Dua

1.3K 168 58
                                    

"Jadi maumu apa sebenarnya!"

Gadis itu mengencangkan volume di iPod-nya.

"Kau pikir aku mau tinggal bersamamu?! Satu-satunya alasan mengapa aku masih sudi menganjakkan kaki ke rumah ini adalah karena Yer –"

Ia melekukkan bantalnya dan menutupi kedua telinganya, berharap teriakkan kedua orang yang ia benci itu dapat teredam.

"Kau pikir hanya kau yang berpikir seperti itu? Aku juga sudah muak sekali harus berhadapan denganmu dan wanita-wanita jalangmu itu –!"

Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan tanpa harus berpikir lagi, mengambil topi yang ia taruh di nakas dekat tempat tidurnya dan memakaikannya di kepalanya. Ia menggeser buka jendela yang menghubungkan kamarnya dengan halaman belakang, dan memakai sepatu yang ia sembunyikan di balik pot bunga. Udara malam hari yang cukup menusuk menyapu kulit gadis itu, namun ia tidak peduli. Gadis itu berjalan ke arah pagar rumahnya diam-diam, dan menyelinap keluar tanpa disadari oleh dua orang yang masih sibuk bertengkar di dalam rumah besar itu.

Bisa dibilang, Yerim sudah menjadi sangat lihai dalam hal menyelinap keluar rumah.

Ya, karena dia sudah sering kali melakukan hal ini. 

Ia juga sudah terbiasa merasakan semilir angin malam yang menyapu wajahnya, dan menghirup udara dingin yang bercampur bau musim gugur itu dalam-dalam.

Langkah kakinya membawanya berjalan menelusuri kompleks tempat dimana ia tinggal, melewati rumah-rumah mewah yang kini diterangi dengan redup lampu malam. Terkadang, Yerim bisa mendengar tawa renyah para penghuni rumah dari luar. Segelintir rasa iri tersirat di hatinya, namun ia merasakan hal itu hanya sekilas, karena di detik berikutnya, Yerim kembali sadar bahwa keluarganya tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu lagi.

Heh, kapan terakhir kali ia melihat kedua orang tuanya tertawa bersama?

Mungkin, saat ia memenangkan lomba lari 100 m? Ketika ia masih duduk di bangku kelas 3 SD sembilan tahun yang lalu? 

Pandangannya sampai pada sebuah taman yang terletak di pertengahan kompleks, dan Yerim melangkah menuju sebuah ayunan tua di mana ia ingat ia sering bermain sepulang sekolah bersama kedua orang tuanya. Gadis itu melingkarkan jarinya di rantai besi ayunan itu – kini berkarat, berbeda dari rantai abu-abu di memorinya. Ia menarik napas dalam-dalam, dan berjalan menuju kotak pasir di belakang ayunan dan merebahkan tubuhnya di atas sana, memandang ke arah langit hitam kelam tanpa dihiasi bintang malam.

Yerim meletakkan lengannya di atas matanya yang sekarang terpejam.

Sungguh, jika kedua orang tuanya tidak saling mencintai, mengapa mereka memutuskan untuk menikah dan memiliki dirinya?

Jika ia hanya menjadi sebuah rantai yang terpaksa mengikat dua manusia yang saling membenci itu, bukankah lebih baik kalau ia tidak dilahirkan di dunia ini?

Biarkanlah ia berkarat, layaknya cinta kedua orangtuanya itu.

Heh.

Cinta.

Sungguh...

"...Hal yang bodoh." Yerim bergumam di bawah napasnya.

"Ya, kau benar-benar gadis bodoh."

Jantung Yerim berhenti berdetak ketika tiba-tiba ia mendengar suara berat seseorang dari atas kepalanya, dan tubuhnya tersentak ke atas tanpa melihat-lihat terlebih dahulu, sehingga keningnya bertabrakan dengan kursi ayunan yang berada tepat di depannya.

Gadis itu meringis kesakitan, kedua tangannya meluncur ke arah keningnya. "Aww!"

"Tuh kan, sudah kubilang bodoh." Decak suara berat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang