#03

19 0 0
                                    

"Senja seakan memihak kau dan aku"


Terbaring lemah dirumah sakit, tidak pernah terbayangkan olehku. Bagaimana mungkin dia masih disini menunggu ku. Ku alihkan pandanganku pada papa yang kini sudah berada disamping tempat tidurku, ku perhatikan lekat-lekat papaku sedang tertidur pulas.

"Naaad", panggil Raka.
"Astaghfirullah", kataku karena Raka mengagetkan ku.
"Etdaah nih anak, aku bukan setan kali nad" jawabku menghembuskan napas kesal.
"Siapa suruh ngagetin" kataku sambil cengar-cengir.
"Hooh" jawabnya masih kesal.
"Kaaa" panggilku dengan berlagak imut.
"Haa?" Jawab nya dengan memutar kedua bola mata malas.
"Kok bisa ada pangeran es disini?"
"Tukang es?"
"Pangeran loh bukan tukang", nih anak budek beneran kali ya.
"Mamang?"
"Semprul! Bersihin tuh pakai skop supaya kedengeran" ketusku. Tawanya pecah melihat aku yang semakin kesal.

Pintu kamar terbuka, pertanda ada yang masuk. Kami langsung melihat kearah yang sama. Mama membawa pelastik cukup besar yang berisi makanan. Tentu saja aku sudah terlebih dahulu sarapan, dan itupun karena dipaksa untuk sarapan. Raka yang setadinya duduk, beranjak membantu mama membawakan plastik tersebut.

Tidak lama kemudian, Dava juga ikut bergabung. Setelah sarapan, alwi pamit ke sekolah. Namun, Raka dan Dava masih betah disini. Seakan tahu akan tatapan ku itu, Dava melihat kearahku.

"Hari ini tidak ada kelas", kata Dava tiba-tiba kepadaku dengan tatapan khasnya.
"Gak ada yang nanyak tuh", ketus ku.
"Nada kok ketus gitu, gak baik begitu pada nak Dava", nasihat mama yang ternyata mendengar percakapan antara aku dan Dava.
"E-enggak kok ma", jawabku kikuk.

*

Rasanya aku sangat rindu suasana rumah padahal baru satu malam aku dirumah sakit. Dokter sudah mengizinkan ku pulang.

Suasana rumah masih seperti biasanya. Alwi sudah berda dirumah, dan menyambut kami dengan senyum manisnya. Entah mengapa Dava dan Raka memilih ikut kerumah ku. Kalau Raka tidak masalah bagiku, tapi berbeda dengan Dava, bahkan kami saja secara teknis belum berkenalan.

Mereka berdua mengobrol tanpa henti, seperti dua teman lama yang baru berjumpa setelah bertahun-tahun lamanya. Padahal setiap hari berjumpa, sayangnya mereka bagaikan orang yang tidak saling kenal dikampus.

Percakapan antara Raka dan Dava berlangsung cukup lama. Dava tidak terlalu banyak berbicara. Tanpa sadar aku tersenyum kearah Dava yang terlihat kewalahan menghadapi Raka yang rempong.

Rempong yang ku maksud disini, bukan berarti Raka berpenampilan layaknya banci. Harus kalian ketahui Raka selalu terlihat tampan, apapun yang dikenakannya selalu cocok dengan parasnya yang tamapan bisa dibilang dia ini fashionable.

Tak terasa senja mulai mengeluarkan pesona jingganya yang selalu membuatku terpesona akan keindahannya.

"Gimana keadaan mu?", tanya Dava membuyarkan lamunanku. "Alamdulillah sudah lebih baik", jawabku.
"Istirahat, jangan terlalu memikirkan negara ini"
"Kamu melawak?", tanyaku polos.
"Tidak, aku hanya berkata jujur".
"Terimakasih ya", sambil menahan tawaku.
"Tertawa saja, jangan ditahan. Atau jangan-jangan kamu kebelet?"
Aku tidak sanggup berkata-kata lagi, tawa ku pecah. Wajah dinginnya tergantikan dengan senyum yang cukup menawan.

Setelah makan malam, Raka dan Dava pamit untuk pulang. Aku mengantar mereka kedepan rumah. Mama memberikan makanan untuk dibawa pulang oleh Raka dan Dava. Merekapun pulang dan meninggalkan rumahku.

"Dava sehat? Berubah sekali dia. Apa yang dikatakan Raka sehingga dia berubah drastis. Itu lebih baik, senangnya dia tidak menatapku seperti itu lagi" batinku.

**

Hari ini aku diantar papa, mengingat kondisiku yang belum sepenuhnya pulih.

Andin dan Wawa mendekat ke arahku. Tampak jelas kedua temanku ini sangat khawatir.

"Lo kok gak kasih tau kita sih nad", kata Andin yang mulai mengeluarkan butiran air matanya.
"Maaf, aku gak mau ngeliat kalian khawatir", jawabku.
"Malah seperti ini yang buat kami sangat khawatir nad" tambah Wawa.
"Lo gak pernah nganggap kita ya nad" kata Andin emosi.
"Bu-bukan gitu din. . .",
"Udalah nad, tidak perlu beralasan lagi" potong Andin yang masih emosi.

Tanpa berkata-kata langsungku peluk Andin yang sudah dibanjiri air mata. Begitu juga dengan Wawa tidak sanggup menahan air matanya. Kami bertiga pelukan tidak jauh dari kelas.

"Maafin aku ya din wa", kataku sambil melepas pelukan.
"Gue juga ya nad, maaf tadi kebawa emosi", kata Andin.
"Udah ya, masuk yuk", ajak Wawa.

Raka terheran-heran melihat mata sembab ketiga sahabatnya.

"Kalian bertiga udah mirip badut" ledeknya.
"Los", kata kami bertiga bersamaan.

Seperti biasa, Raka memberikanku coklat. Dari zaman sekolahan dulu sudah menjadi rutiniasnya memberikanku coklat. Kami berempat bersahabat, tapi hanya aku yang selalu diberi coklat oleh Raka. Andin dan Wawa sempat protes, alhasil percuma saja. Raka tidak menggubris sama sekali.

Bahkan Andin dan Wawa sempat mengira bahwa Raka menyukaiku. Namun, itu hanyalah dugaan semata. Setahuku Raka menganggapku sudah seperti adiknya sendiri dan tidak lebih.

*

Saat berjalan menuju kantin, tatapan ku bertemu dengan Dava. Dia bersama teman-temannya.

"Abaikan Nada", batinku

Kami berempat mendekati sebuah meja yang berjarak dua meja dari tempat duduk Dava.

"Mang", panggil Raka pada Mang Asep yang sedang melayani mahasiswa lainnya.
"Sebentar den", sahut mang Asep.
"Mau pesan apa?" Tanya Raka pada kami bertiga.
"Nasi goreng dan jus jeruk" kataku.
"Gue mau bakso sama jus kuini", sambung Andin.
"Aku mie ayam sama es teh", kata Wawa.

Lima menit setelahnya, Mang Asep datang membawa catatan pesanan kami. Raka menyebutkan semua yang ingin kami pesan.

"Tunggu lima belas menit den", kata Mang Asep pada Raka.
"Sip Mang", kata Raka.

Mang Asep datang kembali dengan membawa pesanan kami.    Kami langsung menyantap makanan setelah doa bersama dipimpin Raka.

Sesekali Dava curi pandang kearah meja kami. Andin yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Dava. Mulai membuka suara.

"Eh nad, bang Dava dari tadi gue perhatikan mandangin lo" kata Andin.
"Idih, mana mungkin", kataku.
"Beneran kalii", kata Andin dengan nada serius.
"Suka mungkin", kata Wawa asal.
"Ngarang", jawabku.
"Gak percaya amat sih", kata Andin.
"Lagian kamu sih, ngarangnya kelewatan tahu", kataku mendengkus kesal.
"Cieeee", ledek Andin dan Nada bersamaan.
"Bodo' ", kataku singkat.

Raka yang biasanya rempong, kali ini diam membisu. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya. Aku menyadari ada yang berbeda dari Raka, sayangnya aku lebih memilih untuk diam dan tidak ikut campur.

*

Perkuliahan telah usai, aku pamit pulang duluan. Raka hanya diam saja, tanpa menatap kearahku.

"Ada apa dengan Raka?" Batinku.

Kilas BalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang