1. Bunuh diri?

48 9 2
                                    

Tiga jam sudah ia merasakan kegelisahan. Semua materi yang disampaikan oleh dosen, tak ada satupun yang tertanam dalam otaknya. Memang, raganya berada dalam kelas namun jiwanya, sudah pergi menjelajah menuju tempat Calista –sang kekasihnya.

“okee, sampe disini dulu materi yang saya berikan.” Ucap dosen tersebut menyudahi kelasnya, “dipertemuan selanjutnya, saya tidak mau ada diantara kalian yang hanya titip absen saja!” lanjutnya dengan nada suara meninggi.

“baik pa!” jawab serempak.

Setelah dosen itu pergi, Chandra buru-buru melangkahkan kakinya keluar kelas dan bergegas menuju parkiran. Rambutnya yang semula tertata rapi, kini sudah mulai tak berbentuk. Kakinya yang lincah, dengan mudah melewati kerumunan orang-orang yang berada di koridor.

~oo~

Tut...tut...tut...

Suara itu, masih saja menjadi penghias sepi dalam ruangan ini. Gadis itu –Calista masih saja berada di tempatnya. Dengan posisi yang tak pernah berubah secenti pun.

Denyitan suara pintu terbuka mulai terdengar dan seorang gadis yang usianya berkisar 21 tahunan mulai memasuki ruangan itu, lengkap dengan pakaian susternya. Lengan kanan seraya memegangi papan dada dengan rekam jejak medis yang terjepit diatasnya.

Seperti biasa, suster itu akan memeriksa tubuh Calista. Apakah ada peningkatan dari tubuhnya untuk sadar? Atau malah sebaliknya.

“Hai Calista, aku Nida.” Ucap perawat itu memperkenalkan dirinya sendiri, “selama tiga bulan belakangan ini, aku yang selalu meriksa kamu.” Lanjutnya seraya mengganti infussan.

“oh iya, kalo aku liat dari muka kamu—“ memandangi sejenak wajah Calista, “ kayaknya kamu itu gokil orang nya.” Nida terkekeh karena mendengar ucapanya sendiri. “maaf ya , aku jadi sotoy gini sama kamu. Habis, kamu tidur terus siih.” Tuturnya lagi seraya membereskan alat-alatnya.

“satu lagi—“ ucapnya sebelum pergi, “Kamu harus cepet bangun, Calista. Soalnya kasian pacar kamu, hampir tiap pagi sore dia nemenin kamu.” Ungkapnya berlalu pergi.

Kini, hanya ada Calista sendiri. Masih dalam posisi semulanya, dan tak sedetik pun ia berubah. Apa Calista tidak merasa bosan, selama hampir satu tahun ini ia hanya terbaring? Apa Calista tidak rindu ibu? Apa Calista tidak rindu semuanya?

Jika saja Calista bisa menjawab semua pertanyaan itu, ia pasti akan menjawab “ya kali ga bosan. Semua badan aku itu terasa kaku tau.” Dengan nada ciri khasnya.

Sebenarnya, ini bukanlah kemauan Calista. Namun suratan takdir, telah menuntunnya untuk melewati jalan ini. Andai saja Calista bisa menawar takdirnya, ia lebih baik belajar selama hidupnya ketimbang harus berada disini.

Dan andaikan saja saat itu Calista tidak menemuinya, mungkin sekarang ia sudah menjadi mahasiswi.

Tapi, apalah daya jika tuhan sudah berkehendak?

~oo~

Nida menyusuri lorong bangsal 3A seraya mendorong tempat obat-obatan dan alat-alat yang tadi digunakanya untuk mengganti infusan Calista. Saat akan memasuki ruangan theresia, Nida baru tersadar ada satu alat  yang tertinggal di dalam ruangan Calista.

“Tuh kan, lupa.” Gumamnya menepuk jidat, setelah tadi berhenti begitu saja di tengah lorong. Tanganya terulur pada tempat alat-alat tersebut untuk mengecek, apakah benar ada barang yang tertinggal atau tidak. Semoga ga ada yang ketinggalan, batinya harap-harap cemas.

Ternyata keberuntungan tidak memihak padanya, “terpaksa harus balik lagi, nih.” Keluhnya.

Nida berlari kecil untuk kembali menuju ruangan Calista, untung saja ia belum berjalan terlalu jauh.

Kini Nida sudah berada didepan ruangan Calista, ia melihat melalui jendela pada sisi pintu. Benar saja kotak jarum itu berada diruangannya Calista. Tapi anehnya, kotak jarum tersebut sudah berserakan  dilantai. Padahal seingat Nida, ia menaruhnya diatas meja nakas.

Melihat kejadian ganjal tersebut, Nida buru-buru masuk takutnya ada seseorang di dalam ruangan Calista yang mempunyai niat buruk pada pasiennya tersebut.

Sebelum membereskan jarum-jarum yang berserakan, ia terlebih dahulu mengecek kamar mandi yang terdapat didalam ruangan tersebut. Nihil. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana.

“lah terus, kenapa ini bisa jatuh?” tanyanya pada diri sendiri seraya memunguti jarum-jarum tersebut. “padahal ga ada angin besar atau yang lainnya.” Akhirnya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Nida hampir beres memunguti jarum-jarum tersebut, ia mencoba menghitungnya takut-takut jika ada jarum yang tertinggal atau hilang. “kok kurang satu, yaa?” tanyanya pada diri sendiri.
Nida berinisiatif untuk mencarinya lagi, ia berjongkok melihat kearah bawah nakas. Nihil, disana tidak ada apa-apa. Kemudian ia memutar posisinya kerah bawah ranjang yang sedang ditiduri oleh Calista. Ada! Disana ada satu jarum suntik yang masih utuh di dalam bungkusnya. Nida mencondongkan tubuhnya agar lebih dalam masuk kekolong ranjang tersebut dan agar mempermudahnya mengambil jarum itu.

“aduh, jauh banget siih.” Keluhnya, masih berusaha.

Saat Nida masih berusaha untuk mencapai jarum tersebut, tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh punggungnya. Seketika Nida mematung di tempatnya, nafasnya tertahan tak mampu ia hembuskan. Ia... ia merasa takut dan panik.

Ya tuhan, jika memang dia yang menyentuh punggung hamba adalah orang jahat. Tolong lindungi hamba darinya. Batin Nida berdoa.

Dirasa ia telah menggenggam jarum itu, Nida mencoba untuk memberanikan diri menengok kearah belakang. Dengan sangat perlahan-lahan ia menengokkan kepalanya.

Sepi.

Tidak ada siapa-siapa diruangan itu. Lantas, siapa yang tadi menyentuh punggungnya. Rasa takutnya semakin menjadi. Apa mungkin, sang penunggu ruangan ini sedang menjahilinya? Ah, tidak mungkin. Ruangan ini ‘kan selalu dipakai beribadah oleh Chandra saat sedang menunggu Calista.

Ah, tapi mungkin saja! Katanya, empat tahun yang lalu pernah terjadi bunuh diri didalam ruangan ini. Nida jadi teringat ucapan seniornya, “Nid, kamu tau ga diruangan ini itu, katanya pernah ada yang bunuh diri.”

Nida langsung menghentikan aktivitasnya yang sedang melipat selimut, “Ah masa siih, mbak?”
Rini –seniornya— berjalan mendekati Nida yang berdiri di dekat ranjang, “iyaa. Seriusan.”

“lho, emangnya bunuh diri karena apa, mbak?”

“dari yang aku denger siih, si pasiennya frustasi gitu.” Menggigit bibir bawahnya seraya mengingat kembali kejadian itu, “gara-gara dia tahu, kalo dia itu mengidap penyakit aids.”

“seriusan, mbak?” tanyanya masih ragu.

Rini mengangguk, “Serius!”

Nida menggelengkan kepalanya, tersadar dari lamunannya sejenak, “gak! Mbak Rini pasti bercanda.” Ucapnya mencoba menyakinkan dirinya sendiri. Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan mencoba bangkit dari posisi jongkongnya untuk kembali ke ruangan pasien yang lainnya.

Nida menepuk-nepuk bajunya yang sedikit kotor terkena debu. Posisinya kini, sedang membelakangi Calista. Nida mebalikkan badannya untuk mengambil kotak jarum tersebut yang tadi di simpannya di atas ranjang Calista.

“Aaaaaaaaaa!”

=========

Jangan lupa Vote and Comment yaa. Makasih

I See YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang