Sendiri Milik Penyendiri

7 0 0
                                    

Gerbang tua tampak dari belakang pekarangan rumah. Semua jalanan sepi kecuali para pembegal yang ke sana kemari, seperti orang kehilangan barang. Ada cahaya yang sedikit redup dari arah selatan. Aku melihatnya dalam jendela. Nampaknya itu motor yang mau lewat dari arah selatan menuju ke arah di mana pembegal itu sedang kebingungan. Motor itu berlaju pelan. Aku pun ikut kebingungan di gedung bertingkat ini. Entah apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan bapak-bapak itu. apakah aku harus diam dan membiarkan bapak itu meninggal secara mengenaskan? Oh haruskah aku? Tidak! Tidak! Tidak! Aku harus diam membisu.

Motor itu semakin mendekat. Nampak sekali sekumpulan pembegal tengah bersiap-siap untuk menikmati mangsanya. Salah satu dari mereka membawa sepeda motor. Mereka nampaknya ingin membuat pertunjukan untuk mengelabuhi bapak-bapak itu. Nampak sekali di depan mataku. Aku telah diberikan penyaksian terhadap kejahatan yang dilakukan oleh sekumpulan pembegal itu. Pembegal yang membawa motor itu terjatuh. Ini sebagian dari pertunjukannya. Ya. Aku tau itu. Ketika bapak-bapak itu mendekat dan berusaha menolongnya. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya, tapi hati tak mengijinkan, karena seorang pendiam yang setia adalah orang yang selalu diam dalam urusan orang lain. Aku ingin mengatakan ada orang di belakang hendak menebas punggungnya. Tapi apalah dayaku. Nampaknya bapak itu telah tertebas olehnya.

Darah bercucuran di jalanan. Bapak itu hendak mengejar pembegal itu. Tetapi darah terlalu banyak keluar. Dia tiba-tiba pinsan.

Aku menangis pada saat kejadian itu. Betapa tololnya aku membiarkan orang lain terkena musibah yang mestinya dapat kutolong. Sifat kepedulianku hilang. Semuanya lenyap seiring berjalannya waktu. Ya. Sejak ayah dan ibuku tiada. Terlalu muda mereka meninggalkanku. Sehingga aku di sini, di dunia merasakan kesepian yang tiada duanya. Kesepian yang sunyi, tanpa kasih sayang mereka. Sifatku yang telah lalu bisu membeku. Ada keraguan di sana sini untuk melakukan sesuatu. Entah apa yang aku lakukan selama ini. Mungkin orang lain akan menganggapku seorang pendosa besar. Tetapi aku selalu pasrah selagi langit masih bisa terang dan petang.

Di mana mereka berada. Aku selalu mendoakan mereka. Kebanyakan orang menganggap mereka sudah bahagia di surga. Bagaimana mereka bisa tahu melebihi malaikat yang tengah bersujud selama yang Tuhan perintahkan. Aku semakin heran dengan kenyataan yang belum pernah dinyatakan oleh siapa pun. Kecuali rencana Tuhan yang begitu dahsyatnya. Di mana mereka berada. Aku sangat merindukan kasih sayangnya yang tiada tara.

***

Di kota lama. Waktu itu.

Mentari lagi-lagi memberikan kehangatan di antara embun-embun yang kian ramai menyusup dalam rumah-rumah kami. Ini adalah hari minggu. Banyak orang perkampungan yang tengah bersiap-siap untuk berolahraga.

Ayahku membangunkanku dalam mimpi indah semalam. Aku pun terbangun. Setiap aku terbangun. Aku selalu memeluknya, aku selalu mengatakan ucapan terimakasih kepada ayah. Di mana hal itu aku lakukan untuk membuat ayah tersenyum yaitu menandakan dia bahagia.

Setelah selesai mandi. Aku berdiam diri di rumah. Aku memilih begitu agar terhindar dari penyaksian sekelompok muda-mudi yang berpacaran di luar. Hal itu sangat tak enak di mata. Entah kenapa perasaan itu ada dibenakku. Apa jangan-jangan perasaan itu datang karena aku belum juga menemukan kekasih idaman. Ah... Aneh sekali memikirkan kekasih di saat aku berumur 16 tahun ini.

Bau masakan tercium olehku. Nampaknya ibu sedang menggoreng ikan kering kesukaanku. Ya. Layur kecil yang diberikan oleh sepupuku dari Puger di hari raya kemaren. Aku langsung memeluk ibu dari belakang. Dan mengucapkan hal yang sama seperti perlakuanku terhadap ayahku tadi pagi. Ayah dan ibuku menyayangiku. Sangat menyayangiku. Kami pun bersarapan pagi. Setelah semuanya selesai. Aku pamit kepada mereka untuk pergi mengambil buku pesananku di luar. Mereka mengijinkannya. Aku bersalaman pada mereka. Tangan lembut dan bau amis ala ibuku, dan tangan kasar bau kayu ala ayahku.

Memecat Masa DepanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang