Chapter 3

31 7 0
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah 12 siang, pantas saja Okta merasa lapar. Semenjak di jemput Tama tadi pagi, ia sama sekali belum mengisi perutnya dengan nasi. Hanya bakso mang udin yang ia makan sebagai rasa pelampiasan kemarahannya terhadap Tama.

Ah, mengingat Tama sama saja mengingat luka yang di berikannya.

Gadis itu bisa saja makan roti untuk mengganjal perutnya, tapi ia memilih untuk memasak. Okta memang tidak pintar masak, tapi masakannya cukup bisa di terima lidah dan perut manusia yang lapar.

Okta mendengus kesal saat tidak ada bahan yang bisa di masak. Di kulkas hanya ada beberapa sirup, susu, es krim, coklat, serta mangga depan rumah yang sudah di kupas.

Ia pun memutuskan membeli beberapa sayur dan bumbu dapur di warung dekat rumahnya.

Setelah mendapat barang yang di inginkannya, Okta pulang dengan senyuman. Belum sampai rumah, ia bertemu seorang cowok yang di kenalnya.

"Okta, dari mana? "

"Dari warung, lo kok di sini? "

"Mau ke rumah tante gue, yuk bareng? "

"Bareng? Alamat Tante lo? "

"Jalan Alamanda nomer 16"

Okta terdiam.

Rumah itu ada di depan rumahnya. Kenapa ia tak pernah menyadari bahwa tante Mira adalah tante cowok itu?

Memang ia pernah melihat motor cowok itu di halaman tante Mira. Namun ia pikir, banyak lah yang punya motor seperti itu.

Cowok itu mulai bosan menunggu Okta melamun. Di pasangkan helm cadangannya ke kepala Okta. Okta pun segera naik dan motor melaju menuju rumahnya.

Di perjalanan singkat itu, keduanya terdiam, bahkan tak ada tegur sapa.

Okta ingin bertanya, tapi entah kenapa rahangnya kaku.

"Thanks ya" ucap okta. Cowok itu hanya mengangguk sambil melempar senyum manisnya.

Senyum itu. Mengingatkan Okta. Pada bahagia yang berakhir luka. Senyum yang pernah ada di hidupnya. Senyum yang pernah menjadi miliknya.

Sekali lagi di tegaskan. Pernah. Tidak lebih dari itu.

Okta memasuki rumah dengan penuh rasa yang berkecamuk di hatinya. Tadi Tama, sekarang dia. Kenapa cowok selalu sulit di tebak jalan pikirannya.

Ia tak membenci cowok itu. Sama sekali tidak. Bagaimana pun, cowok itu pernah ada di hidupnya. Pernah memberikan kenyamanan dan ketenangan di hidupnya. Di hatinya. Dulu.

Flashback On
Delano Novelino. Panggil saja Novel. Cowok itu satu almamater dengan Okta. Satu angkatan. Beda jurusan.

Novel termasuk manusia pemikir yang kuat menjalani kehidupan anak ipa. Ia masuk ipa 3. Awalnya ia dan Okta sering bertemu di perpustakaan daerah. Novel sering meminjam buku pengetahuan umum sedangkan Okta sering meminjam novel(buku jenis novel).

Karena pertemuan itu sering terjadi, keduanya semakin mengenal satu sama lain. Bertukar nomor WA
Dan semakin akrab saja.

Hingga pada hari minggu, Okta dan novel jogging bersama. Selepas jogging, mereka memutuskan untuk makan bubur ayam. Joggingnya gak guna ya? Biarin deh. Mereka lagi jatuh cinta waktu itu, jadi terserah lah.

"Aku suka kamu ta, mau jadi pacarku?" sontak Okta kaget mendengar pengakuan Novel yang tiba-tiba. Membuatnya terkejut. Suapan buburnya mengalami masalah. Ia tersedak, namun Novel segera menyodorkan minum.

Okta merasa tidak pantas menjadi pacar Novel. Ia minder. Ia jauh di bawah Novel. Namun hatinya berkata lain, ia menganggukkan kepala dengan tetap memandang bubur ayamnya.

NOT todayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang