3# Musdi

640 58 15
                                    

#A/N chapter ini saya dedikasikan untuk Lintang Bayu Aji, yang saya tahu akan membaca cerita ini suatu hari nanti. Dia pernah direncanakan untuk memerankan Musdi waktu saya mengerjakan cerita ini dalam format screenplay. So enjoy Bayu! And vote and comment and follow ya!!!#

Matahari di atas Desa Cengkalan masih terik menyengat meskipun hari sudah menginjak pukul dua. Angin menolak bertiup, dan debu-debu berputar-putar saja di udara yang kering tanpa bisa diajak pergi. Terlebih lagi di jalur rel kereta api yang berlajur dan bersilang di sana sini hampir selebar jalan raya. Di tempat ini rumput-rumput menolak untuk tumbuh, selalu mati oleh bisingnya suara kereta api yang lalu lalang beberapa kali dalam sehari.

Musdi melangkah dengan cepat di atas rel. Kakinya sudah begitu hafal bentuk logam yang mengular panjang di atas tanah tandus itu, hingga bisa berlari di atasnya tanpa perlu melihat. Lengannya merentang, memberinya perasaan bahwa ia sedang terbang. Musdi senang beradu cepat dengan kereta api. Kalau sedang ada kereta melitas di sampingnya, ia akan berlari menjajarinya, atau membonceng di gerbong paling belakang.

Setidaknya semua itu akan mengurangi rasa panas dari matahari yang menyengat. Membuatnya lupa pada pengap debu yang berpusar di sekelilingnya. Ia jadi tidak terlalu berharap bahwa angin akan sedikit berhembus mengurangi kegerahan, dan menghilangkan bayangan embun dingin yang mengalir di permukaan gelas es teh yang sangat manis dan wangi. Terlebih lagi, semakin sering ia beradu lari dengan kereta api, semakin cepat pula ia sampai di rumah.

Wajahnya yang tirus karena kurus dan keling terpanggang matahari semakin kempot saat ia menyesap sari manis terakhir dari es kucir yang nangkring di mulutnya. Awalnya es itu tampak seperti cerutu besar yag berwarna coklat dengan rasa yang manis. Namun sekarang air bekunya pun malas berkilau, karena tinggal sebesar potongan kelingking. Tapi Musdi masih ngotot saja mempertahanannya di dalam plastik. Es itu adalah satu-satunya penghilang haus yang dimilikinya sepanjang perjalanan pulang.

Setiap hari ia hanya punya cukup uang saku untuk membeli dua es kucir. Satu dimakannya saat istirahat dan satu dimakannya saat pulang.
Musdi sudah lupa kapan terakhir kali ia naik angkot. Mungkin sudah berbulan-bulan. Teman-temannya selalu bilang kalau rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah. Tapi itu karena mereka bisa menempuh jarak delapan kilometer hanya dengan duduk di dalam angkot, atau melewatkannya dengan bercanda bersama teman-teman di atas sepeda masing-masing.

Ibunya selalu bilang bahwa ia seharusnya sangat bersyukur karena masih bisa melanjutkan sekolah; betapapun jauhnya, seberapapun sulitnya. Musdi harus berterimakasih pada sekolah yang mau menerimanya, meskipun nilai kelulusannya saat SD sangat rendah. Apalagi ia mendapat predikat buruk dari guru-gurunya yang sangat kesulitan mengendalikan kebiasaannya banyak bicara.

Tapi menurut Musdi, sekarangpun keadaannya tidak akan jauh berbeda dengan dulu waku ia masih di sekolah dasar. Setiap hari ia harus bangun saat hari masih gelap. Dan sering kali tanpa sarapan, lupa sisiran, dan kadang-kadang bahkan tanpa sempat mandi, ia sudah harus berlari melewati bantalan-bantalan rel ini menuju sekolahnya. Dan setiba di sana, ia sudah terlambat. Lalu penjaga sekolah yang sangat tebal wajahnya dan bertaut alisnya, menyuruhnya memenuhi hukuman kebersihan saat sekolah usai. Kadang menyapu halaman, kadang mengepel aula, atau menyikat kamar mandi siswa yang berderet-deret banyaknya. Kalau beruntung Musdi bisa melakukannya dengan beberapa siswa lain yang bernasib serupa, sehingga pekerjaan bisa diselesaikan lebih cepat.

Musdi menghela nafas panjang, melihat sepasang gapura bambu yang menjadi pintu gerbang desanya, berdiri kaku melawan kerapuhannya di tepi jalan. Dengan gerakan lidah yang terlatih ia memasukkan potongan es kucir ke dalam mulutnya dan melumatnya sampai hancur sebelum ditelan ke dalam perut.

Langkahnya lebar memasuki gerbang desa yang sederhana. Di sana pohon-pohon rindang yang tersebar di tepian jalan memberikan kesejukan yang tidak bisa di jumpai di jajaran bantalan rel. Angin mulai berhembus sejuk. Musdi memperkirakan saat ini sudah lewat pukul dua. Mungkin sebentar lagi azan ashar akan berkumandang.

Dayung Preman Pasar ManikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang