Disclaimer Kouhei Horikoshi
Nearly by reeshizen
Todoroki Shouto x Reader
Warning: alternate universe, sedikit Chara!OOC, typo(s), beberapa salah EBI, plot yg tyduc sempurna, etc.
Don't Like Don't Read
.
Happy reading!
.
.
.
Awan-awan gelap menangisi bumi. Tangisannya tidak main-main. Makhluk-makhluk Bumi bahkan dibuat merana oleh tangisan hebat tersebut. Tangisan yang jatuh bukanlah satu-dua butir air, melainkan ribuan, bahkan jutaan aliran tangis yang menyapa bumi. [Name] melajukan motornya secepat yang ia bisa. Hati-hati membawanya masih [name] pegang sebagai pedoman keselamatan. Motifnya memajukan kecepatannya berkendara yakni untuk mencari tempat berteduh. Kaca helmnya sudah dipenuhi oleh rintikan air. Ia takut jika pandangannya akan terganggu. Jika ia membuka kaca helmnya, maka matanya akan terasa perih karena terkena rintik-rintik air.[Name] sudah memastikan, bahwa pesanan pelanggan di tokonya itu sudah ia antar semua. Kembali sedikit lebih lambat mungkin tidak masalah. Pakaiannya sudah lembap, akibat air hujan yang merembesi beberapa bagian seragam kerjanya. Tidak mungkin ia akan kembali dengan basah kuyup. Yang ada ia akan diomeli karena tidak memakai ponco pengendara-yang sejatinya lupa ia bawa.
Hujan menderaskan tangisannya. [Name] sudah tidak mungkin untuk lanjut berkendara. Serta-merta ia hentikan perjalanan, sekonyong-konyong berteduh di sebuah pohon besar yang sementara menjadi tempat berteduhnya. Tremornya bergetar, gigil akibat tusukan suhu dingin ia rasakan. Pakaiannya sebagian besar menjadi tampungan air hujan, yang makin-makin menajamkan dingin yang dirasanya.
Sekonyong-konyong, gelegar guntur menjumpa seperti tamu yang tak diundang. [Name] waswas melihatnya. Guntur-guntur berdatangan dengan jeda hitungan detik. Kilatannya terlalu jelas, bahkan suaranya begitu nyaring. Guntur-guntur tersebut tampak nyalang. Nname] bergidik sendiri melihatnya, ditambah gigil yang menyapu permukaan kulitnya dengan kasar. Hujan pun dapat kasar dengannya.
[Name] memperhatikan sekelilingnya. Ia berteduh di sebuah pohon di pekarangan rumah orang. Ia tentu merasa tak enak, tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Beberapa meter di dekatnya tampak sebuah rumah besar bergaya Jepang. Dilihat dari pekarangan depannya saja [name] tak perlu menebak jika sang pemilik benar-benar menyukai arsitektur Jepang, atau mungkin bermotif untuk melestarikan budaya. Apapun itu, [name] cukup merasa tertarik melihatnya.
"Hoi, kau yang di sana, apa kau tidak lelah berdiri di situ?" [Name] tersentak mendengarnya. Ia merasa suara tersebut tertuju pada dirinya. Kepalanya saja sudah celingak-celinguk mencari arah datangnya suara. "Bukan di situ, bodoh. Tapi, di sini." Mata [name] pun melayang, bertemu tatap dengan seorang lelaki di depan pintu rumah. "Masuklah jika kau tidak ingin kedinginan," ajaknya yang buat [name] terkesiap.
"Arigatou gozaimasu. Anda benar-benar baik hati. Maaf merepotkan, bahkan sampai meminjamkanku sebuah selimut hangat," ujar [name]. "Ah-tidak usah repot-repot memberiku minuman hangat-ehh, baju?!"
"Bajumu basah semua. Tidak enak dipandang, ditambah nanti kau bakal sakit jika bersikukuh menggunakan pakaian basahmu," terangnya.
[Name] cengar-cengir. Setengah hati menerima pakaian kaus dan celana olahraga tersebut. Walau rasa tak enak menyisip relungnya, kebutuhan akan pakaian ganti ia utamakan. Lelaki itu berkata kemudian bahwa pakaian tersebut mungkin cukup di tubuh [name] serta ia menambahkan jika pakaian yang ia pinjami itu milik kakak perempuannya yang kini tinggal di luar kota dan masih terdapat pakaian kakaknya yang masih tertinggal di rumah ini.
[Name] mengangguk-angguk mendengarkan. Selagi menunggu tangis hujan mereda, [name] berbincang-bincang dengan sang lelaki. Sebagian besar topik pembicaraan [name] bangun, lelaki baik hati di hadapannya hanya mengikuti dengan senang hati. Tak henti-hentinya [name] utarakan bahan pembicaraan. Baginya lebih baik begini ketimbang diam tak membicarakan apapun. Rasanya tak sopan jika tidak mengajak sang pemilik rumah bicara, apalagi ia sudah mengizinkan [name] singgah sebentar.
"Dilihat dari motor yang kaubawa, kau seorang pekerja?" tanya lelaki itu kemudian setelah [name] mengungkapkan kekesalannya terhadap cuaca hari ini.
"Pekerja part time," sahut [name]. "Dan karena pekerjaanku hari ini aku jadi kesal. Hujan sungguh mengganggu pekerjaanku. Untung saja kusudah menyelesaikannya. Jika tidak aku pasti akan terkena komplain. Kautahu sendiri 'kan, pelanggan zaman now sekarang seperti apa," imbuhnya.
Lelaki itu mendengarkan. Ia tidak memberi komentar sama sekali. Wajar saja baginya jika gadis di depannya masih menyisip dongkol.
"Ah, belum lagi aku mesti menuntaskan tugas-tugas Dosen hari ini. Besok hari pengumpulannya pula. Sungguh pusing aku," keluh [name] terhadap diri sendiri.
"Kau masih mahasiswi, semester berapa dan jurusan apa yang kauambil?" Tampaknya sang lelaki tertarik dengan profil pendidikan [name].
[name] membalas, "Ilmu Sosial dan Kemanusiaan dan mulai menginjak semester akhir. Dan apa statusmu? Pekerja kah, atau mahasiswa? Umurmu tampaknya tidak berbeda jauh dariku."
"Aku hanya seorang freelance. Omong-omong soal kuliah aku sudah lulus beberapa tahun lalu." Sang lelaki menyahuti.
[Name] lalu memandang ke sekeliling rumah. Rumah dengan dominasi kayu tersebut tampak luas di mata [name]. Yang ia tempati sekarang adalah ruang tamu dari rumah tersebut. Meski meja serta beberapa sofa memenuhi di tengah ruangan serta beberapa benda lain di setiap sudut ruang, ruang tamu ini masih sangatlah luas dengan beberapa bagian tempat yang tidak terisi, bahkan sekat-sekat di sekitarnya yang menghubungkan dengan ruangan lain tidak mengurangi kesan luas yang ada. Jika ruang tamunya saja lapang, bagaimana dengan ruangan-ruangan lain? [Name] yakin sekali jika masih banyak ruangan di rumah berarsitektur Jepang-Modern ini.
"Rumahmu luas, ya." Sekonyong-konyong, [name] mengungkap. "Aku yakin di dalamnya pasti cukup membingungkan karena sekat-sekat geser ini."
"Tidak juga," belanya. "Kau hanya belum terbiasa saja."
[Name] cengar-cengir. Bagi dirinya tidak akan terbiasa tinggal di rumah seluas ini, ditambah arsitektur Jepang menyeluruh. Selama ini ia hanya tinggal di sebuah apartemen sewa dekat tempat kuliahnya. Jika di daerah asalnya, rumahnya-rumah orangtuanya-berdesain minimalis sehingga ia tidak pernah merasakan tinggal di rumah bergaya Jepang kuno.
Hujan mulai mereda. Rintik-rintik air berkurang menjadi sebuah tetesan di setiap atap rumah. Berbanding terbalik dengan sejam yang lalu yang mana terlihat ganas menujahkan bumi dengan tangisannya. Sudah saatnya [name] undur diri. Ia tidak berpikir panjang, jikalau hujan kembali menujah karena dipikirannya segera pergi selagi langit menjinak.
"Jika masih ingin singgah untuk beberapa waktu lagi, aku tak masalah."
"Tidak, tidak, sudah seharusnya aku untuk pergi. Aku pasti akan dimarahi oleh manajer karena kembali dengan terlambat."
Lelaki itu tak membalas lagi. Ia menyaksikan [name] hingga sudah selangkah di luar pintu rumah.
"Arigatou gozaimasu. Aku pamit." Sekali lagi [name] mengucapkan terima kasih. Namun, badannya berbalik kemudian sebelum lanjut bertolak. "Ano... mungkin ini tidak sopan, tapi aku benar-benar lupa menanyakan tadi. Siapa nama Anda?"
Lelaki itu tak berpikir jika gadis di depannya akanmenanyakan namanya, lagi pula ia sudah menolongnya, akan sangat tidak sopanjika lawan bicaranya melupakannya. "Todoroki Shouto," jawab si lelaki yang [name] baru perhatikan jika gaya sang lelaki di depannya sangat eksentrik.[]
TBC
[A/N]
Hohoho, aku enggak yakin ceritanya bakal oke. Pas kuselesein ternyata sampe 9k words lololol dan di words dah 42 halaman. Sungguh rekorku saat ini.Tunggu chap berikutnya ya!
Zena
27 Des 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Nearly [Todoroki Shouto x Reader]
Fanfic[selesai] [Surname] [Name] bersua dengan seorang lelaki baik hati. Meski cuek dan pendiam, ia tak tanggung-tanggung berkunjung ke rumah sang pemilik sifat. Namun, bukan Shouto jika tidak penuh kejutan. Kejutan tak logis, tapi nyata. . . . Todoroki S...