BIYUNG

48 5 0
                                    

Oleh: Ken Saskara


Seminggu setelah kematian Bapa, Biyung mencoba tegar. Kematian Bapa adalah pusat dari kesedihan, kini menjadi genang kenang yang menyemai bibit rindu dan kepedihan yang teramat dalam. Rasa hampa melanda pada setiap penjuru rumah. Burung perkutut Bapa pun mati di dalam sangkarnya, tak tahan menanggung rindu yang tak berkesudahan.

Biyung mencoba membuat hati kami tegar. Ketika aku sendiri merasa kepergian Bapa adalah kemalangan bagiku. Kepergian yang belum siap aku terima dan aku jalani. Kakakku pun merasakan hal yang sama. Kepergian Bapak terlalu cepat dan sedikit banyak mengoncang jiwaku dan kakak.

"Kematian adalah awal suatu kehidupan. Bapamu tak perlu lagi merasakan sakit. Beliau sudah lebih baik sekarang."suara Biyung terdengar jernih di telingaku.

"Tapi kita belum juga merasakan senang bersama, Biyung," ucap Lastri sembari menitikan airmata, "kita belum puas diasuh Bapa, Biyung."

Terasa ada yang tiba-tiba luruh dari hatiku. Aku terdiam. Bagiku kematian adalah labirin yang tak bisa kumergerti tetapi ada.

"Semakin kalian menyukai sesuatu dengan amat sangat, maka Gusti Allah tidak akan berlama-lama untuk mengambilnya. Pada hakekatnya tak ada yang benar-benar kita miliki, yang hidup pasti mati tidak terkecuali Bapa kalian,"

Suara Biyung demikian tegar. Meski pada kenyataannya tidak, pipinya selalu basah oleh bulir airmata yang jatuh setelah kepergian Bapak. Ditambah lagi Lastri kakakku yang baru sebulan menikah sebelum Bapa meninggal, harus mengikuti suaminya pergi merantau karena tuntutan pekerjaan.

Begitulah Biyung,menengelamkan gelisah dan resahnya pada torehan canting yang ia tarikan pada selembar kain putih. Biyung suka membatik,.Dulu ketika Bapa masih ada, Bapak selalu bercerita pada kami tentang filosofi batik sembari menemani Biyung yang sedang melukis kain putihnya.

"Mbatik itu budaya Adigung yang mengajarkan banyak hal pada kita."suara berat Bapa beriringan dengan kepulan asap temabakau, "tentang keselarasan dan keuletan."

"Proses membatik itu harus diawali dengan puasa dan tirakat. Setiap tarikan canting tersemat sebuah doa, karena awal proses membatik ini diawali dengan hubungan jiwa pembatik dan Sang Pencipta."lanjut Bapa,"bertemunya titik temu nur insane dan nur Illahi."

Demikianlah Bapa selalu memberi wejangan tentang kebijaksaan hidup, dan itu merasuk begitu dalam pada palung hati Biyung. Hingga kesepian Biyung akan kehilangan Bapa mengores tajam melalui lukisan batik yang dibuatnya.Biyungpun sudah menikungkan hatinya pada kesepian yang sesungguhnya, kehilangan kami anak-anaknya. Kehilangan kami yang sekarang hanya bisa dipandang, bisa didengar suaranya, namun tak bisa disentuh dengan leluasa karena kami beranjak dewasa.

Setelah mbak Lastri pergi bersama suaminya,tinggal aku dan Biyung yang terperangkap sepi. Kami sudah tidak pernah lagi saling bersapa dalam sendaugurau di atas meja makan atau dimanapun. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Kehidupanku tentu jauh lebih rumit dari yang dulu. Mulai dari tugas-tugas kampus yang berjibun sampai urusan cinta yang melebur jadi satu, seperti menciptakan polemik dari diriku sendiri.

Biyung selalu duduk di sana. Menyalakan kompor batik, meletakkan tungku kecil di atasnya dan mencampur lilin serta lanceng. Dengan luwes Biyung menoreh goresan-goresan mengikuti alur yang telah Biyung lukis.

Ruang itu menyekap Biyung dalam kesepian yang teramat dalam. Rindu seperti menghempaskannya berkali-kali, meretas benang kenangan. Aku sendiri tak banyak membantu Biyung, tak mampu menyelamatkan Biyung dari kesunyian yang memenjara hatinya.

Biyung mulai melukis dengan pensil pada selembar kain, memulai lagi dari awal. Kali ini Biyung melukis dua ekor burung bangau yang terbang. Aku melihatnya mengambil canting, tetapi Biyung tidak menyalakan kompor atau meletakkan lilin di atas tungku.Biyung menari sembari melukis, meliukan canting pada lembar putih yang melayang-layang, tubuh Biyung juga melayang. Melayang tinggi menuju langit, akupun ikut melayang menyaksikan Biyung berpeluk dengan awan.

Berpulun-pulun awan yang mengabu membelit tubuh Biyung, menemu Bapa di awan. Tembang Asmaradana terdengar sayup-sayup. Biyung tampak bahagia bertemu dengan Bapa. Mereka menari bersama dalam kasmaran yang mendalam.

Tarian awan, Biyung dan Bapak yang menjadi kembang tidurku seperti momok yang mengerikan. Bagiku mimpi bukan sekedar kembang tidur tapi juga perlambang. Perlambang keaikan atau malah malapetaka.

Malam itu Biyung pingsan. Para medis mengatakan kalo nyawa Biyung udah di ujung tanduk. Hatiku seketika patah. Kutelpon Mbak Lastri untuk segera pulang. Kukabarkan duka itu sejelas mungkin. Mbak Lastri menangis terisak, dan ia berjanji untuk pulang secepatnya.

"Pulang cepat Mbak Lastri, jangan sampai terlambat ya." Dadaku terasa sesak.

Aku merasa kosong dan hampa. Ruang tunggu rumah sakit senyap menambah kesepian yang menderak-derak hati dan pikiranku pada Biyung. Kalau saja kemarin-kemarin tak kubiarkan Biyung tenggelam dengan kesepiannya tentu Biyung...penyesalan menyergapku. Penyesalan ini juga akan menyergap Mbak Lastri.

Aku tak siap jika Biyung harus menari di atas awan bersama Bapa. Aku tak siap jika semua harus berakhir seperti mimpiku. Mbak Lastri datang dan memelukku, mengisakkan tangisnya di dadaku.

"Jo, bagaimana Biyung?,"suara serak Mbak Lastri membuatku meneteskan bulir airmata juga, "Jo, aku takut Biyung akan pergi."

"Mbak Lastri, kita berdoa ya Mbak, semoga Biyung baik-baik saja di dalam sana." kucoba tenangkan Mbakku, meski aku tak tenang. Seperti berada dalam labirin sesal yang berkepanjangan.

Seorang dokter keluar dari ruang ICU, segera aku sambut dengan pertanyaan tentang keadaan Biyung. Dokter mengatakan kondisi Biyung kritis,kemungkinan bertahan hidup tipis. Setelah menunggu proses yang lumayan agak lama, iyung dipindahkan ke ruang perawatan. Aku seperti dihempas dari gedung lantai 10 melihat kondisi Biyung.Di pelipis kirinya terluka terbentur ujung meja ketika pingsan tadi. Aku benar-benar menyesal Biyung, membiarkanmu berkutat dengn sepi itu sendiri. Mbak Lastri duduk disamping Biyung, mengenggam jari jemari Biyung. Tangisan Mbak Lastri pun tumpah.

"Biyung, maafkan Lastri. Selama ini belum bisa membahagiakan Biyung." Ucapan Mbak Lastri memukul langit kelopak mataku untuk mengulirkan rinai hujan.

"Biyung, bertahanlah demi kami,"ucap Mbak Lastri, "bukankah Biyung punya keinginan menimang cucu?"

Mbak Lastri mencium kening Biyung. Biyung masih menutup mata.Nafasnya demikian teratur. Seakan kedamaian meliputi tidur Biyung. Kugenggam tangan kanan Biyung. Kurapal doa pujian kepada Sang Pencipta, berharap suatu keajaiban diberikan pada Biyung. Hingga aku punya kesempatan kedua.

Selang beberapa lama, Mbak Lastri pamit cari makan dengan suaminya. Aku menemani Biyung. Sambil masih mengenggam tangan Biyung,. Aku tak ingin meninggalkannya.Bidadari tanpa sayapku. Maafkan aku Biyung. Kucium pungung tangan Biyung.

Sejenak aku mendengar suara mesin pendeteksi detak jantung bersuara berisik di telinga, Ya Allah aku tertidur. Aku panik. Kupencet bel memanggil para medis. Dokter dan perawat segera memberikan pertolongan pada Biyung. Namun takdir berkata lain, Gusti Allah sayang pada Biyung. Biyung pergi meninggalkanku dan Mbak Lastri.

Aku melihat Biyung dan Bapak bergandengan tangan di antara berpulun-pulun awan. Menemu pada titik temu Nur Insani dan Nur Illahi.

[Kumpulan Cerpen] Mother's Day SpecialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang