Bagian 1 : Gadis Pesisir

53 6 10
                                    

Prasasti berlarian kecil mengejar kedua adik kembarnya sembari meneriakkan beragam bujuk rayu agar adik-adiknya itu mau menyantap nasi beserta lauk pauk yang tinggal beberapa suap lagi.

Siang itu panas surya terik membakar kulit. Angin berhembus pelan, menerbangkan anak-anak rambut Prasasti yang keluar dari gulungannya. Gadis berkulit kecoklatan khas pesisir itu melangkah menuju bibir pantai, dimana kedua adiknya sedang asik bermain air bersama dengan anak-anak lainnya. Mata coklat terangnya yang tajam menatap hamparan laut biru yang berkilau dibawah pancaran sang surya. Ia tersenyum, kemudian kakinya mulai melangkah mendekati anak-anak pesisir yang asik berkejar-kejaran diantara gulungan ombak yang terbawa hingga ke tepi.

"Made, Omang, sini.... Habiskan dulu makan siang kalian" panggil Prasasti dengan sedikit bujukan.

Made dan Komang menggeleng dengan kedua tangan yang menutupi bibir. Kedua bocah laki-laki kembar itu malah berbalik badan dan berlari menjauh dari Prasasti, membaur kembali bersama teman-teman mereka yang asik menarik pelepah kelapa kesana kemari sambil tertawa lepas. Seolah tiada hari lagi untuk melepaskan tawa ceria yang mereka miliki.

"Nakula, Sadewa" Prasasti memanggil kembali adik-adiknya. Nadanya lembut namun tegas. Seperti biasanya.

Gadis itu berjalan kembali, menghampiri Nakula dan Sadewa yang kini memberengut kesal karena ditertawai anak-anak lainnya. Mungkin saja anak-anak itu mentertawai si kembar karena masih saja dipaksa makan-- bahkan sampai harus disuapi. Sementara mereka-- anak-anak pesisir lainnya, dengan mudah menerima apapun yang dimasak oleh ibu mereka. Itu karena, keluarga Prasasti termasuk yang berada diantara keluarga lainnya, oleh sebab itu sifat manja dan sedikit pemilih tumbuh perlahan diantara si kembar. Bahkan kini, diusia yang mulai menginjak tujuh tahun, kedua adik Prasasti itu belum mampu mengusai beberapa hal yang seharusnya sudah dapat dilakukan oleh anak seusia mereka dengan mudah. Sebut saja melaut.
Bukan! Bukan melaut seperti yang dilakukan para ayah. Tetapi melaut yang dimaksud disini adalah, pergi memancing atau menjaring ikan-- atau udang kecil, yang terjebak di hamparan karang-karang putih kehijauan kala air sedang surut. Atau bisa saja kegiatan menyenangkan itu mereka lakukan di muara pesisir. Pasti akan jauh lebih menyenangkan, mereka akan dapat bermain air, berenang--

Baiklah. Sudah cukup.

Prasasti menghela napas panjang. Gadis dengan rambut hitam kecoklatan akibat sering terpapar sinar matahari itu memilih untuk kembali menghampiri adik kembarnya. Berusaha membujuk mereka untuk menghabiskan makan siangnya walau kedua bocah itu terus menolak. Hingga akhirnya nada tegas tak terbantahkan merasuki gendang telinga, membuat Nakula dan Sadewa menyerah.

"Habiskan atau mbok Sasti tidak akan mengajarkan kalian membuat mainan baru" begitu kata Prasasti, yang akhirnya dapat membuat si kembar menghabiskan makanannya bahkan sampai tak bersisa.

Gadis pesisir itu tersenyum puas, menampilkan sebuah lesung pipi di kanan pipinya yang nampak sangat manis, walau hanya sebelah. Ditatapnya anak-anak yang sedari tadi memperhatikan drama kehidupan yang ia ciptakan secara tidak sengaja dengan mata coklat yang terang menyala dibawah sinar surya. Mata yang selalu menatap tajam namun teduh disaat bersamaan itu menjadi salah satu ciri khas Prasasti, disamping lesung pipi yang hanya sebelah ia miliki.

"Sudah. Mbok Sasti pulang dulu. Jangan main sampai sandi kala. Ingat pesan mbok dulu kan?" Prasasti mengingatkan, dan mendapat balasan berupa anggukan malas dari adik-adiknya namun seorang bocah lainnya juga ikut menjawab.

"Baiklah mbok Sasti! Yande dan teman-teman main lagi ya! Daaah!"

Prasasti tertawa. Manis. Tawa yang tentunya melehkan juga menghanyutkan. Membuat orang-orang yang melihat gadis itu tertawa menyunggingkan senyum, bahkan beberapa dari mereka ikut tertawa bersama gadis itu. Hal tersebut berlaku untuk segala kalangan usia. Tua, muda, anak-anak, dewasa, baik laki-laki atau perempuan. Buktinya sekarang anak-anak pesisir itu ikut tertawa bersama Prasasti. Entah apa yang mereka tertawakan. Sementara teman-teman sepermainan mereka tertawa bersama sang kakak, Nakula dan Sadewa hanya menyunggingkan senyum sederhana. Senyum yag menggambarkan betapa besar rasa sayang mereka terhadap sang kakak, Acharya Prasasti.

Sang surya mulai mencondongkan raganya ke barat, memberi tahu para warga bahwa hari sudah semakin sore. Prasasti melirikkan matanya ke sebuah tongkat yang terpasang didepan pekarangan rumahnya. Bayangan dari tongkat itu condong ketimur, membentuk sudut yang entah beberapa derajat. Gadis itu melepas gulungan rambutnya, membiarkan rambut bergelombang bak liukan air itu menjuntai hingga sebatas lulutnya, sembari memperkirakan pukul berapa kira-kira saat ini.

"Mungkin jam dua? Ah.. Lama sekali aku dipantai" batinnya berbicara.

Ditatapnya sekeliling rumah sembari memikirkan hal apa saja yang belum ibunya tuntaskan. Pandangan tajam gadis itu terhenti di sudut rumah, dimana tumpukan daun kelapa tua menanti untuk ia rangkai menjadi sarana bebantenan. Mengingat bulan hampir membentuk purnama sempurna, yang jika dihitung berdasarkan penanggalan saka akan jatuh tiga hari lagi.

Segera diraihnya sebilah pisau dan keranjang anyam sebagai wadah, kemudian gadis cantik itu duduk setengah bersimpuh, kedua tangannya yang lihai mulai memotong kemudian merangkai daun-daun itu, dengan ditemani senandung ringan dan hembusan sejuk angin pantai yang membelai hingga ke pesisir. Menghanyutkan lelah beserta peluh yang sedari tadi tak henti mengalir karena terik surya yang menyiksa.







AN :

Hello there! What about this chapter? Leave a comment(s) please? Or, if you enjoy this story,,, don't forget to leave a star for this story. Thank you 💓

El-

Note :

Bebantenan (sesajen)
Saka (penanggalan hindu kuno)

A SOTRY BY ELYA REMANTARI

Pelesir PesisirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang