Aku menyeduh secangkir Espresso, sambil menatap hujan di malam ini. Kemudian aku menemukan secarik surat di dalam tasku yang pernah kutuliskan untuk seseorang yang spesial dalam hidupku. Cinta pertamaku.
Kuala Lumpur, 24 Desember 2017
Teruntuk kamu, yang jauh di sana...
Kehidupanku tersusun rapi dan sistematis sebelum kamu datang.
Kemudian kamu datang, mengajarkanku suatu hal yang akan selamanya aku ingat.
Karenamu, aku mengerti betapa indahnya aksara dan larik pada puisi. Karenamu, aku mendengar indahnya bunyi percikan air pada hujan. Karenamu, hidupku tidak lagi datar dan membosankan seperti papan catur. Kamu telah mengubah warna hitam dan putih menjadi abu-abu, dan itu merupakan sesuatu yang baru untukku.
Aku selalu terbayang-bayang mata cokelatmu sebelum aku hendak tidur. Mata cokelat yang mampu menghipnotisku ketika aku menatapmu. Tahukah kamu? Kedua matamu bagaikan lautan, aku selalu takut menyelaminya terlalu dalam. Namun kini, aku sudah hilang dan tenggelam di dalamnya, tidak tahu kapan harus kembali.
Semesta mungkin mengizinkanku untuk mencintaimu. Aku terus menari-nari bersama abstraknya aksara, dan semakin tergila-gila, lagi dan lagi. Terkadang aku bosan, karena sajak yang kutuliskan selalu bertemakan penantian. Aku mencintaimu, dan aku mengira kamu merasa demikian. Ternyata aku salah. Aku benar-benar salah.
Hujan kelam singgah padaku kala itu, membawa sepucuk berita tentangmu dan dia. Tentang bagaimana kamu membahagiakannya, tak peduli dengan bahagiamu sendiri. Tentang bagaimana kamu mencintainya, bukan aku. Tentang bagaimana kamu menatap kedua matanya, bukan aku. Tentang berapa banyak kenangan yang kamu ciptakan hari demi hari bersamanya, bukan denganku.
Aku mengira akulah orangnya. Ternyata aku hanya tersesat oleh mata indahmu. Aku membenci hujan kala itu, aku tidak lagi mencintai indahnya larik dalam puisi, aku bahkan tidak ingin menoleh ke arahmu. Yang kulakukan hanyalah berpaling darimu, mengindari tatapan matamu, dan berhenti menulis tentangmu. Walaupun itu semua sangat membunuhku.
Kamulah si Romeo dalam kegelapan, yang mengikatku pada rantai dustamu, yang merengkuhku dalam peluk hangatmu. Nyatanya selama ini, semua tatapan palsumu hanya untuk mengikat hatiku. Aku mencintaimu sepenuh hati, dan kamu yang mencintaiku tanpa hati. Ternyata hujan hanyalah pembawa berita, tak peduli sekeras apa aku menangis karenamu, karena kita hanya tinggal lalu.
Hari berganti demi hari, kesedihanku telah terkubur dalam-dalam, namun tetap saja, rasa cintaku padamu belum padam.
Hujan kembali singgah padaku, membawa berita tentangmu. Tentang bagaimana kamu sudah tidak lagi bersamanya, tentang bagaimana dia tidak lagi mencintaimu, tentang bagaimana kamu meringkuk di kamarmu sama seperti yang pernah kulakukan. Aku tidak ingin melihatmu terus bersedih, ingin sekali aku menangis, pecah bersamamu. Kamu tidak lagi ceria seperti dahulu, bahkan mata cokelatmu yang berseri, kini berubah menjadi kelabu.
Mungkin aku terlalu bodoh, karena sejujurnya di dalam lubuk hatiku, masih tersisa perasaan cinta yang membara. Tahukah kamu? Salah satu kebahagiaan terbesarku adalah karena aku mencintaimu, dan salah satu kesalahan terbesarku juga karena aku mencintaimu.
Aku hanya bisa mendoakanmu. Berdoa agar kamu tidak bersedih lagi, karena sesungguhnya, penyakit hati adalah penyakit yang paling berat, dan yang paling susah disembuhkan.
Setelah berbulan-bulan waktu berlalu, kita saling asyik sendiri, menyibukkan diri masing-masing, berusaha meraih cita-cita masing-masing. Sampai akhirnya di suatu ketika, kamu datang menghampiriku dan mengajakku pergi untuk bersantai. Masih ingatkah kamu, wahai pujaan hatiku?
Kamu menyatakan suatu hal yang membuatku sangat terkejut. Kamu membawaku ke taman, menatapku lagi dengan tatapan khas dirimu, mencoba membuat suasana menjadi romantis layaknya kisah-kisah di novel romansa. Kamu mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Tentu aku tidak langsung percaya, dan menganggapmu berbohong. Jika kamu mencintaiku, lantas mengapa kamu menjalin hubungan dengannya? Bukan denganku. Jika kamu mencintaiku, lantas mengapa kamu bersandar di pundaknya? Bukan pundakku. Jika kamu mencintaiku, lantas mengapa kamu membuat kenangan bersamanya? Bukan denganku. Jika kamu mencintaiku, lantas mengapa kamu membahagiakannya? Bukan aku.
"Aku sudah mencintaimu semenjak dahulu, namun aku menjadikan perempuan itu sebagai pelarian," ujarmu menunduk merasa bersalah, aku terus bertanya. "Tetapi mengapa kamu menjadikannya pelarian? Mengapa kamu menipunya?" Kamu lantas menangis, sebuah penyesalan tercetak jelas di wajahmu. Penyesalan yang sangat dalam. Aku bisa merasakan betapa hancurnya dirimu. Tapi mengapa? Mengapa gadis malang itu tertipu olehmu juga?
Kemudian kamu memberi penjelasan mengapa kamu tidak memilihku. Kamu berkata bahwa kamu ingin melihat reaksiku jika kamu menjalin hubungan dengannya. Kamu merasa bodoh dan bersalah di hadapanku. Kamu hanya takut akan penolakkan, kamu takut aku tidak mencintaimu, karena selama ini kamu melihatku bertingkah biasa saja.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku tidak bertingkah biasa saja. Oh, sungguh aku tidak bertingkah biasa saja. Aku menangis ribuan kali, aku bertanya pada diriku sendiri ribuan kali, aku membenci diriku sendiri kala itu. Aku bertingkah biasa hanya untuk menutupi kesedihanku, kamu tidak akan pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di balik senyumanku, tidak ada yang mengetahuinya.
Tiba-tiba, ketika aku masih bimbang, ketika semua perasaan bercampur aduk, ketika aku menatap langit dengan tatapan sendu, kamu menyerahkan sekuntum bunga mawar merah sambil menyatakan cintamu padaku. Tentu aku sangat terkejut, bercampur aduk dengan rasa bahagia. Momen yang selama ini aku tunggu, kini datang juga. Rasanya, semua sajak yang kutuliskan untukmu menjadi nyata.
Aku berdiri menatapmu lamat-lamat, tatapanmu membuat hatiku luluh, mata indahmu seperti biasa menghipnotisku. Kamu menyatakan cintamu di bawah bianglala. Sebuah kata-kata yang tidak akan pernah kulupakan, selamanya. Sebuah momen yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata, tidak dengan puisi dan tidak pula dengan perumpamaan. Ketika itu langit sudah berubah menjadi jingga, melukis sebuah kenangan tentang 'kita'. Melalui surat kecil ini aku hanya ingin mengatakan satu hal klise yang sampai kini belum aku ketahui jelas maknanya. Aku mencintaimu.
Tertanda,
Aku, kekasihmu
Aku menutup surat kecilku, menatap kembali indahnya hujan di malam ini. Kamu tengah menyeduh robusta sembari menunggu pesanan kopi arabika. Terima kasih Tuhan, karena telah mempertemukanku dengannya. Aku akan menjaganya. Satu senyuman mungkin tidak akan mengubah dunia, tetapi senyumannya mengubah duniaku menjadi lebih indah. Aku menyerahkan secarik surat tadi kepadanya. "Melalui surat ini, kamu akan tahu betapa aku mencintaimu."
Kamu tersenyum, indah sekali.
"Tanpa kamu menulis surat pun, aku sudah tahu pasti bahwa kamu mencintaiku. "
Kemudian kamu menggenggam tanganku dengan erat, membacakan salah satu puisi William Shakespeare favoritku.
Sonnet 18 (Shall i compare thee to a summer's day?)
Shall i compare thee to a summer's day?
Thou art more lovely and more temperate.
Rough winds do shake the darling buds of May.
And summer's lease hath all too short a date.
Sometime too hot the eye of heaven shines,
And often is his gold complexion dimmed;
And every fair from fair sometime declines,
By chances, or nature's changing course, untrimmed;
But thy eternal summer shall not fade,
Nor lose possession of that fair thou ow'st,
Nor shall death brag thou wand'rest in his shade,
When in eternal lines to time thou grow'st.
So long as men can breathe, or eyes can see, so long lives this, and this gives life to thee.
-
End
Ditulis pada tgl 24 Desember 2017
Dipublikasikan pada tgl 27 Desember 2017

KAMU SEDANG MEMBACA
Youniverse
Historia Corta[Event LUCIFEROUS @wattpdsquad] Melalui surat kecil ini, aku ingin menumpahkan sebuah kisah klasik tentang aku dan kamu. Kisah tentang waktu yang mempertemukan lalu memisahkan kembali, aku ingin mencurahkan sebuah kisah klasik tentang 'kita'.