari yang menahan beban tubuhnya terasa sangat kaku dan memanas. Jam tangan besar yang dipakainya menambah beban yang harus ditanggung oleh jari-jarinya yang kecil. Benda itu melorot sampai ke dekat sikunya. Sekarang setelah terkena air begitu rupa, benda itu mungkin sudah rusak.

Tetapi pikiran untuk membuangnya segera menghilang begitu ia merasakan cahaya kuning samar di sudut mata.

Bingkai jendela itu...

Tangan kirinya meraih celah sempit pada susunan kaca nako yang sedikit terbuka. Pegangannya lebih kuat kini, dan ia bisa melepaskan tangan kananya dari lekukan dinding. Seketika rasa hangat yang hebat menyusuri lengannya, ketika darah kembali mengalir. Ia bisa menarik nafas panjang beberapa saat.

Ruangan di balik kaca nako itu gelap. Sebisa mungkin matanya yang cekung mencoba menemukan sesuatu di dalam. Pandangannya mulai mengenali bentuk lantai di kamar gelap itu. Tingginya hanya sebatas dadanya, dan ada sesuatu yang tergolek di sana.

"Obas...?" ia berbisik.

Tidak ada jawaban dari sosok yang tergolek itu. Apakah itu bukan Obas?

"Obas...?!" panggilnya lebih keras.

Ada gerakan. Benda itu mengerang. "Yung..."

Hatinya terasa melompat ke tenggorokan saat mendengar namanya dipanggil. Itu memang Obas! Ia memasukkan seluruh lengan kanannya ke dalam lengan jaket jeansnya yang basah, dan sekuat tenaga menggunakan perlindungan jaket itu untuk memecah kaca nako. Satu, dua pecah. Cahaya samar dari lampu jalan menerobos masuk, memberikan pemandangan yang lebih jelas tentang siapa yang tergolek di lantai kamar itu.

Dayung Preman Pasar ManikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang