Chapter 6

17 4 0
                                    

Di sisi lain Tama menikmati masa hukuman. Ia rela di hukum yang penting Okta selamat.

Entah kenapa ia merasa harus melindungi gadis itu semenjak ia melihatnya. Ia merasa tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Sayangnya sudah ada yang memiliki hatinya.

Ia tak bermaksud merebut Okta dari Novel. Walaupun ia juga tak janji tak akan membuat Okta jatuh hati padanya. Dengan sendirinya. Oleh bantuan waktu. Ia yakin itu.

Semua anak sudah boleh pulang kecuali Tama. Ia masih harus membersihkan taman depan kelasnya. Tama ingin mengeluh. Tapi tak jadi.

Rasanya keringat Tama sudah sebesar biji jagung sekarang. Ia merasa haus. Saat ia mengambil botol minumnya, ternyata habis. Sial.

Tapi ada yang mengulurkan air minum. Tama mendongakkan wajahnya. Ia bertemu wajah yang ingin ia lupakan. "Ngapain lo?" tanya Tama ketus.

"Di minum tam, aku tau kamu pengen minum" ucap gadis itu di sertai senyum tulus. Tapi Tama enggan menerimanya.

"Jangan panggil gue Tama, panggil aja Rama"

"Kan aku emang udah panggil kamu Tama dari dulu"

"Itu dulu, sekarang beda. Pergi sana"

Gadis itu tak bergeming. Ia malah duduk di samping Tama. Ia membuka botol minum itu lalu di berikan kepada Tama. Tapi tetap saja Tama menolak.

Ia tak ingin gadis itu merasa di bukakan pintu oleh Tama. Hubungan mereka telah berakhir. Tama pun tak ingin ada pengulangan hubungan.

"Kamu kenapa berubah sayang, maafin aku kalo aku punya salah"

"Stella, cukup. Kamu yang selingkuh. Dan kamu yang seakan-akan jadi korban. Aku menghargai kalau kita menjadi teman. Gak lebih. Dan jangan berharap lebih."

"Tapi aku gak mau, aku akan selalu jadi pacarmu, dan aku akan selalu berharap gitu."

"Serah lo, gue jawab apa juga percuma" Jawab Tama ketus sembari meninggalkan Stella.

Di sana, Stella menatap Tama penuh harap. Ia ingin memperbaiki semuanya. Ia ingin memperjuangkan cintanya. Ia tersadarakan kesalahannya dulu.

Tapi sayang, Tama bukan cowok yang dengan mudah membuka hatinya untuk kesempatan kedua. Telah ada nama lain yang menghiasi hatinya. Walaupun Tama sendiri tahu, gadis itu telah memiliki kekasih.

Tama berjalan menjauhi Stella, kemana pun terserah. Ia tak memperdulikan lagi hukumannya. Biarlah, di hukum lebih parah juga biarin, batinnya.

Ia terus melangkahkan kakinya semakin jauh. Entah kenapa kakinya membawanya ke kantin belakang. Mungkin karena rasa hausnya.

Tapi belum sampai ke kantin, ada tangan yang memegang pergelangan tangannya. Bukan memegang, lebih terkesan mencengkram. Ia membalikkan badan. Seketika lelahnya hilang, tergantikan senyuman.

"Ngapain harus boong?"

"Eh maksud lo?" tanya Tama bingung.

"Ya ngapain bilang kalo elo ada jam olahraga?"

"Hormat bendera buat gue termasuk olahraga kok"

"Susah bilang sama lo, gak usah sok care lagi deh. Tenang aja, besok bajunya gue kembaliin. Habis itu, gak usah sok baik lagi" jelas Okta tanpa ada senyum di wajahnya. Nadanya agak membentak.

Ia segera meninggalkan Tama yang diam karena tak di beri kesempatan menjawab.

Tama membiarkan gadis itu berjalan menjauh. Melewati koridor belakang seorang diri.

Tapi ada sesuatu yang tidak beres saat Tama melihat bagian atap koridor itu. Sontak ia langsung lari dan memeluk Okta. Menutupi kepala Okta dengan tangannya yang kekar. Sembari menjauh dari atap koridor. Okta yang kaget hanya diam, tak bergeming dalam pelukan Tama.

Praaangg. Debug. Okta yang mendengar suara itu langsung membalas pelukan Tama.

Kayu atap koridor yang telah usang tak sanggup lagi menahan. Jatuhlah kayu penopang itu beserta genting-gentingnya. Kayu-kayu usang itu patah dan jatuh. Genting yang jatuh semuanya pecah. Untung saja Okta tidak menjadi korban.

Tama segera melepaskan pelukannya. Ia tahu, gadis itu pasti akan marah dan membentaknya dengan satu tarikan napas.

"Sorry, gak maksud gitu, gue cuma gak mau lo kenapa-napa." kata Tama tanpa memandang Okta.

Okta terdiam lama, begitupun Tama. Pasti bentar lagi bakal ngebentak gue nih cewek, batin Tama. Satu, dua, ti.., "Makasih ya Tam, pasti gue bakal kejatuhan atap kalo gak ada lo" kata Okta dengan wajah datar.

Okta belum sepenuhnya sadar. Ia masih kaget melihat atap yang tiba-tiba jatuh. Kalau saja tidak ada Tama, pasti ia akan tertimpa atap. Tangan dan kakinya masih dingin. Detak jantungnya belum kembali normal.

Mendengar perkataan Okta, senyuman merekah di wajah tampan Tama. Ia mengajak Okta duduk di bangku yang tak jauh dari koridor. Ia tahu Okta masih terkejut.

Ia langsung mengeluarkan cokelat dan memberikan pada Okta,  "Gue tau lo suka ini, makan nih". Okta terkejut mengetahui Tama mengerti kesukaanya. Di ambil cokelat yang Tama berikan.

"Makasih" kata Okta sambil tersenyum.
Setelah Okta mulai rileks, Tama mengajaknya pulang, "Yuk pulang, gue anter". Okta kaget. Ia lupa memiliki janji dengan pacarnya. Ia akan pulang bersama Novel hari ini.

Sontak ia berlari meninggalkan Tama, "Sorry Tam, gue ada janji"

Tama hanya mengangguk pasrah. Ia tahu, berjuang mendapatkan Okta bukanlah hal yang mudah. Terlebih Okta sudah memiliki pacar. Tapi menyerah juga bukan kepribadiannya.  Mungkin kata yang tepat adalah merelakan.

Di depan perpustakaan, Okta melihat Novel dengan buku di tangannya. Ia percaya penuh jika Novel benar-benar anak pandai. Bukti otentiknya ada.

Beda dengan Tama. Tak pernah ia lihat Tama membaca buku. Bahkan ke perpustakaan saja tak pernah. Tapi kenapa ia selalu menduduki ranking 1 dan memenangkan olimpiade matematika? Loh kok malah banding-bandingin Novel sama Tama?

"Maaf aku lama"

"Dari mana aja?"

"Emm dari toilet" jawab Okta bohong.

"Yaudah yuk pulang"

Okta hanya mengangguk.

Bukannya ia bermaksud menyembunyikan pertemuannya dengan Tama. Tapi ia takut terjadi salah paham antar mereka. Ia tak ingin menambah banyak daftar masalah di hidupnya.

"Maaf ya ta, tadi aku gak bisa ke rooftop. Tiba-tiba aku di panggil buat kumpul KIR."

"Oh iya ga papa" Okta kembali teringat kejadian di rooftop. Saat geng exclusive melabraknya. Ia ingin menyampaikan itu semua kepada Novel. Tapi sebagian hatinya tak menyetujui. Entah apa alasannya.

Saat ia ingin mengatakan, rahangnya kaku, mulutnya tak mau terbuka. Mungkin mulutnya pun ikut melarang mengatakan hal itu pada Novel.

Di sekolah, Tama tidak lagi berniat menyelesaikan hukumannya. Ia meminta bantuan Mang Asep, tukang kebun sekolah. Setelah berenegosiasi dengannya, Tama pun dapat pulang dengan hati yang tenang. Tanpa takut ada hukuman lanjutan.

Tama memang nakal, namun ia selalu bertanggung jawab atas kenakalannya.

Sesampainya di rumah, Tama melihat bundanya nampak kerepotan dengan pot-pot kecil di tangannya, "Assalamualaikum bunda, Tama pulang".

"Waalaikumsalam sayang, tolong bantuin bunda ya. Bunda mau buat taman kecil gitu di samping rumah" jawab Bundanya ramah.

Tama pun langsung mengambil pot yang ada di tangan bundanya. Tapi bunda menepis tangan Tama,

"Ganti baju dulu dong nak". Tama hanya nyengir lalu berlari ke kamar untuk segera ganti baju. Ia tahu betul bundanya suka membuat taman kecil.

Iya,  kecil, tapi karena kebiasaan, seisi rumah hampir penuh dengan taman-taman kecil itu.

NOT todayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang